36. Rindu

3.1K 164 28
                                    

Ethan tidak pernah memberi kabar lagi hingga berhari-hari berikutnya. Aku juga masih enggan menghubunginya duluan. Saat UTS seperti ini, tidak ada tugas satupun yang mampu menyibukkan pikiranku. Aku juga tidak bisa belajar untuk menghadapi UTS ini. Aku masih tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan. Karena sedang ujian, Linda dan Merry mengurung diri untuk belajar, tidak mau diganggu.

Aku merasa kesepian sekali sendirian di rumah sebesar ini. Aku tidak bisa fokus belajar, bahkan membaca novel pun tidak bisa memperbaiki mood-ku. Membaca Qur'an hanya membuatku semakin teringat pada Ethan, jadi aku tidak suka berlama-lama membacanya. Kapan Ethan akan pulang? Kapan ia akan memberi kabar? Mungkin Raihan benar, aku mulai merindukannya. Tidak ada yang bisa kulakukan saat ini.

Ternyata aku keliru. Ini lebih dari sekadar rasa kesepian. Aku merasa kehilangan. Rasanya sama seperti awal-awal pernikahan. Dulu aku merasa kehilangan Raihan. Sekarang aku merasa kehilangan Ethan. Bedanya, sekarang aku sendirian. Dulu Ethan selalu menemani, menghibur, dan menampung air mataku.

Raihan benar, Ethan lumayan berarti bagiku. Ia berhasil masuk dalam hatiku. Mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Raihan dulu. Ia dengan sabar berusaha menjahit luka di hatiku. Meski hatiku tidak akan kembali seperti sedia kala, meski ia tahu luka itu akan membekas selamanya, ia tetap merawatnya dengan baik.

Hari ini sudah genap tiga minggu Ethan pergi. UTS sudah selesai. Sudah tidak ada jadwal kuliah sejak pukul sebelas. Aku makan siang bersama teman-teman, membicarakan rencana untuk berjalan-jalan ke pulau Harapan sabtu ini. Tadinya, aku berencana untuk ikut jika Ethan belum juga pulang, tapi aku belum meminta izin padanya.

Aku duduk di bangku taman kampus, merasa enggan sekali untuk pulang karena kesepian. Aku melirik jam di tangan, sudah pukul dua siang. Teman-temanku sudah pulang semua. Ary sempat menawarkan diri mengantarku pulang tadi, tapi aku menolak.

Aku sudah tidak tahan hanya menanti, entah kapan Ethan akan memberi kabar. Aku memberanikan diri menelepon Ethan dulu sebelum pulang, tapi tidak dijawab. Aku mencoba lagi, tiga kali, lima kali, tidak ada jawaban juga. Aku mendesah pasrah, menyandarkan kepala hingga menengadah menghadap langit. Aku memejamkan mata, tidak kuat berlama-lama menantang matahari yang bersinar terik.

Apa yang dilakukannya hingga tidak sempat menjawab teleponku? Sesibuk itukah? Mungkin aku sudah tidak penting lagi baginya. Aku mendesah pelan. Aku juga tidak pernah menganggapnya penting selama ini. Aku sudah terlalu sering mengabaikannya. Tapi sekarang aku merindukannya.

*****

Aku membaca novel sambil menunggu rasa kantuk menyerang. Tapi hingga pukul satu dini hari, rasa kantuk yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Aku terlonjak kaget mendengar handphone-ku berdering nyaring di tengah kesunyian malam.

Siapa yang menelepon tengah malam begini? Aku melihat nomor yang tertera sekilas. Nomornya panjang sekali, ini pasti Ethan. Aku langsung bangkit, duduk bersila di atas kasur, berdeham pelan sebelum menjawab telepon.

"Halo?"

"Kamu belum tidur?" Suara Ethan terdengar terkejut.

"Aku tidak bisa tidur," keluhku.

"Kenapa?"

"Kasur ini terlalu besar untuk kutiduri sendirian," keluhku lagi.

"Kedengarannya seperti kamu merindukanku."

"Memang."

Ethan terdiam, mungkin terkejut aku mengaku merindukannya.

"Kapan Kakak pulang?"

"Kamu menantikan kepulanganku?" Aku bisa mendengar nada tidak percaya dalam suaranya.

"Tentu saja," jawabku antusias.

KarlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang