Kopi atau teh?

4.4K 163 18
                                    

Aku terbangun dan melirik jam di atas meja nakas, pukul empat. Aku melihat Ethan sedang shalat, duduk tahiyat akhir. Selesai salam, ia berbalik dan tersenyum padaku.

"Mau shalat bersamaku?"

Aku mengangguk dan berwudhu. Kami shalat hanya dua raka'at dan berdoa, Ethan memimpin doa sementara aku mengaminkan. Selesai berdoa, Ethan berbalik menghadapku. Ia merengkuh kepalaku dengan kedua tangannya dan mendoakanku, memohon kebaikanku dan menghindarkan keburukanku. Aku menyebutnya doa pengantin, karena dari buku-buku yang kubaca dan beberapa ceramah yang kudengar, doa ini sering kali dilafalkan sesaat sebelum para pengantin baru melangsungkan malam pertama mereka.

Ethan mengecup puncak kepalaku dan menatapku lekat-lekat. Mata birunya membara, membuatku tidak bisa berpaling. Jantungku berdegup kencang, napasku mulai terasa berat. Apakah ia akan melakukannya sekarang, menagih haknya?

Adzan subuh berkumandang, menyelamatkanku dari tatapan matanya yang membara. Ethan tersenyum hangat dan mengecup keningku. Ia pamit untuk shalat subuh di masjid. Aku meraba dadaku, jantungku masih berdetak kencang.

Ethan baru kembali dari masjid pukul setengah enam. Langit sudah mulai terang, aku memandangi matahari yang menyinari gedung-gedung pencakar langit dari kaca jendela. Ethan memelukku dari belakang, membuatku tiba-tiba merasa sesak napas. Kami memandangi matahari merambat naik di ufuk timur dalam diam.

"Kakak mau teh atau kopi?" Aku bertanya saat mendengar air yang kupanaskan sudah bergolak mendidih.

"Teh saja, aku tidak suka kopi." Jawab Ethan.

"Manis atau tawar?"

"Manis." Ethan melepaskan pelukannya dan duduk di pinggir kasur. Memandangiku membuatkan teh manis untuknya.

"Mau diminum sekarang?"

"Masih panas, nanti saja. Kemarilah." Ethan mengulurkan tangannya padaku.

Aku mendekat perlahan, ragu-ragu. Ethan menarikku duduk di pangkuannya. Aku menurut. Detak jantungku kacau, napasku menderu kencang, punggungku lurus seperti papan, tegang. Aku merasa takut sekali. Tangan kanannya melingkari pinggangku dan tangan kirinya membelai rambutku, menyibakkannya perlahan. Jemarinya mengelus pipiku perlahan hingga ke leher. Saat aku merasakan bibirnya menempel di leherku, aku langsung berdiri di hadapannya.

Ethan tampak terkejut, tidak siap dengan penolakanku.

"Maaf." Kataku. Aku menjatuhkan diri, terduduk di lantai dengan kepala tertunduk. "Maaf." Ulangku. Kedua tanganku menggenggam tangannya erat. "Tolong maafkan aku." Aku tidak bisa melakukannya. Pikiranku masih penuh dengan Raihan. Aku bahkan dengan hinanya membayangkan Raihan yang memelukku, bukan Ethan. Aku terus-menerus teringat kata-katanya semalam, Seandainya kamu bukan adikku, aku sendiri yang akan menikahimu.

Ethan melepaskan tangan kirinya dan membelai kepalaku lembut. "Aku mengerti." Bisiknya.

Aku menangis terisak, merasa sangat hina. Semalaman, aku berulang kali mempertanyakan keputusanku menikah dengan Ethan. Padahal aku sudah sah menjadi istrinya. Aku memang perempuan hina. Tidak tahu diri. Aku tidak pantas mendapatkannya. Ethan terlau baik untukku yang hina ini.

__________________________________________

Aku masih menantikan kritik dan sarannya. Bilang aja kalo misalkan ada yang dirasa janggal, ga nyambung, membosankan. Aku ga gigit, kok 😀

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang