32. Raihan dan Mama

3.2K 147 32
                                    

"Apa yang terjadi?" Tanyaku dengan napas tersengal.

Aku batal kuliah hari ini, langsung menyusul ke rumah sakit. Aku sudah mengabari Ethan di perjalanan tadi. Ia masih meeting, tapi berjanji akan segera menyusul. Aku tidak memintanya datang sebenarnya. Tapi tidak mungkin Ethan diam saja mendengar mertuanya kecelakaan.

Hanya ada Dhika dan Rizky di sini. Duduk di lobi Instalasi Gawat Darurat. Kemungkinan Adit sudah berangkat sekolah saat kecelakaan terjadi. Rizky masuk sekolah siang setiap hari Selasa dan Jum'at. Dhika mungkin tidak ada kelas pagi ini. Aku tidak tahu jadwal kuliahnya.

"Mereka kecelakaan." Dhika menjawab datar.

"Rizky bilang, Mama mau bicara denganku, tapi A Iyan menghalangi." Aku berusaha mengatur napas.

Dhika melirik tajam pada Rizky.

Rizky diam saja dengan kepala tertunduk, mengkeret.

"Apa yang terjadi?" Aku mengulangi pertanyaanku. Napasku sudah kembali normal.

"Apa yang kalian bicarakan di telepon kemarin malam?" Bukannya menjawab, Dhika malah balik bertanya.

Aku menelan ludah. Dhika membicarakan ketidak-sopananku pada Mama, atau isi curahan hatiku yang keterlaluan?

"Itu yang mau Mama bicarakan denganmu."

"Kenapa A Iyan menghalangi?"

"A Iyan pikir kalian cuma cek-cok sebentar, urusan rumah tangga. Suami istri terkadang ribut hanya untuk masalah kecil. Lagipula suamimu terlihat baik-baik saja di kantor, terlihat terlalu bahagia untuk ukuran seorang suami yang punya masalah dengan istrinya. Kalian juga minggu lalu baru pulang dari Lombok, kan?"

"Tapi Mama tetap ngotot mau bicara denganku?"

"Iya."

"Kenapa?"

Dhika menghela napas berat. "Mama merasa sangat bersalah sudah memisahkan kalian berdua."

"'Kalian' siapa yang A Dhika maksud?" Jantungku berdebar kencang, berusaha menerka perkataan Dhika.

"Duduklah." Dhika menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Akan kuceritakan semuanya sejak awal."

Aku menurut, duduk di sampingnya.

"Sehari setelah pernikahanmu, Mama dan A Iyan bertengkar hebat. A Iyan marah sekali Mama menyembunyikan fakta bahwa kamu bukan anak Papa. Mama tidak merasa menyembunyikan apapun, karena sudah jelas kamu sama sekali tidak mirip Papa. Bagi Mama, sampai kapanpun kamu adalah anggota keluarga ini, anaknya. Mama juga kesal karena disalahkan untuk hal yang tidak terlalu penting. Tapi bagi A Iyan, informasi itu sangat penting."

"A Iyan mengurung diri di kamar, menghindari Mama. Dia juga cuti kerja, menghindarimu dan suamimu. Dia hanya keluar untuk..."

"Menghindariku?" Aku langsung memotong. Kenapa Raihan menghindariku? Apa salahku padanya?

Dhika mendengus. "Dengarkan saja dulu sampai selesai, nanti kamu bisa menyimpulkan sendiri."

Aku kecewa, tapi diam saja. Aku setuju untuk mendengarkan sampai selesai.

"A Iyan menghubungimu secara rutin, bertanya kabar, sekadar mengecek apakah kamu bahagia dengan pernikahanmu. Dia juga terkadang menyuruh kami mengunjungimu, mengecek keadaanmu, memastikan kamu tidak kekurangan apapun. Mengetahui bahwa kamu bahagia, itu sudah cukup baginya. Dia berusaha menerima keadaan bahwa kamu hanyalah adiknya."

"A Iyan juga berusaha menyibukkan diri untuk mengusir bayanganmu dari pikirannya. Dia akhirnya memutuskan untuk kuliah lagi. Dia benar-benar sibuk. Siang hari bekerja, malam hari kuliah, pulang hanya untuk tidur. Dia sudah bisa menyebut namamu dengan wajah ceria, sudah tidak terlalu bersedih lagi."

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang