34. Pergi Jauh

3.2K 147 24
                                    

Part 33 udah diprivate, yaa. Silakan follow untuk membaca.

___________________________________

Aku naik dengan membawa semangkuk bubur yang baru kubeli. Aku berusaha memastikan Ethan makan dengan benar. Khawatir ia jatuh sakit lagi karena terlalu banyak pikiran hingga lupa makan. Aku juga selalu mengiriminya pesan, mengingatkannya untuk makan siang dan malam. Ethan hanya membalas singkat, "Okay" atau, "Iya."

Saat aku memasuki kamar, Ethan baru keluar dari lemari mengenakan kemeja biru dan celana hitam panjang. Ia menenteng jas hitam di tangannya, dan dasi yang masih menggantung di lehernya. Ethan menggantung jasnya di pintu lemari. Ia berdiri di depan cermin, hendak menyimpulkan dasi.

Aku menaruh mangkuk di atas meja nakas dan menghampirinya. Aku meraih dasi di tangannya. "Aku sudah belajar," kataku.

Ethan tampak terkejut, tapi diam saja. Ia duduk di kasur agar aku tidak perlu berjinjit.

Aku berhasil menyimpulkan dasi sesuai dengan yang kupelajari di youtube beberapa minggu yang lalu. Tapi sepertinya agak miring ke kanan, aku membuka simpulnya dan mencoba lagi dari awal. Kali ini malah miring ke kiri. Aku membukanya lagi dan mengulangi. Tapi hasilnya malah lebih buruk dari sebelumnya. Aku baru akan membuka simpulnya lagi, tapi Ethan menggenggam tanganku, menghentikanku. Aku mendongak menatapnya.

"Kamu mau melakukannya seharian?" Tanyanya sambil tersenyum tipis.

Aku mendesah pasrah, melepaskan dasi itu dari tanganku. Aku ini tidak berguna, tidak ada yang bisa kulakukan untuknya. Aku beruntung Ethan sangat mencintaiku, ia memaklumi segala kekuranganku. Tapi lihatlah aku. Aku hanya terfokus pada kekurangannya. Aku mengatainya cerewet, menyebalkan, dan merutuki segala yang ia lakukan untukku.

"Aku membeli bubur untuk Kakak sarapan." Aku mengambil mangkuk berisi bubur tadi di atas meja nakas.

Ethan menerima bubur yang kuserahkan. "Kamu tidak makan?"

"Aku belum lapar."

"Mau makan bersama?" Tawar Ethan.

"Tidak, Kakak saja."

Ethan terlihat agak kecewa, tapi tidak mengatakan apapun. Mungkin ia berharap bisa makan bersamaku. Seharusnya aku tahu dan mengiyakan saja tadi.

"Aku ambil minum dulu."

"Tidak perlu, aku bisa mengambilnya sendiri."

"Aku saja," kataku sambil lalu. Aku terburu-buru mengambilkan segalas air mineral dan kembali.

Ethan sudah selesai makan, ia mengucapkan terima kasih dan meminumnya. Tapi sepertinya kurang. Kenapa aku tidak terpikir untuk mengambilnya dalam botol sekalian? Ethan biasanya memang banyak minum setelah makan. Kenapa aku bisa lupa dan tidak memperhatikan itu?

"Kurang? Aku ambil lagi." Aku bangkit untuk mengambil air lagi, tapi Ethan menggenggam tanganku, menghentikanku dan menyuruhku untuk duduk lagi.

"Tidak perlu seperti ini," katanya.

"Maaf, aku sama sekali tidak berguna," keluhku.

"Tidak juga. Aku bahagia hidup bersamamu." Ethan menatapku hangat sambil tersenyum lembut. Kami hanya bertatapan dalam diam untuk beberapa detik. "Kamu tidak perlu memaksakan diri melakukan apa yang tidak ingin kamu lakukan." Ethan melirik jam di tangannya. "Aku berangkat. Assalaamu'alaykum." Ethan pergi meninggalkanku, tanpa menungguku menjawab salamnya, tanpa mengajakku serta berangkat bersama. Padahal ia tahu aku juga ada jadwal kuliah pagi ini.

Aku menjawab salam dengan suara lirih, menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu. Aku mematung di tempatku duduk. Hatiku masih condong pada Raihan. Ethan juga tahu hal itu. Tapi aku merasa berat sekali jika harus meninggalkan Ethan.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang