26. Kejutan

3.3K 160 21
                                    

Sekali lagi aku ingetin, ini cerita dewasa, bukan untuk anak-anak sekolah, temanya aja pernikahan. Hayo, jangan nakal, ya, Dek. Inget umur. Yang merasa under eighteen, mending pindah ke lapak sebelah aja, yuk ;)

_______________________________________

"Hari ini aku mau pakai uang agak banyak." Aku memulai pembicaraan. Kami sedang dalam perjalanan ke kampus. Aku memang selalu meminta izin sebelum menggunakan kartu ATM pemberian Ethan, walaupun aku tahu ia tidak akan merasa keberatan.

"Pakai saja, sayang." Ethan mengecup punggung tanganku. Kebiasaannya menyetir sambil menggenggam tanganku tidak pernah hilang. "Mau beli buku lagi?"

"Bukan." Aku menggeleng. "Aku mau membuat kejutan untuk Kakak." Aku sengaja memperdengarkan nada bercanda dalam suaraku.

Ethan menoleh padaku dan menarik tuas rem. Kami sudah sampai di parkiran kampus, di bawah pohon beringin. "Aku tidak sabar menantikannya." Ethan menatapku lekat-lekat. Wajahnya terlihat berseri-seri, senang mendengarku menyiapkan kejutan untuknya.

Aku tersenyum sebaik mungkin.

Ethan melepas seat belt yang membelit tubuhnya, merengkuh wajahku dengan tangan kanan dan menciumku lembut. "Sampai jumpa nanti siang."

"Tidak perlu. Aku mau bertemu teman sekolahku."

Ethan mengerutkan kening, tidak setuju. "Biar kuantar."

Aku cemberut. "Kalau Kakak mengantarku, tidak jadi kejutan namanya."

Ethan masih tidak setuju.

"Please, kali ini saja." Aku menggenggam tangan kanannya yang masih bertengger di pipiku. "Aku ingin sekali melakukan sesuatu untuk Kakak."

"Kamu tidak perlu melakukan apapun." Ethan berkata selembut mungkin, berusaha membujukku.

"Tapi aku ingin." Aku bersikeras.

"Aku khawatir jika tidak mengetahui keberadaanmu."

"Kakak bisa menjemputku sepulang bekerja nanti. Aku hanya ingin bertemu teman."

"Maaf, sayang. Biarkan aku mengantarmu, atau lupakan saja niatmu untuk bertemu dengan temanmu itu." Suaranya terdengar sangat lembut, tapi juga tegas menolak negosiasi yang kuajukan.

Aku menggertakkan gigi dan menunduk, menyembunyikan kekesalanku. Ethan selalu seperti ini. Ia tidak pernah mengijinkanku pergi sendirian. Memaksaku selalu bersamanya. Membuatku jengkel. Memangnya hidupku hanya melulu tentang dirinya? Ethan bukan matahari di alam semestaku. Aku juga ingin menghabiskan waktu dengan teman, menghindar darinya untuk sejenak.

Aku jadi teringat kejadian tiga bulan lalu. Aku menerima ajakan berkumpul bersama teman-teman sekolah dengan Ethan yang menempel di sampingku. Kehadiran Ethan membuat suasana terasa canggung meski Ethan diam saja dan hanya tersenyum sopan. Sejak saat itu, aku tidak pernah diajak lagi. Mungkin mereka merasa terintimidasi dengan semua yang Ethan miliki.

Ethan memelukku. "Maaf."

Aku diam saja, masih kesal.

"Maaf, sayang." Ethan mengecup puncak kepalaku sementara tangannya membelai kepalaku lembut.

Aku mendesah pasrah. Mau aku merajuk seperti apapun, Ethan tidak akan mengubah pikirannya. "Aku hampir terlambat," bisikku.

Ethan mengeratkan pelukannya sebelum melepasku. "Kujemput jam satu siang."

Aku langsung membuka pintu dan keluar tanpa menoleh, tanpa melambaikan tangan, tanpa mengucapkan salam. Aku meraih handphone di saku rok. Sambil berjalan, aku mengetikkan pesan pada Nisa, teman sekolahku. Aku meminta maaf tidak jadi datang dan memintanya untuk datang ke rumah. Aku menjanjikannya bonus mahal.

Aku hanya memiliki sedikit teman saat sekolah. Nisa salah satu teman yang masih rutin menghubungiku, saling bertanya kabar. Terakhir kali kami bertemu di acara pernikahanku. Nisa bekerja di sebuah salon besar di ibukota. Aku meminta bantuannya untuk memberikan kejutan pada Ethan. Kupikir sudah saatnya aku menyerahkan diriku.

