20. Masak

3.1K 164 8
                                    

Sesuai janji, karena sudah 2k views maka hari ini update ^^

Makasih atas dukungannya selama tiga bulan ini.

___________________________

Keesokan harinya, kami mengantar keluarga Ethan ke bandara. Emily dan Dad memelukku hangat, juga Adam. Mereka menyuruhku untuk berkunjung ke sana secepatnya, Ethan berjanji akan mengajakku ke sana pada hari raya 'Idul Fithri tahun depan. Emily cemberut, itu terlalu lama baginya.

Ethan mengantarku kembali ke rumah pukul sembilan, ia harus bekerja. "Tidak ada kecupan selamat pagi?" Ethan menegurku dengan nada kecewa yang kental dalam suaranya.

Aku membeku sesaat, menghentikan gerakan tanganku yang sedang membuka pintu mobil. Aku membalikkan tubuhku, langsung menyambar tangannya, mencium punggung tangannya, dan terburu-buru melompat keluar. Aku khawatir Ethan akan mencoba untuk menciumku lagi. Aku melambaikan tangan saat mobilnya melaju meninggalkanku.

Asisten rumah tangga dan tukang kebun yang Ethan sebut kemarin sudah datang. Bi Isah dan Mang Udin namanya. Aku sempat mengobrol dengan mereka sebentar. Mereka suami istri, tinggal di belakang perumahan ini. Keduanya berusia awal empat puluhan. Mereka mempunyai tiga orang anak perempuan berusia lima belas, sepuluh, dan tujuh tahun.

Mereka hanya datang pagi dan pulang sore, tidak menginap. Mereka sudah bekerja di rumah ini hampir sepuluh tahun, dari sejak pemilik rumah sebelumnya. Menurut mereka, Ethan baru membeli rumah ini tiga bulan yang lalu.

Ethan tidak pernah makan di rumah, jadi Bi Isah tidak perlu repot-repot memasak untuknya. Tapi hari ini Bi Isah bertanya apakah ia perlu memasak untukku, kubilang tidak perlu. Aku terpikir untuk belajar memasak. Aku bertanya resep sayur asem pada Bi Isah dan mencobanya.

Ethan pulang pukul dua siang. Ia terkejut melihatku sibuk memasak di dapur. Ia pasti ingat aku pernah bilang tidak bisa memasak. "Aku meneleponmu berkali-kali untuk mengajakmu makan, tapi tidak dijawab. Aku khawatir sekali kamu pingsan karena kelaparan."

Aku mendengus. Dia ini lebay sekali. Aku meninggalkan handphone di kamar. Mana terdengar suaranya di rumah seluas ini? "Kakak sudah makan?"

"Belum." Ethan duduk. Ia mengambil gelas di atas meja, mengangkat gelas itu di depan matanya, menerawang gelas itu dengan seksama.

"Apa yang Kakak lakukan?" Aku memandanginya keheranan.

"Mencari bekas bibirmu." Ethan menjawab sambil nyengir, membuatku melongo mendengarnya. Ia lalu meminum air yang masih bersisa di gelas itu hingga tandas. "Kamu masak apa?"

"Sayur asem. Eh, Kakak suka tidak?" Aku baru ingat Ethan bukan orang Indonesia, mungkin lidahnya tidak terbiasa dengan masakan Indonesia. Aku menghidangkan nasi, sayur asem, dan tempe goreng dalam porsi kecil untuknya.

"Tenang saja, aku pemakan segala." Ethan melepas jas dan menyampirkannya di kursi. Ia mengendurkan dasi dan menggulung lengan kemejanya asal-asalan sebelum makan.

"Enak?" Aku belum mencicipinya, tidak berani mencoba masakanku sendiri.

Ethan mengangguk antusias. Ia makan dengan lahap.

Penasaran, aku meraih sendok dan mencicipinya sedikit. Keningku berkerut bingung. Rasanya aneh, tidak ada enak-enaknya.

Ethan tertawa melihat ekspresi 'aneh' di wajahku. "Ini enak kok, sungguh." Ia tetap lanjut makan.

Aku menggelengkan kepala. Jangan-jangan lidah Ethan juga tumpul, tidak bisa membedakan rasa makanan. "Sudah, tidak usah dimakan lagi." Aku menyambar tangannya, melipat lengan kemejanya yang digulung asal-asalan.

"Rasanya memang berbeda dari sayur asem yang pernah kumakan, tapi ini enak."

"Kakak mengejek?" Aku menyipitkan mata, agak kesal.

"Sama sekali tidak." Wajahnya terlihat serius. "Apapun yang kamu masak untukku rasanya pasti enak karena dibuat dengan cinta."

Aku mendengus. Aku masak hanya coba-coba, kok, sama sekali bukan untuknya. Tidak pakai cinta juga.

"Sayur asemnya sudah jadi, Neng?" Bi Isah turun dari tangga sambil menenteng kain pel, baru saja selesai mengepel lantai atas. "Eh, Bapak sudah pulang?"

Ethan hanya mengangguk, mulutnya masih penuh dengan makanan.

Aku menghela napas. "Sudah, tapi rasanya aneh." Keluhku.

"Kenapa? Terlalu asin?"

Aku menyodorkan mangkuk berisi sayur asem itu pada Bi Isah. "Bibi coba saja."

Bi Isah menyendokkan kuah sayur asem itu ke mulutnya. Keningnya langsung berkerut dalam, berpikir.

Aku membuang muka, lebih memilih memandangi kolam renang di luar. Benar dugaanku. Ethan bukan hanya buta, lidahnya juga tumpul, tidak bisa membedakan rasa makanan.

"Sayur asem kok pakai kencur, Neng?"

Eh? Aku menoleh pada Bi Isah, terkejut campur bingung. "Bibi tadi bilang pakai lengkuas, kan?"

"Iya. Tapi ini mah rasa kencur. Neng Karla belum bisa membedakan mana kencur dan lengkuas, ya?"

Ethan tertawa terbahak. Aku mendengus sebal. Itu dia sumber rasa aneh dalam sayur asemku.

_________________

Update selanjutnya hari Sabtu/Minggu, seperti biasaaa....

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang