Menunggu. Datang untuk mengisi, pergi untuk menyakiti. menaruh harapan tanpa pertanggung jawaban. Siapa yang harus di hakimi? Cinta?
Demis-
Madness of Brothers
Selamat membaca^
Hal pertama dalam hati ketika cinta berubah menjadi luka adalah rasa sakit.
Gian tidak pernah menginginkan ini bahkan orang lain mungkin juga sama, enggan berada di posisinya. Memangnya, siapa yang ingin mendapat luka karena di abaikan? Gian pernah dengar. Keluarga hanya formalitas semu dalam jalannya kehidupan. Jarang orang mendapat cinta yang tulus. Cinta ada, karena sebuah alasan, atau mungkin memang harusnya begitu. Cinta tanpa alasan itu tidak ada. Gian tidak senaif itu untuk percaya, cinta tanpa alasan.
Gian menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Langit kali ini cerah, banyak bintang di atas sana. Tapi tidak ada apapun rasa di hatinya untuk sekedar mengagumi keindahan sang cipta. Perasaannya lagi-lagi merasa hampa.
Tanpa mengalihkan pandangan, Gianina diam tidak bergeming saat indranya menangkap suara derit pintu yang di buka. Tanpa menoleh, cewek itu tahu, siapa. hanya dengan mencium aroma khas sabun mandi yang di gunakannya, menguar segar.
Dengan pandangan kosong tanpa emosi, suaranya dalam dan tenang. Bertanya dengan lirih begitu terasa sesak.
"Gian enggak pernah mengenal sosok papa.. gian nggak tau kenapa berpikiran kayak gitu. entah karena masa lalu, atau hal lain. gian nggak tau, gian nggak ingat..
" Tapi.. yang jelas, gian pikir, kenapa nggak pernah merasakan sosok papa? pasti karena masa lalu yang buat gian kayak gini, iya kan?"
Cewek itu menunduk. "Gian nggak bodoh kak, gian cuman tidak mengingatnya. Nggak ingat, bukan berarti nggak merasakan. apalagi merasakan kehadiran papa."
Bastian tercekat. Adiknya..
Cewek itu mengangkat pandangannya. Mata coklat madunya terlihat sayu.
"Bilang, kak, apa yang buat gian kayak gini.." lirihnya.
Bara mendekat pelan. Kakinya tiba-tiba merasa berat saat di gerakan.
"Kamu kecelakaan.." gumam cowok itu pelan tidak yakin adiknya akan percaya.
"Nggak!" Cewek itu menggeleng keras.
"Gian tau bukan hanya itu. Bukan hanya kecelakaan yang buat gian kayak gini. Iya kan?"
Bastian terdiam. Dia tidak bisa mengatakan hal yang akan membuat adiknya terluka. Bahkan tidak mungkin baginya untuk berterus terang. Dalam benaknya, biarkan saja begini. Gian lebih baik tidak tahu apa-apa.
Gian cukup mengerti dengan keterdiaman kakaknya dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Ini sekian kalinya dia bertanya tanpa mendapat jawaban.
Apa sesulit itu, hanya untuk menjawab satu pertanyaan yang sebenarnya mudah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness of brothers
Teen Fiction** Gianina menatap beberapa butir obat di tangannya. Kepalanya berkedut nyeri. 'gian nggak boleh deket dengan cowok! Kamu masih kecil! ' 'kenapa?! Kalian bukan papa! ' 'jangan keras kepala! Kamu nggak boleh keluar rumah! ' 'semua barang kamu kakak...