Epilog

6.9K 222 30
                                    

Malam ini kami menghadiri pesta pernikahan salah seorang kenalan Ethan. Sejak dalam perjalanan, Ethan cerewet sekali memperingatkanku agar tidak menyentuh makanan maupun minuman apapun. Ayah sang mempelai pria adalah orang yang sudah berjasa membantu Ethan pada tahun-tahun pertamanya memulai bisnis di sini. Karena alasan itulah Ethan tidak enak hati menolak undangannya meski beliau bukan muslim.

Mereka penggemar makanan dan minuman haram. Sebagian besar minuman yang disajikan berbau alkohol. Ethan khawatir makanannya juga mengandung unsur yang tidak halal. Baru kali ini aku berpuasa di tengah pesta.

Ethan mengobrol dengan banyak orang di sini, mengenalkanku pada teman-temannya. Mereka semua ramah, banyak bertanya dan mengajakku mengobrol tentang kehamilanku. Meski mayoritas mereka masih sendiri, hanya dua pasangan yang sudah menikah, dan salah satunya sudah memiliki anak berusia tiga tahun.

Kandunganku sudah memasuki usia dua puluh sembilan minggu. Bobot tubuhku sudah bertambah lagi dua kilo dalam sebulan ini, perutku sudah mulai terlihat membuncit meski aku memakai gaun longgar sekalipun. Aku sering mematut diri di cermin, merasa jelek sekali. Sudah ada satu garis stretch mark di perutku, kemungkinan akan terus bertambah.

Ethan menarik tanganku, membimbingku ke tengah ruangan. Melihat orang-orang berdansa di tengah ruangan, keningku berkerut bingung. Apa yang akan dilakukannya? Ethan mau mengajakku berdansa?

"Kak, aku tidak bisa berdansa." Aku mendesis panik.

Ethan menoleh, tersenyum menenangkan. "Aku bisa," bisiknya. Kami sudah sampai di lantai dansa.

"Tapi, Kak..."

Ethan menempelkan telunjuknya di bibirku, menyuruhku diam. Ia meletakkan sebelah tanganku di bahunya, juga sebelah tangannya di pinggangku, dan menggenggam erat tanganku yang lain. "Relax, Honey. Kamu hanya perlu mengikuti langkahku."

Aku menghela napas dalam-dalam. "Oke." Percuma juga aku menolak, kami sudah berada di lantai dansa. Orang-orang di sekeliling kami sudah berdansa sejak tadi.

Ethan tersenyum lembut. Ia mulai menarikku bergerak mengikuti irama musik, maju, mundur, kanan, kiri. Ternyata tidak sesulit yang kukira. Tadinya kupikir begitu. Tapi saat Ethan mengangkat tanganku ke atas dan menyuruhku berputar, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Untungnya, Ethan berhasil menangkap pinggangku dengan sigap.

"Relax." Ethan menarikku kembali berdiri.

Aku cemberut. "Kakak pikir mudah berdansa dengan perut buncit seperti ini?"

Ethan terkekeh pelan.

"Bisakah kita pulang sekarang? Punggung dan kakiku rasanya pegal sekali."

Ethan menatapku sejenak. "Baiklah. Ayo." Setelah berpamitan dengan kedua mempelai dan keluarganya, kami pulang.

"Meilin?"

Mendengar seseorang menyebut nama yang kukenal, aku menghentikan langkahku dan menoleh. Kami baru sampai di lobby hotel.

Seorang pria tua berwajah oriental dengan keriput memenuhi wajahnya menatapku diam. Sebagian besar rambutnya sudah memutih. Ia berpakaian formal selayaknya para tamu undangan lain, duduk di atas kursi rodanya. Ekspresi wajahnya tak terbaca, tapi sorot matanya menyiratkan kerinduan.

Ethan ikut berhenti dan menoleh melihatku terpaku bertatapan dengan pria tua asing. Tangannya masih menggenggam tanganku.

"Bukan, Papa." Seorang wanita yang memegangi kursi roda di belakangnya berkata pelan. Wanita itu memakai gaun merah panjang tanpa lengan, rambut hitamnya disanggul tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya. Aku menaksir usianya baru memasuki awal empat puluh.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang