"Neng Karla dari mana saja?" Mang Udin langsung menanyaiku begitu aku memasuki pintu pagar. Ternyata ia belum pulang.
"Dari kampus, terus ke kantor. Kenapa Mang Udin?"
"Bapak tadi pingsan, Neng."
Astaghfirullaah. Mataku membelalak, kaget mendengarnya.
"Bapak pingsan di dalam taksi, Neng. Supir taksinya ribut sekali memencet bel berkali-ka..."
Aku langsung menghambur masuk ke dalam rumah, terburu-buru menaiki tangga. Tidak menghiraukan Mang Udin yang belum selesai bercerita dan memanggil-manggilku. Aku langsung menghampiri Ethan di kamar, duduk di atas kasur, berhadapan dengannya.
Ia menyunggingkan senyum tulusnya sejak melihatku membuka pintu kamar. Wajahnya masih terlihat pucat, matanya menatapku sayu. Aku menempelkan telapak tanganku ke keningnya, panas sekali.
"Aku baik-baik saja." Ethan melepaskan tanganku dan menggenggamnya. Tangannya juga terasa panas sekali. Suaranya terdengar parau dan lemah.
Aku melihat paracetamol di atas meja nakas, segelas air, dan semangkuk bubur yang bersisa setengah porsi lagi. "Kakak sudah minum obat?" Tanyaku cemas.
"Kamu khawatir?" Ethan tidak menghiraukan pertanyaanku. Matanya sibuk memandangi tangannya yang memainkan jemariku, membuatku risi. Sudah lama ia tidak menyentuhku.
"Tentu saja. Kewajibanku mengurus suami saat sakit."
Ethan tersenyum getir, ia terluka lagi. "Mau kubebaskan dari kewajibanmu itu?" Ethan menatapku tenang, memasang wajah tanpa ekspresi.
Keningku berkerut bingung. Aku tidak bisa menebak arah pembicaraannya.
"Maafkan aku. Sikapku kekanak-kanakan sekali. Usiaku hampir tiga puluh tahun, tapi aku..." Ethan terdiam agak lama sebelum melanjutkan. "Bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik-baik saja." Tanpa pikir panjang aku langsung menjawab.
"Sekarang, apa yang kamu inginkan, Karla?" Ethan berkata sambil tersenyum tipis.
"Tidak ada," jawabku jujur.
"Kupikir kamu mau pergi meninggalkanku."
Aku terperangah menatapnya, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku tidak pernah berpikir ke arah sana. Sama sekali tidak pernah.
"Tidak? Itu mengejutkan." Ethan mengerutkan keningnya, bingung. "Bukankah kamu membenciku?"
Aku terburu-buru menggeleng. "Kakak hanya sedikit menyebalkan."
Ethan menatapku penuh selidik. Ekspresi bingung masih terpeta jelas di wajahnya.
Aku menggigit bibir, bingung bagaimana menjelaskannya. "Memangnya Kakak pikir aku akan pergi ke mana? Aku tidak punya siapa-siapa. Aku tidak punya tempat untuk pulang selain di sini."
"Kamu mau aku yang pergi?"
Aku menggeleng kuat-kuat. Ia salah mengerti. "Maaf. Aku memang keterlaluan."
"Aku tidak akan mengambil kembali apa yang sudah kuberikan padamu. Rumah ini, uang, saham, semuanya milikmu."
"Kakak pikir aku cewek macam apa?" Sergahku kasar. Aku merasa tersinggung mendengarnya.
Ethan terdiam, aku juga. Kami membiarkan keheningan menggantung selama beberapa menit. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Raihan tahu kamu bukan adiknya?"
Aku mengangguk. "Dia hanya menganggapku adik." Ethan tidak membacanya di diary-ku? Aku menghela napas dan menggenggam tangannya erat. "Bisakah kita lupakan saja yang telah berlalu? Kita mulai lagi dari awal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karla
RomanceWarning! 18+ Tolong, pilihlah bacaan dengan bijak Part 33, 35, dan beberapa part berikutnya mungkin akan ada yang di-private. Silakan follow dulu. Bagaimana jika orang yang kamu cintai memintamu untuk menikah? Bukan, bukan dengannya, jangan senang d...