22. Ospek

3.2K 133 9
                                    

"Aku punya permintaan." Ethan berdiri di belakangku, menatapku lewat pantulan cermin. Ia sudah rapi, sudah siap berangkat.

Ini hari pertamaku ospek. Aku sudah sibuk sejak shubuh, mempersiapkan apa saja yang perlu kubawa. Ospek jaman sekarang tidak aneh-aneh sebenarnya, para mahasiswa baru hanya disuruh membawa alat tulis, name tag, dan jadwal yang sudah dibagikan lewat email, tapi aku tetap saja merasa gugup.

Aku menghentikan gerakan tanganku yang sedang memakai kerudung, menatapnya dengan pandangan bertanya—lewat pantulan cermin juga.

"Keberatan tidak kalau kuminta kamu memanjangkan kerudungmu sedikit?"

"Bukankah ini sudah cukup memenuhi syarat, menutup dada?"

Ethan tersenyum. "Memang. Tapi semakin panjang kerudungmu, semakin kecil kemungkinannya tersibak tanpa sengaja."

Aku terdiam, menimbang-nimbang dalam hati. Ini permintaan pertamanya.

"Please," pintanya.

Aku menghela napas dalam-dalam sebelum melepas kerudungku. Lalu menggeser lipatannya sedikit dan menyampirkannya lagi di kepala. "Segini cukup?" Tanyaku memastikan.

"Terima kasih," ucapnya tulus. Ethan mengecup puncak kepalaku. "Aku memanaskan mobil dulu, kutunggu di bawah."

Aku mengangguk.

Perjalanan ke kampus ternyata membutuhkan waktu tidak sampai satu jam, hanya empat puluh lima menit dengan mengendarai mobil. Ethan memberhentikan mobilnya di parkiran kampus, di bawah pohon beringin besar.

Parkiran mobil penuh. Sudah banyak orang-orang berseliweran memakai pakaian merah dan putih, dress code mahasiswa baru. Aku seperti sedang melihat bendera negara kami berkibar-kibar tertiup angin. Aku tidak langsung keluar dari mobil, merasa sangat gugup. Toh aku masih punya waktu lima belas menit lagi.

Ethan meremas jemariku yang berada dalam genggamannya sepanjang perjalanan tadi. Di manapun kami bersama, ia tidak pernah melepaskan tanganku.

Aku menoleh.

Ethan tersenyum menyemangati. Tapi wajahnya terlihat agak sedih.

Aku menatapnya bingung, bertanya lewat tatapan mata. Ada apa?

"Kamu cantik sekali, aku khawatir cowok-cowok di luar sana ada yang menggodamu."

"Kakak tidak percaya padaku?" Aku menatapnya dengan mata yang disipitkan, merasa agak tersinggung. Memang dipikirnya perasaanku sereceh itu hingga bisa dengan mudahnya jatuh hati pada cowok random yang baru kutemui beberapa kali?

"Mereka jauh lebih muda dariku, seumuranmu." Ethan menunduk, memandangi jemari tangan kami yang saling terjalin. "Aku tahu kamu masih patah hati, sering melamun, mencari-cari kesibukan. Kamu tidak pernah benar-benar tertarik padaku. Bisa saja salah satu dari mereka lebih menarik perhatianmu."

Aku menelan ludah. Sejelas itukah? Aku menggenggam jemarinya erat, memintanya menatapku. "Aku akan langsung bilang pada mereka bahwa aku sudah menikah," kataku sungguh-sungguh. Aku jadi merasa bersalah melihat wajah murungnya.

Ethan tersenyum tipis. "Terima kasih."

Aku mencium tangannya dan melompat keluar.

Aku menepati janjiku. Saat para mahasiswa baru disuruh untuk memperkenalkan diri masing-masing, aku langsung berkata bahwa aku sudah menikah meskipun tidak ada yang bertanya. Beberapa mahasiswa yang terlihat menarik selalu mendapat pertanyaan tentang status mereka, tapi tidak ada yang menanyaiku. Ini bukti bahwa Ethan buta, hanya dia yang menganggapku cantik.

Ternyata ini menimbulkan efek samping. Aku dikenal sebagai gadis yang sudah menikah. Mereka memanggilku 'Karla yang sudah menikah' sebagai bahan olok-olok karena aku satu-satunya mahasiswa baru yang mengaku terang-terangan sudah menikah, juga karena nama Karla ternyata tidak seunik yang kupikirkan. Ada dua orang lain yang bernama sama denganku. Olok-olok itu berguna untuk membedakan kami.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang