Ethan datang lagi keesokan harinya, kali ini sendirian. Ia membawa lima buah brosur beserta formulir pendaftaran dari lima universitas yang berbeda. Hanya universitas swasta yang terkenal mahal, karena universitas negeri sudah tidak menerima pendaftaran mahasiswa baru sekarang.
Sebelumnya, Ethan bertanya aku hendak kuliah dimana dan jurusan apa yang akan kupilih. Kubilang, aku belum tahu, masih bingung. Ethan menjelaskan secara singkat keunggulan dari tiap universitas tersebut. Ia juga terbuka jika aku mengusulkan universitas lain. Ethan memintaku mengumpulkan persyaratan pendaftarannya paling lambat dua minggu lagi, sebelum pendaftarannya tutup.
Kami melakukan survey ke beberapa hotel hari ini. Ethan mengusulkan konsep pesta kebun di sekeliling kolam renang. Aku setuju. Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli acara pernikahan kami akan seperti apa. Aku masih merasa gamang setiap kali melihat wajah Raihan. Padahal jelas sekali Raihan hanya menganggapku adik, ia sendiri yang menyerahkanku pada temannya. Aku hanya menuruti perkataannya, seperti biasa.
Emily datang rutin pada hari jumat setiap minggunya, ia mengajakku ke salon untuk perawatan. Kami mengajak Mama ikut serta, tapi Mama selalu menolak. Kecuali pada hari terakhir sebelum pernikahan, Emily benar-benar memaksa Mama untuk ikut. Mama tidak kuasa menolak lagi, lebih karena bingung hendak bicara apa pada Emily.
Mama selalu memintaku menerjemahkan perkataan Emily seharian ini. Aku melakukannya setengah hati, agak malas. Saat aku tidak mengerti apa yang dikatakan Emily, aku berkata terus terang pada Mama. Tapi Mama malah mengejekku, "Nilai bahasa Inggrismu, kan, selalu bagus, masa yang begini saja kamu tidak mengerti?"
Aku terperangah menatap Mama. Nilai-nilai itu mayoritas hasil ujian di atas kertas, tiap katanya tertulis dengan jelas dan rapi, aku juga punya cukup banyak waktu untuk memikirkan jawabannya dengan benar. Mendengar dan bercakap-cakap dengan Emily berbeda dengan mengisi soal-soal ujian di atas kertas. Aku mendengus sebal. Mama seperti tidak pernah sekolah saja.
Aku tidak pernah lagi mengaku tidak mengerti pada Mama. Aku berusaha lebih keras menerjemahkan dengan benar. Jika aku tetap tidak mengerti, aku menerjemahkan asal-asalan. Biar saja, toh Mama maupun Emily tidak tahu.
Aku juga mulai mengepak barang-barangku seminggu ini. Tidak banyak, hanya dua koper besar pakaian dan tiga kardus besar buku-buku. Ethan datang malam ini untuk mengangkut barang-barangku ke rumahnya. Kami akan tinggal di sana, langsung setelah kami menikah. Jadi malam ini adalah malam terakhirku tidur di sini.
Ethan baru pulang dari kantornya dan langsung datang ke sini untuk mengangkut barang-barangku, sekalian menjemput Emily. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya agak berantakan, lengan kemejanya digulung asal-asalan hingga siku.
Aku agak terkejut melihat raut wajahnya yang tidak biasa. Biasanya Ethan selalu datang dengan wajah sumringah, tersenyum secerah matahari pagi. Mungkin ia hanya lelah, pekerjaan di kantornya tetap banyak meski besok kami akan menikah. Ethan sempat memohon maaf karena kami belum bisa berbulan madu dalam waktu dekat tadi, memohon pengertianku.
“Apakah, apakah kamu sedang menyukai seseorang?” Tanya Ethan tiba-tiba. Kami hanya berdua saat ini, baru saja selesai memasukkan barang-barangku ke dalam bagasi mobilnya. Emily sudah masuk duluan ke dalam mobil, menggendong anaknya yang tidur.
Aku terdiam, terlalu terkejut untuk menjawab. Dari mana ia tahu?
Ethan tersenyum pahit. “Maaf, aku terlambat menyadarinya. Aku terlalu bahagia saat kamu setuju untuk menikah denganku.”
Aku masih terdiam, bingung hendak berkata apa.
“Katakan, apa yang kamu inginkan?”
“Aku tidak mengerti.” Kataku jujur.
“Tidak perlu memaksakan diri, Karla. Masih belum terlambat jika kamu mau membatalkannya.”
Mataku membelalak kaget. “Tapi undangan sudah disebar, semua persiapan sudah…”
“Tidak perlu memaksakan diri, Karla.” Ulangnya.
Aku menatapnya penuh selidik, berusaha mengerti jalan pikirannya.
“Tidakkah kamu ingin memperjuangkan perasaanmu?” Wajahnya terlihat prihatin, campuran antara khawatir dan sedih.
“Tidak.” Jawabku langsung.
“Kenapa tidak?”
“Karena memang tidak bisa.” Sergahku kasar.
Ethan terdiam, ia menundukkan kepalanya.
“Maaf.” Aku menggigit bibir. “Ini cuma perasaan sebelah pihak, Kakak tidak perlu khawatir. Aku tidak akan berubah pikiran lagi.”
Ethan tetap diam, masih dengan kepala tertunduk.
“Maaf.” Kataku lagi. Mungkin Ethan sudah tidak berminat padaku. Siapa, sih, yang dengan sukarela mau dijadikan pelarian? Ia pasti kesal sekali padaku. Aku menelan ludah. “Jika Kakak tidak berkenan…”
“Aku masih menginginkanmu.” Potong Ethan. Matanya menatapku sungguh-sungguh.
“Terima kasih.” Ucapku tulus. “Paling tidak, ada banyak orang yang akan berbahagia besok.”
“Tapi kamu tidak.” Keluh Ethan. Suaranya sepelan bisikan.
“Aku bahagia melihat kalian bahagia.” Aku berusaha untuk tersenyum.
Segini udah cukup panjang, kan, ya? 😁
Kritik dan saran sangat diperlukan. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karla
RomanceWarning! 18+ Tolong, pilihlah bacaan dengan bijak Part 33, 35, dan beberapa part berikutnya mungkin akan ada yang di-private. Silakan follow dulu. Bagaimana jika orang yang kamu cintai memintamu untuk menikah? Bukan, bukan dengannya, jangan senang d...