Masih dalam tahap perjuangan, nanti kalo aku beneran lelah, aku pergi loh..
Madness Of Brothers
Selamat membaca^
"Kakak, pukul mereka karena gian kan?" tanyanya to the poin.
Raut wajah mereka menegang.
Mereka terkejut, bagaimana bisa adiknya tau, karena mereka yakin sudah menyembunyikan segalanya dengan baik.
"Kakak, gak ngerti?" Bastian bertanya, pura-pura tidak mengerti. Cowok itu mencoba berkilah.
Gianina mendelik tajam. Menatap satu persatu kakaknya.
Menghela napas, percuma.
"Kakak.. Gian nggak suka.." dia mencoba memberi pengertian.
"Kalian.. Nggak usah tutupin lagi, gian udah tau.." cewek itu memainkan jari-jarinya.
"Gian, ini, lagi ngomongin apaan sih?" Gion terkekeh garing, menutupi gegugupan yang dia rasakan saat ini.
Tidak siap dengan ucapan adik mereka selanjutnya. Aldrian mencoba mencairkan suasana yang terasa tegang dengan mengubah topik pembicaraan.
"Kamu kasih nomer kakak sama Ocha? Dia whatshap kakak semalam-"
"Stop! Kakak... Nggak usah ngalihin!" gian mengangkat tangan mengisyaratkan Aldrian untuk berhenti berkilah.
Gian menghembuskan napas perlahan, menghalau gejolak dalam hatinya. Rasanya pengen nangis.
Bagaimana bisa, semua kakaknya begitu gila hanya untuk melindungin dirinya dari mahkluk bernama laki-laki. Kakaknya berani bully orang dengan kekerasan. Itu udah keterlaluan. Gian tidak bisa cuma diam saja.
"Kalian, jelas tau apa yang sedang gian omongin sekarang.."
Mereka menelan ludah.
"Kakak.. kenapa harus nyampe segitunya?" gian bertanya lirih.
Mereka hanya bisa diam.
"Mereka cuman pengen deket sama gian.. jadi temen gian, niat mereka baik.. Tapi kakak pukul mereka sampe ada masuk rumah sakit... Cuma gara-gara gian."
"itu supaya mereka nggak bakal berani deketin kamu lagi." Bastian mencoba menjelaskan.
"Niat baik mereka cuman modus, ada maunya." timpal Gion.
"Tapi kan nggak usah di gebukin segala." balas gian jadi kesal.
Aldrian menghela napas. Aldrian tau sekeras kepala apa adiknya. Gian sangat benci kekerasan dalam bentuk apapun. Adiknya trauma. Dan, Depresi. Cowok itu menghembuskan napas, tiba-tiba merasa sesak. Adrian tidak bisa menyangkal apalagi tidak terima akan hal itu seperti yang lain. Cowok itu jelas sangat tau keadaan adik bungsu mereka. Bohong jika dia tidak meresa sakit melihat adiknya. Tapi, bagaimana pun juga dia harus bisa terima, dan membuat adiknya mengerti untuk kebaikannya.
"Gian, dengar.."
Cewek itu menoleh, matanya melihat kakaknya yang tengah serius.
"Selama ini kami selalu khawatir, benar?"
Gian tidak mengerti kemana arah pertanyaan Aldrian. Namun cewek itu tetap mengangguk patah-patah, mengiyahkan.
"Kami, menyayangi kamu, benar?"
gian mengangguk lagi.
"Kakak-kakak kamu ingin lindungi kamu, apa salah?"
gian menggeleng pelan. Cewek itu menggigit bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness of brothers
Teen Fiction** Gianina menatap beberapa butir obat di tangannya. Kepalanya berkedut nyeri. 'gian nggak boleh deket dengan cowok! Kamu masih kecil! ' 'kenapa?! Kalian bukan papa! ' 'jangan keras kepala! Kamu nggak boleh keluar rumah! ' 'semua barang kamu kakak...