Satu bulan yang lalu Ethan menyerangku. Kupikir, akan lebih baik jika aku mempersiapkan diri sebaik mungkin daripada tiba-tiba Ethan menyerang lagi. Menyerang mungkin bukan kata yang tepat, tapi aku kesulitan bagaimana menjelaskannya.

Malam itu, di atas kasur, Ethan menciumku. Ia memang biasa menciumku sebelum tidur. Tapi ciumannya kali itu berbeda, lebih intens, lebih bergairah. Tangannya bergerak nakal masuk ke balik piyamaku, menyentuh pinggang, perut, lalu naik ke dada. Saat bibirnya beralih ke leherku, aku memanggilnya berkali-kali, berusaha menghentikannya, tapi ia mengabaikanku. Ia malah kembali menciumiku, membungkam mulutku.

Aku mendorong dadanya kuat-kuat, menjauhkannya.

Ethan menatapku nanar, tidak setuju. Mata birunya masih membara, menatapku dengan pandangan lapar.

"Kakak sudah berjanji akan menunggu sampai aku siap." Aku mengingatkan dengan napas tersengal.

"I've been waiting for six months," serunya. Ia terlihat kesal sekali.

"Tapi Kakak sudah berjanji." Aku balas berseru. "Sampai aku siap." Aku menambahkan dengan suara pelan.

"Kupikir kamu hanya terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung," desis Ethan.

"Jika aku sudah siap, aku akan mengatakannya dengan jelas, sangat jelas." Aku balas mendesis.

Ethan menggertakkan gigi dengan mata terpejam. Ia turun dari kasur, menyambar kunci mobil dan pergi meninggalkanku.

Aku terdiam mematung selama beberapa menit, menatap kepergiannya. Aku merebahkan diri di atas kasur, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ethan belum kembali hingga satu jam kemudian. Aku bergerak-gerak gelisah di kasur, menggigiti bibir berulang kali.

Apa yang sudah kulakukan? Ethan suamiku. Seorang istri tidak boleh menolak jika suami meminta atau para malaikat akan melaknat. Ethan pergi ke mana? Apa yang dilakukannya di luar sana? Bagaimana jika ia mencari pelampiasan di luar sana? Ia punya banyak uang, ia bisa melakukan apapun.

Aku terburu-buru menggeleng. Ethan seorang pria shalih, ia tidak akan berbuat dosa. Tapi bisa saja, kan? Bisa saja Ethan khilaf karena terbakar amarah. Ini salahku. Seharusnya aku tidak menolak. Seharusnya aku tidak mendorongnya menjauh. Seharusnya aku diam saja, menerima.

Aku bodoh sekali. Apa susahnya menyerahkan tubuhku? Padahal hanya tubuh ini yang kupunya. Apalagi yang bisa kuberikan padanya selain tubuhku? Ini haknya. Sudah terlalu lama aku menangguhkan haknya.

Ethan baru kembali pukul dua belas malam. Setelah meletakkan kunci mobil di atas meja nakas, ia langsung masuk ke kamar mandi. Aku yang sejak tadi berbaring miring memunggungi pintu, bangun dan duduk di atas kasur, menunggunya keluar dari kamar mandi. Aku harus meminta maaf sekarang juga, harus.

Ethan tidak berlama-lama di kamar mandi. Ia terkejut melihatku duduk di kasur. Mungkin dipikirnya aku sudah tidur. Dengan langkah gontai, ia menghampiriku, duduk bersila di hadapanku. "Maaf," bisiknya. Ethan selalu meminta maaf duluan, meski sebenarnya aku yang bersalah.

Aku menggeleng. "Aku yang minta maaf."

"Tidak, kamu benar. Aku hampir melanggar janjiku sendiri."

Aku menelan ludah. "Kalau, Kakak, mau melakukannya sekarang, lakukanlah." Aku membuka kancing piyamaku dengan tangan gemetar. Aku belum siap sebenarnya, tapi aku lebih takut pada laknat Allah.

Ethan menggenggam kedua tanganku, menghentikannya. "Sesuai janji yang pernah kuucapkan, aku akan menunggu sampai kamu siap." Ethan tersenyum tulus.

Airmataku langsung tumpah ruah. Allah, kenapa Kau berikan pria sebaik ini padaku? Kenapa Kau biarkan hamba-Mu yang shalih ini jatuh cinta pada gadis bodoh sepertiku?

________________________________

Aku berlepas diri dari resiko apapun yang timbul pada anak-anak sekolah yang masih nekat baca

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang