21. Rindu

3.2K 148 6
                                    

Tidak banyak yang bisa kulakukan di rumah besar ini. Semua pekerjaan rumah sudah ada yang mengerjakan, Ethan juga melarangku melakukannya. Aku sudah tidak berminat belajar memasak. Lebih tepatnya, aku tidak tega menjadikan Ethan sebagai 'tong sampah' yang menampung kegagalan hasil masakanku. Ia punya uang, terbiasa makan enak. Dan di luar dugaan, Ethan ternyata bisa memasak.

Ethan memasak nasi goreng untuk makan malam kami. Setelah puas menertawai sayur asem kencurku, ia menawarkan diri memasak makan malam. Awalnya aku memandang sebelah mata, bersiap hendak menumpulkan indera pengecapku. Tapi ternyata tidak perlu, rasanya enak, pas di lidah. Ethan tersenyum puas melihat ekspresi 'enak' di wajahku.

"Saat di pesantren dulu, para santri mendapat jadwal masak bergilir setiap minggunya." Ethan menjelaskan saat aku masih bertanya-tanya dalam hati, tidak terima ia lebih terampil di dapur dibanding diriku. "Nasi goreng buatanku jadi favorit para santri." Ethan tersenyum bangga.

Aku menghela napas. Apa sih yang tidak bisa dilakukannya? Rasanya tidak ada.

Aku tidak bisa diam saja. Saat aku sedang sendirian dan tidak ada yang bisa kukerjakan, pikiranku akan langsung tertuju pada Raihan. Aku merindukannya, teramat sangat rindu. Aku hanya bisa menitipkan rasa rinduku dalam shalat. Sering kali aku terisak di sujud terakhirku, memohon yang terbaik pada Allah, memohon agar rasa cinta yang menggerogoti hatiku ini segera luruh bersama airmata.

Rasanya menyesakkan sekali. Aku tidak mau menyesali keputusanku menikah dengan Ethan. Meskipun aku hanya menuruti permintaan Raihan, Ethan benar-benar pria yang baik. Teramat sangat baik. Aku tidak boleh menyakiti hatinya dengan terus-menerus menyimpan rasa untuk pria lain yang tak bisa kuraih hatinya.

Aku merindukan Raihan. Melihat Bi Isah sedang menyetrika pakaian membuatku teringat padanya. Dulu, Raihan pernah terkena sengatan setrika panas karena menolongku.

Saat itu, aku sedang menyetrika pakaian. Salah satu kancing seragam Rizky terlepas dan jatuh ke lantai. Aku meletakkan setrika dalam keadaan berdiri di atas meja, lalu berjongkok mencari kancing yang terjatuh di kolong meja. Setelah ditemukan, aku langsung bangun. Karena kurang hati-hati, kepalaku terantuk ujung meja, menyebabkan setrika panas itu meluncur bebas ke bawah.

Aku memejamkan mata, menunduk, dan melindungi kepalaku dengan tangan, bersiap menerima hantaman setrika panas di kepalaku. Setelah beberapa detik tidak terjadi apa-apa, aku membuka mataku dan mendongak. Ternyata Raihan-yang sejak tadi sedang mengajari Adit mengerjakan PR-menangkap setrika itu sebelum menghantam kepalaku dengan tangan kosong, memegang bagian panasnya.

Raihan mengaduh pelan, lalu melempar setrika itu ke atas meja. Adit memekik kaget, membuat Mama yang sedang shalat tergopoh-gopoh keluar dari kamar, masih mengenakan mukena. Sementara aku mematung dengan wajah pias, masih terkejut menyadari apa yang terjadi.

Mama langsung menyuruh Adit mengambil seember air, menarik Raihan kembali duduk di kursi makan. Mama mengomeliku panjang lebar, bahkan setelah tangan Raihan dibenamkan dalam air. Raihan berusaha menenangkan Mama sambil meringis, tidak tega melihatku hanya tertunduk diam karena dimarahi.

Aku menyeka airmata yang mengalir di pipi dan mendekat, duduk bersimpuh di hadapan Raihan dengan kepala tertunduk dalam. Aku meminta maaf dengan suara lirih. Aku merasa bersalah sekali. Ini semua karena kecerobohanku. Seharusnya aku lebih berhati-hati. Raihan terluka karena kebodohanku.

Raihan mengusap kepalaku dengan tangannya yang sehat. "A Iyan tidak apa-apa. Yang penting Karla tidak terluka."

Tangisku pecah mendengarnya. Bagaimana mungkin aku tidak jatuh hati padanya jika dia sebaik itu padaku? Raihan selalu menjadi orang pertama yang memastikan aku baik-baik saja. Meski sekarang aku baru sadar, Raihan memperhatikanku karena memang begitulah pesan Papa sebelum meninggal.

Aku menghela napas berat dan menaiki tangga menuju ruang baca. Tadinya kupikir, tinggal terpisah dengan Raihan bisa membuat perasaanku langsung berpaling pada Ethan. Ternyata tidak. Aku tidak bisa melupakannya begitu saja. Bayangan wajahnya selalu muncul setiap kali aku memejamkan mata. Kenangan saat-saat bersamanya menderas dalam benakku.

Aku merindukannya, teramat sangat rindu.

Aku bosan melahap buku-buku novelku yang sudah berulang kali kubaca. Buku-buku milik Ethan di rumah ini lebih banyak yang menggunakan bahasa Inggris. Sudah tiga hari aku mencoba menerjemahkan Wuthering Heights didampingi kamus bahasa Inggris. Ini melelahkan. Aku harus berkali-kali membuka kamus, membolak-balikkan halamannya. Tapi berhasil membuat pikiranku sibuk, mengalihkan pikiranku dari Raihan.

Ethan menatapku keheranan. Ia menawarkan diri membelikanku versi Indonesianya, tapi aku menolak. Aku memang sengaja mencari kesibukan, kok.

Hari ini aku menyerah. Aku sudah terlalu merindukannya. Aku bertanya pada Ethan apakah aku boleh ikut ke kantornya, ia mengangguk antusias. Ethan senang sekali. Ia tidak tahu alasanku ingin ikut adalah untuk melihat Raihan. Entah bagaimana reaksinya jika ia tahu.

Aku hanya ingin melihat Raihan dari jauh. Tidak perlu terlalu dekat, tidak perlu bertatap muka, mengobrol, dan sebagainya. Aku hanya ingin melihatnya, sungguh. Ternyata aku harus menelan kekecewaan. Raihan sedang cuti seminggu, Ethan yang memberitahu. Aku sudah tidak tahan dan akhirnya bertanya.

Aku sedang duduk di atas sofa dengan kepala memutar menghadap dinding kaca. Aku memandangi gedung-gedung pencakar langit dari ketinggian lantai dua puluh lima di ruang kerja Ethan. Sayangnya pikiranku sedang sibuk memikirkan Raihan, tidak sempat mengagumi pemandangan indah di hadapanku.

Aku sedang menimbang-nimbang apakah perlu menghubungi Raihan atau tidak. Apa yang dilakukannya? Raihan pekerja keras. Ia tidak pernah cuti selama ini sebelumnya, kecuali sakit. Apakah ia sedang sakit? Saat Raihan sakit, aku yang selalu membawakan makanan dan minuman ke kamarnya. Ia juga melakukan hal yang sama jika aku sakit. Ia pernah menyuapiku makan karena seharian itu belum ada makanan apapun yang masuk ke tubuhku. Ah, itu sama sekali bukan hal yang romantis di matanya. Ia memaksaku makan karena aku merepotkan saat sakit.

"Kamu merindukan Raihan?" Tebak Ethan.

Aku menoleh, terkejut.

Ethan sudah duduk di sampingku, entah sejak kapan. Aku tidak memperhatikan. Padahal ia tadi masih duduk di balik mejanya, sibuk memeriksa beberapa dokumen yang dibawa sekretarisnya. Sudah berapa lama aku melamun?

Aku lupa Ethan sangat peka membaca ekspresi wajahku. Seharusnya aku tidak menunjukkan kekecewaan dan kekhawatiran sejelas ini. Aku mengatur ekspresi wajahku menjadi lebih cuek. "Sedikit," kataku sambil mengangkat bahu.

"Mau kuantar untuk bertemu dengannya?"

Aku menggeleng. Aku yakin Raihan baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu padanya, Rizky atau siapapun di rumah pasti akan menghubungiku. Aku hanya harus menekan lebih dalam rasa rindu ini. Aku sudah menikah, bukan dengan Raihan. Aku membatin berkali-kali.

Ethan menatapku penuh selidik.

Aku membiarkannya saja, memasang wajah datar sebaik mungkin.

Ethan menggenggam tanganku. "Kamu bosan?"

"Dua hari ke depan ada ospek, Senin aku sudah mulai kuliah, aku punya kegiatan untuk mengusir rasa bosan."

Ethan mengecup telapak tanganku. "Kita belum berbulan madu. Kamu mau ke mana? Bali, Lombok, Singapore?"

"Ke mana saja boleh." Aku belum pernah ke manapun sebelumnya. "Kapan?"

Ethan tersenyum, wajahnya terlihat antusias. "Minggu depan, kita berangkat Jum'at malam."

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang