Aku tidak perlu menunggu berjalannya waktu untuk mencintai, karena hati sudah berlabuh pada tempatnya.
-Madness of brothers-
^selamat membaca😘
Tiga hari dalam seminggu ini keadaan fisik atau mental, baginya, itu adalah hal biasa terjadi. Namun, ada yang berbeda, kali ini beberapa ingatan muncul ke permukaan. Tapi, ingatan itu ada beberapa juga yang kembali hilang.
Gian melihat pantulan dirinya di cermin. Berdiri dengan tatapan datar. Pakaian sekolahnya melekat indah di tubuh moleknya. Dengan perlahan kelopak matanya tertutup. Meraup udara sebanyak-banyaknya, bibirnya terbuka untuk membuang karbondioksida dalam paru-parunya. Menetralisir rasa sakit yang sudah cewek itu tau, Gian mulai merasakan sesak. Namun, Gian tetap mencoba konsentrasi. Keningnya terlihat menyerngit, dan bulir keringat perlahan mulai banyak bercucuran.
"Gian! "
Terkejut, cewek itu hampir melompat. Teriakan Bastian di depan pintu kamarnya, membuatnya harus tersadar.
Gian berdehem agar bisa menghilangkan gemetar di suaranya, sebelum menjawab. "iya, kak, sebentar. "
Buru-buru ia mengusap keringat di dahinya dengan tissu. Degup jantungnya masih keras berdetak. Gian mengambil tas sekolahnya di atas kasur, dan berjalan pelan menuju pintu. Gian melirik sekilas ke arah laci, letak obat yang dia simpan. cewek itu mulai meninggalkan obatnya. Sudah sekitar dua minggu yang lalu. ia memutuskan untuk tidak bergantung pada obat, namun itu membuat dirinya sedikit resah. Kemungkinan terburuk itu mungkin tidak bisa ia hindarkan.
Gian mencoba setenang mungkin untuk berhadapan dengan kakaknya.
Pintu terbuka, menampakan wajah kakak sulungnya yang sudah terlihat rapih dengan pakaian seragam sekolah SMA Nesapa.
"kenapa, lama banget? "
Gian hanya menampilkan cengiran khasnya, membuat Bastian menggeleng.
Suara ribut di meja makan, membuat cewek itu sedikit rileks. berkedip beberapa kali, Gian merasa sedikit bingung. Saat matanya berkeliling mengamati orang yang berada di meja makan.
"kak Gion, kemana? " refleks pertanyaan itu meluncur mulus dari mulutnya yang kemudian di sesalinya.
Hening.
Berdehem, Aldrian menaruh telur gulung di piring adiknya. "makan ini, "
Semua orang kembali ke aktivitasnya masing-masing, meski masih terasa kentara sekali, kecanggungan di pagi itu. bahkan, tidak cepat mereda dalam beberapa menit ke depan. Gian terpaku menatap makanannya. Semua orang tau Gionino menghindarinya. Cowok itu mencoba mengabaikannya. Mencoba tidak peduli dengan kehadirannya. Yakin, gemuruh di dadanya tidak akan reda dalam waktu singkat untuk seharian ini.
Udara di pagi hari tidak sesejuk biasanya. Seperti di dalam mimpi, kemarin dia masih bisa tertawa bahagia. seenggaknya, gian selalu merasa lengkap karena kehadiran ke empat kakaknya.
Sebuah tangan menghentikan langkahnya, "gue mau bicara, "
Belum juga sempat bicara, tangannya di tarik menjauh dari kerumunan siswa lain di parkiran.
"lo lakuin hal apa sampai Gion begitu marah? "
Gian menatap Sam cemberut. "Sammy.. Gian nggak lakuin apa-apa ih.. " cewek itu pura-pura tidak mengerti untuk menghindar sebisa mungkin dengan tingkah manjanya.
"Gian, " Sam merasa harus lebih bersabar lagi dengan sifat manja sepupunya.
Sifat Gian yang selalu tidak peduli, hanya menatap ke arah lain, mengamati anak-anak di kejauhan yang memasuki gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness of brothers
Novela Juvenil** Gianina menatap beberapa butir obat di tangannya. Kepalanya berkedut nyeri. 'gian nggak boleh deket dengan cowok! Kamu masih kecil! ' 'kenapa?! Kalian bukan papa! ' 'jangan keras kepala! Kamu nggak boleh keluar rumah! ' 'semua barang kamu kakak...