29. Acuh Tak Acuh

2.9K 130 27
                                    

Sudah lima hari kami tidak bertemu. Kami masih tinggal di rumah yang sama, tidur di atas ranjang yang sama, tapi kami saling menghindar. Ethan berangkat pagi-pagi sekali ke kantor dan pulang larut malam. Kalaupun kami tidak sengaja bertemu, Ethan mengabaikanku, menganggapku tidak ada. Aku juga membiarkannya saja.

Handphone-ku sudah lama tidak menampilkan namanya. Aku pulang dan pergi kuliah naik taksi, terkadang kopaja, atau bus transjakarta. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, main ke rumah teman, nongkrong di café, mengerjakan tugas bersama teman, mengikuti kegiatan LDK. Aku baru pulang selepas maghrib.

Terkadang aku berpikir, mungkin lebih baik begini. Toh Ethan sudah tahu semuanya, aku tidak perlu lagi menyembunyikan apapun darinya, tidak perlu berpura-pura peduli padanya, tidak perlu mengarang alasan untuk menghindarinya lagi. Ia juga bisa berhenti berusaha menyenangkan hatiku, berhenti menginterogasiku, berhenti melarang-larangku. Tapi Ia tidak bisa berhenti peduli padaku.

Ethan menaruh uang di laci meja nakas sebanyak lima ratus ribu rupiah, aku hanya mengambil seratus atau dua ratus ribu saja. Setiap pagi, jumlahnya selalu sama, lima ratus ribu rupiah. Aku menaruh kartu ATM pemberiannya di sana. Keesokan harinya, uang di rekening pribadiku membengkak, bertambah sebanyak seratus juta rupiah.

Aku tetap berangkat ke kampus di hari Minggu, sengaja menghindari Ethan. Aku dengan senang hati menerima tugas sebagai seksi dekorasi dan dokumentasi dalam acara seminar yang diselenggarakan di kampus. Seminarnya dimulai pukul sepuluh. Tapi aku sudah berangkat ke kampus sejak pukul setengah delapan pagi, menyiapkan dekorasi acara.

Ethan sudah lebih dulu pergi dengan mobilnya sejak pukul tujuh, entah ke mana. Kemarin juga sama. Pukul tujuh pagi ia sudah pergi entah ke mana. Biasanya Ethan selalu bilang dan mengajakku. Aku juga berangkat ke kampus, mempersiapkan acara hari ini.

Aku sibuk sekali hari ini. Sebelum acara dimulai, aku sibuk menyiapkan dekorasi bersama mahasiswa lain. Saat acara berlangsung, aku sibuk mengabadikan acara hari ini. Mengelilingi setiap sudut aula, memotret dari berbagai angle dalam setiap adegan.

Acara seminar ini baru selesai pukul lima sore. Para panitia beristirahat sebentar hingga maghrib, makan, bersantai sejenak. Selepas maghrib kami membereskan aula, merapikan kembali barang-barang dan membuang sampah yang berserakan hingga isya menjelang. Dilanjut dengan evaluasi acara hingga pukul sembilan malam.

Saat aku baru saja duduk meluruskan kaki untuk beristirahat sejenak, handphone di saku rokku bergetar. Mama menelepon. Aku menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab telepon. Mengobrol dengan Mama tidak pernah mudah.

Mama hanya menanyakan kabar awalnya, apa yang sedang kulakukan. Mama bertanya kabar Ethan juga, bertanya apa yang dilakukannya. Inilah peliknya. Aku tidak suka berbohong. Dalam keadaan lelah seperti ini, otakku tidak mampu berpikir secara maksimal. Kukatakan saja aku tidak tahu. Mama menangkap nada ketus dalam suaraku saat membahas Ethan.

Mama perempuan, tentu saja sangat peka mendengar nada yang berbeda dalam suaraku meski aku sudah berusaha menutupinya. Aku terpaksa mengaku pada Mama bahwa kami sedang tidak akur, saling menghindar, saling mengabaikan walau masih tinggal satu atap dan tidur satu ranjang.

Mama malah mengejekku, mengatakan pasti aku yang melakukan kesalahan. Menyuruhku meminta maaf lebih dulu, jangan sampai Ethan marah berkepanjangan. Itu jelas merugikanku. Sebenarnya, yang Mama katakan tidak salah. Gaya bicara Mama yang galak dan menyebalkan memantik kekesalanku.

Akhir-akhir ini emosiku sedang tidak stabil. Aku gampang sekali marah, sedih, dan emosi-emosi buruk lainnya. Ditambah aku sedang dalam keadaan lelah, aku sedang tidak ingin dinasihati. Seandainya Raihan yang bicara, walau semenyebalkan apapun nada bicaranya, aku tidak akan sekesal ini.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang