DUA-3

3.3K 171 0
                                    

Raihan masih sangat mendukung kelangsungan hubungan kami. Ia mengajak untuk bertemu lagi seminggu kemudian. Aku menurut. Aku tidak pernah bisa menolak permintaannya. Kami bertemu di sebuah restoran dekat rumah. Ethan ternyata sudah menunggu di sana, sendirian. Ia sedang memandangi layar smartphone-nya saat kami datang. Seperti minggu lalu, Ethan menyalami Raihan dengan hangat dan hanya mengangguk sopan padaku. Seorang pramusaji menghampiri kami untuk mencatat pesanan kami.

“Karla, ada yang ingin kamu katakan?” Raihan bertanya saat pramusaji berlalu dari meja kami.

Aku mengeluh dalam hati. Raihan mendesakku untuk berterima kasih langsung pada Ethan sebelum kami berangkat tadi. Menurutnya, akan sangat tidak sopan jika aku diam saja setelah Ethan dua kali memberikan sesuatu. Padahal, kan, aku berniat untuk mengembalikannya nanti.

“Terima kasih.” Ucapku, penuh keraguan.

“Apa?” Tanya Ethan. Entah ia hanya berpura-pura tidak mengerti untuk memancing obrolan atau memang benar-benar tidak mengerti.

“Untuk buku dan… gaunnya.” Terangku, masih merasa enggan.

“Bukan masalah.” Jawab Ethan enteng. Ia menyodorkan sebuah map padaku.

Aku menatap map itu bingung. Apalagi ini? Aku tidak suka menerima terlalu banyak jika akhirnya aku harus menolaknya.

“Bukalah.” Kata Ethan, setelah melihatku hanya diam memandangi map.

Aku mendesah pelan dan menurut. Ternyata isinya hanya beberapa lembar kertas. Aku membaca kertas paling atas baik-baik, isinya hanya biodata diri. Aku pernah mendengar dari kakak mentor rohisku di sekolah, ta’aruf bisa juga menggunakan cv. Semacam cv untuk melamar kerja, hanya saja lebih spesifik.

“Kupikir, mungkin kamu malu jika bertanya langsung padaku. Jika ada yang ingin kamu tanyakan, katakan saja.” Ethan berkata sambil tersenyum sopan. Ia benar, aku lebih suka membacanya seperti ini dibanding harus mengobrol panjang lebar.

Aku mengucapkan terima kasih lagi.

Ethan hanya mengangguk.

Aku terkejut melihat tinggi badannya 183 cm, beratnya 78 kg. Wow. Tinggi kami berbeda tiga puluh senti, dan beratnya hampir dua kali lipat dari berat tubuhku. Aku memandangi tubuhnya dari balik kertas yang kubaca. Ethan sedang mengobrol dengan Raihan. Tubuhnya atletis, lengan dan bahunya terlihat kekar dibalik jaketnya.

Ethan memakai kaus berwarna putih kali ini, dengan jaket tipis berwarna biru dongker. Aku tidak memperhatikan sebelumnya, Ethan sangat tampan, bahkan lebih tampan dibanding Raihan.

Aku menggeleng pelan, berusaha menjernihkan pikiranku. Bodoh sekali jika aku tertarik pada seorang pria hanya karena ia tampan dan kaya. Aku tidak akan berpaling dari Raihan, tidak akan.

“Ada apa?” Ternyata Raihan melihatku menggeleng.

Aku berpikir cepat, mencari alasan. “Terlalu sempurna.” Kataku asal. “Seperti bukan manusia.” Aku tidak bohong. Lihatlah, Ethan begitu rupawan, seperti artis hollywood yang sering kulihat di televisi. Prestasi akademiknya juga selalu sempurna. Ia juga memiliki hapalan Qur’an sebanyak tujuh juz. Dan tambahannya lagi, ia kaya raya. Ia tidak perlu mencemaskan apapun. Hidupnya sempurna sekali.

“Tapi aku mencantumkan informasi yang sesungguhnya.” Terang Ethan. Ia terlihat terkejut, tidak menyangka aku akan berkomentar seperti itu.

“Saya tidak menuduh…” Aku ragu sejenak, tidak yakin untuk menyebut namanya langsung. “Anda tidak berbohong, saya tahu.” Kataku.

Ethan mengangkat alisnya. “Formal sekali. Sebut saja namaku.”

“Agak sulit diucapkan untuk lidah Indonesia.” Aku menyebutkan alasan asal-asalan.

“Tidak masalah. Rasanya aneh mendengarmu bicara seformal itu. Ayo, sebut saja namaku.”

Aku terdiam cukup lama, ragu. Tapi Ethan dan Raihan menunggu. “Ethan?” Ucapku, penuh keraguan. Aku malah membuat nadanya jadi seperti bertanya.

Ethan menunduk dan menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Aku melihat sudut-sudut bibirnya tertarik ke belakang. Ia tersenyum. Ethan menyukainya. Aku tidak boleh membuatnya semakin menyukaiku. Aku hendak menolak lamarannya, tapi aku juga tidak suka melukai perasaan dan harga dirinya terlalu dalam.

“Boleh kupanggil Kakak saja?” Usulku.

Okay.” Ethan menyetujui.

Sepanjang hari itu aku lebih banyak diam, hanya menjawab jika ditanya. Ethan lebih banyak mengobrol dengan Raihan. Ia hanya bertanya padaku sesekali. Kebanyakan pertanyaan remeh seperti, warna yang kusukai, makanan yang kusukai, apakah aku menyukai bunga.

Aku menjawab seperlunya, tanpa benar-benar memikirkannya. Tapi aku menjawab jujur, aku tidak pernah suka berbohong. Bohong itu dosa. Ethan sempat menanyakan apakah aku suka warna biru. Mungkin ia tidak puas karena aku menjawab suka banyak warna tergantung suasana hatiku. Tapi kenapa ia dengan spesifik menyebut warna biru?

“Saat ini tidak.” Jawabku cuek, mengabaikan ekspresi kekecewaan yang terpampang jelas di wajahnya. Hari ini aku sedang menyukai warna kuning pucat, warna yang sama dengan kaus yang dipakai Raihan.

Sama seperti minggu lalu, kami pulang setelah shalat ashar. Bedanya, hari ini kami tidak ke mana-mana, hanya duduk mengobrol di dalam restoran. Kami jadi memiliki jadwal bertemu rutin setiap hari Sabtu dan Minggu. Kami tidak selalu bertemu di luar, terkadang Ethan datang ke rumah. Tapi aku lebih suka jika kami bertemu di luar saja.

Mama sibuk sekali jika Ethan datang ke rumah, membuat berbagai macam cemilan. Mama mendominasi percakapan saat Ethan datang. Dengan senang hati ia menceritakanku, sifatku, kegiatanku sehari-hari. Inilah saat-saat mama mengakui kelakuan baikku, semacam membangun kesan baik di mata Ethan.

Ethan menanggapi dengan sangat baik dan sopan. Ia selalu membawa buah tangan jika datang. Kelihatannya Ethan juga lebih suka kami bertemu di luar saja. Ia terlihat canggung dengan segala perhatian yang mama curahkan padanya. Sementara aku hanya diam saja di sana. Duduk di sudut sofa ruang tamu rumah kami sambil memainkan handphone atau membaca novel, mendengarkan pembicaraan mereka. Terkadang aku merasa Ethan melirikku, tapi ia tidak pernah mengatakan apapun padaku saat di rumah.

Terima kasih sudah membaca.
Leave some comment, please. Vote dan share juga.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang