Malam Pertama

5.6K 176 0
                                    

“A Iyan?” Aku menepuk bahunya.

Raihan menarik tanganku dan langsung memelukku, membuatku jatuh terduduk di hadapannya. Aku terkejut bukan main. Debar jantungku bertalu-talu memukul dada. Aku khawatir Raihan bisa mendengar debaran jantungku ini. Dibalik suara gemuruh debaran jantungku, aku mendengar Raihan menangis terisak. Terharukah? Aku membalas pelukannya, mengusap punggungnya lembut.

“Selamat ya. Maaf, kami memperlakukanmu kurang baik selama ini.” Raihan berkata lirih di telingaku. Suaranya terdengar parau.

“Tidak, kok. Karla berterima kasih sekali.” Balasku.

“Seandainya kamu bukan adikku, aku sendiri yang akan menikahimu.” Gumam Raihan.

Aku menelan ludah. Jadi selama ini Raihan tidak tahu bahwa aku bukan adiknya? Apakah mama sengaja menyembunyikannya? Sudah dua tahun ini aku menduga mama sepertinya menyadari perasaanku pada Raihan berbeda. Tapi aku tidak menyangka kalau Raihan benar-benar tidak tahu aku bukanlah adiknya. Ini menjawab semua sikapnya padaku selama ini. Ia memperlakukanku selayaknya seorang adik.

Air mataku mulai menggenang di pelupuk mata. Allah, perasaanku padanya bahkan tidak berkurang sedikitpun. Tapi sekarang aku sudah menikah, aku sudah menjadi istri dari laki-laki lain. Bagaimana ini? Aku harus mengatakannya, atau Raihan tidak akan mengetahuinya selamanya.

Aku melepaskan diri dan mendorongnya menjauh. “Karla bukan adik A Iyan.” Kataku dengan suara parau. Disusul dengan airmata yang mulai mengalir.

Raihan terlihat terkejut. Tapi kemudian ia tersenyum dan mengusap kepalaku lembut. “Iya, Karla sekarang sudah menjadi Mrs. Steward. Sudah bukan adik kecil A Iyan lagi.” Raihan menyeka airmata di pipiku.

“Bukan.” Sergahku. Aku menggenggam kedua tangannya. “Kita bukan adik-kakak. Karla bukan anak Papa. Papa menikah dengan bunda Meilin saat Karla berumur tujuh tahun.” Terangku. Aku berusaha memberikan penekanan pada setiap kata.

Raihan memandangku bingung. “Jangan bercanda, Karla.” Pintanya. Ia melepaskan genggaman tanganku.

Aku menggeleng. “Karla serius.”

“Tapi, pernikahanmu…” Raihan bergumam dan tampak berpikir cepat. “Siapa nama ayahmu?” Tanya Raihan.

“Ali Imron.” Jawabku.

“Karla yakin?”

“Tentu saja.”

“Berarti pernikahan kalian tetap sah, nama ayahmu sama dengan papa.” Kata Raihan. “Apakah mama tahu? Ah, tentu saja. Mama bersikeras aku tidak boleh menjadi wali nikahmu.” Raihan bergumam sendiri dan menggaruk pipinya yang aku yakin tidak gatal. “Kenapa Karla tidak bilang?” Protes Raihan.

“Karla pikir A Iyan sudah tahu.” Sahutku, sambil mengangkat bahu. Aku kembali menelan kekecewaan.

Raihan hanya khawatir akan pernikahanku. Kupikir keadaan akan berubah jika ia mengetahui kenyataanya. Apa sih, yang kupikirkan? Sejak awal kedatanganku di rumah itu, aku memang tidak diharapkan. Raihan bahkan memusuhiku terang-terangan. Hanya karena ia bersikap sedikit melunak, bukan berarti ia menyimpan rasa yang sama untukku. Aku jadi ingin menangis lagi.

“Karla?” Ethan tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. “Aku mencarimu sejak tadi. Tidakkah kamu ingin berfoto denganku?” Ia mengulurkan tangan ke arahku. Memintaku untuk berdiri.

Aku melirik Raihan.

“Pergilah.” Kata Raihan sambil mengangguk padaku.

Aku menyambut uluran tangan Ethan, berdiri.

“Karla menangis?” Ethan tampak terkejut melihat mataku yang basah.

“Karla menangis karena pasti akan merindukan kakaknya yang tampan ini.” Jawab Raihan dengan sombongnya.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang