Rumah - 2

3.1K 176 2
                                    

Alhamdulillah votenya udah 100. Makasih buat kalian yang masih setia membaca cerita yang terlalu mainstream ini 😘 Sebagai rasa terima kasih, aku update lagi hari ini. Enggak banyak, sih. Soalnya baru kemarin update, kan? Hehe. 😁 Tabungan partnya emang belom banyak.

Aku bukan tipe yang biasa nulis cerita berkesinambungan. Aku lebih sering nulis aja dulu apa yang terlintas dalam otak, enggak runut dari awal sampai akhir. Nanti baru disambung2in, dikasih monolog, latar tempat, suasana, dan sebagainya. Terus diliat lagi sama part sebelumnya buat memastikan ini cerita udah nyambung belom. Terakhir editing, mencari kesalahan penulisan, kejanggalan kata, dsb. Editing versi aku bisa berkali2, soalnya kalo cuma dua-tiga kali suka ada aja yang kelewat 😫 Makanya aku enggak berani update banyak2, takut keburu abis tabungannya. Hihi

So, enjoy aja ya biarpun dikit. Kalo viewnya udah sampe 2k, in syaa Allah nanti aku update lagi di luar jadwal. 😉

____________________________________________

Sepanjang hari ini aku hanya merapikan pakaianku, menggantung dan melipatnya di lemari. Aku melarang Ethan membuka barang-barangku yang dibawanya kemarin. Ethan juga menawarkan diri hendak membantu, tapi aku menolak. Aku malu jika ia tanpa sengaja menyentuh pakaian dalamku.

Ethan hanya diam saja, duduk tidak jauh dariku, menontonku merapikan pakaian. Tangannya sibuk memainkan rambutku, membelai, memilin, mengepang, lalu mengurainya lagi, membuatku risih. Aku sudah menyuruhnya pergi untuk melakukan hal lain bersama anggota keluarganya, tapi ia menolak.

“Bisakah Kakak berhenti memainkan rambutku?” Aku benar-benar sudah tidak tahan. Rasanya risi sekali, geli, membuat bulu-bulu halus di tengkukku meremang aneh.

“Kenapa? Rambutmu indah. Aku suka.” Apanya yang indah? Rambutku mengembang tidak beraturan seperti surai singa, kasar seperti sapu ijuk. Aku jadi semakin yakin Ethan benar-benar dibutakan oleh cinta. Tapi aku masih tidak mengerti kenapa ia bisa jatuh cinta padaku. Dengan kesempurnaan yang dimilikinya, aku yakin gadis manapun pasti tertarik padanya.

"Siapa saja yang tinggal di rumah ini?" Aku berusaha mengalihkan topik, berusaha mengabaikan belaian tangannya di rambutku.

"Hanya kita berdua."

"Emily? Dad?"

"Mereka tinggal di Amerika. Aku belum memberi tahumu?"

Aku menggeleng. "Kapan mereka pulang?"

"Besok. Kenapa? Kamu sudah tidak sabar ingin berduaan saja denganku?" Ethan tersenyum jahil.

Aku kembali menggeleng. "Tidakkah Kakak merasa rumah ini terlalu besar jika hanya untuk kita berdua saja?"

"Kamu tidak suka rumah ini?" Ethan terlihat kecewa.

"Aku suka, rumah ini indah sekali."

Ethan menyentuh pipiku dengan tangan kirinya. "Apa yang membuatmu khawatir?"

"Akan  membutuhkan waktu lebih dari satu jam hanya untuk menyapu dan mengepel rumah ini, belum lagi..." Aku menghentikan kata-kataku saat melihat ekspresi wajahnya berubah terkejut. "Bukan berarti aku tidak mau melakukannya."

Ethan tertawa. "Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku sudah memiliki seorang tukang kebun dan asisten rumah tangga."

Aku menghembuskan napas lega. Aku memikirkannya sejak kami memasuki gerbang perumahan tadi. Rumah kami dulu tidak sebesar ini, aku masih sanggup membersihkan rumah sepulang sekolah sebelum Raihan dan Mama pulang. Ah, aku jadi rindu Raihan. Apa yang dilakukannya sekarang? Apakah ia merindukanku juga? Sepertinya tidak.

Ethan tertawa lagi. "Aku punya cukup banyak uang, tidak mungkin kubiarkan istriku yang cantik ini bersusah payah membersihkan rumah."

"Aku tidak  melihat orang lain di rumah ini selain anggota keluarga."

"Mereka sedang libur. Aku memberikan satu hari untuk libur setiap minggunya."

"Setiap hari Minggu?"

"Tidak juga, mereka bebas menentukan harinya."

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang