38. Selamat Tinggal

3.7K 179 32
                                    

Aku terbangun pukul empat sore. Perutku mual, rasanya seperti diaduk-aduk. Aku terburu-buru masuk ke kamar mandi, muntah di wastafel. Ethan yang sedang mandi tergopoh-gopoh melilitkan handuk di pinggang dan menghampiriku. Dalam keadaan normal, aku tidak pernah masuk ke kamar mandi jika Ethan ada di dalam.

"Kamu baik-baik saja?"

Aku menggeleng. Perutku rasanya melilit, aku kembali muntah. Ethan memijit tengkukku lembut. Setelah yakin tidak ada yang keluar lagi, aku berkumur-kumur dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Perutku sakit sekali. Kepalaku juga pening. Ethan membopongku kembali ke kasur.

"Sepertinya Kakak benar." Aku bergumam lemah.

"Apa?" Ethan bertanya khawatir. Selama sepuluh bulan kami menikah, ini pertama kalinya ia melihatku muntah. Sejak kecil, aku memang jarang sekali sakit.

"Wahana di dufan itu mengerikan."

Ethan mendengus. "Jadi ini karena naik histeria tadi?"

Aku mengangguk sambil meringis. Memangnya apa lagi? Aku tidak merasa sakit. Tiba-tiba saja perutku terasa mual. Setelah naik ontang-anting tadi sebenarnya kepalaku sudah terasa pening.

"Maaf." Ethan menunduk, wajahnya terlihat murung. "Seharusnya tadi kita makan siang dulu sebelum pulang."

Aku menggenggam tangannya. "Aku tidak apa-apa, cuma agak mual saja, kok."

"Mau kubuatkan nasi goreng?"

"Kakak cuma bisa masak nasi goreng, ya?" Aku menyeringai, mengejek.

Ethan menyipitkan matanya, tersinggung. "Kamu mau apa? Steak, sayur asem, cream soup?"

"Kakak bisa masak cream soup?" Aku bertanya antusias.

"Tentu saja. Aku pakai baju dulu."

*****

Keesokan harinya, Ethan kembali bersikap pasif. Seperti sebelum ia pergi ke Amerika, tidak ada yang berubah. Ethan berhenti meneleponku, berhenti menatap mataku, berhenti menyentuhku. Kami masih tinggal dalam satu atap, tidur di ranjang yang sama, tapi kami seperti orang lain. Kami menjalani aktivitas masing-masing. Ia masih menyahut jika kupanggil, masih menjawab jika kutanya, tapi selebihnya diam.

Ethan juga jarang berada di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor. Berangkat pagi-pagi sekali, pulang larut malam. Tadinya kupikir ia memang sibuk, banyak pekerjaan di kantor yang menunggunya. Ternyata tidak.

Aku mendatangi kantornya sepulang kuliah, sekadar ingin pulang dan makan malam bersama. Ethan tidak ada di ruangannya. Sekretarisnya bilang, Ethan berada di masjid. Sudah beberapa hari ini Ethan selalu ke masjid saat senggang. Masih menurut sekretarisnya, jadwal Ethan beberapa hari ini tidak padat.

Ethan biasanya selalu bilang jika jadwalnya kosong, mengajakku makan bersama atau sekadar berjalan-jalan di taman kota di sela-sela jadwal kuliahku. Aku tidak tahu karena aku tidak pernah bertanya tentang kegiatannya.

Aku menyusulnya ke masjid. Ini sudah masuk waktu maghrib, aku ikut shalat maghrib berjama'ah bersama para staff di sana. Setelah selesai shalat, kulihat Ethan duduk di sudut masjid sambil memegang Qur'an di tangannya. Mulutnya komat-kamit dengan mata terpejam, Ia sedang menghapal. Aku tahu Ethan tidak akan beranjak hingga 'Isa.

Selepas shalat 'Isa, Ethan kembali duduk di sudut ruangan dengan Qur'an di tangannya. Aku ikut membaca Qur'an di sudut ruangan masjid di bagian perempuan. Berkali-kali aku melirik ke arah pintu masjid, khawatir ia keluar tanpa sepengetahuanku.

Ethan baru keluar dari masjid pukul sembilan, aku terburu-buru mengikutinya. Aku duduk di sampingnya yang sedang memakai sepatu. Ethan menoleh, terkejut melihatku. Aku memberikan senyum terbaikku.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang