"Mengubah penampilan tidak akan mengubah karakter pada hatinya."
-MadnessOfBrothers-
Beberapa bulan lalu..
"Gian.. Sayang! Gian.. Bangun!" seseorang mencoba membangunkannya yang mengigau seperti orang yang ketakutan. keringat di dahinya begitu banyak, dengan tubuh yang menggigil tidak karuan.
"Aaa!!!" teriaknya menggema di setiap penjuru kamar. dadanya naik turun dengan napas memburu.
Ia pikir ini hanya mimpi, tapi begitu terasa nyata. Tapi tidak. Ia menggeleng. kenapa pikirannya sampai kalut. napasnya masih terengah, untuk beberapa saat ia berusaha untuk bernafas dengan benar dan meyakinkan diri bahwa ini.. hanya mimpi.
"Hei! Tenang, okay?" ia menoleh. matanya langsung bertemu dengan manik mata kakaknya yang terlihat begitu khawatir.
"Kamu hanya mimpi.." Bastian memeluk adiknya yang gemetar.
Gian mempererat pelukan kakaknya untuk mencari ketenangan dalam pelukan itu. sedangkan Bastian sendiri mengusap punggung adiknya untuk menenangkan. Bastian berpikir adiknya tidak akan pernah bermimpi lagi bahkan kemungkinan berhalusinasi. Seperti tahun-tahun lalu. Tapi meski sekarang Gian dalam menjalani proses penyesuaian untuk ke tahap sembuh, dia sebagai kakaknya tidak pernah tidak merasa khawatir.
"Ini minum dulu." Gianina mengambil segelas air yang di sodorkan Gionino.
Gian mencengkram gelasnya berusaha untuk tidak gemetar. mimpinya terasa singkat. tapi mengingat Ia tidur pukul sepuluh malam tadi dan saat bangun sudah pukul lima. ia tersentak. baru sadar setiap kali bermimpi yang sama secara otomatis ia hanya akan bangun setiap jam lima pagi.
Bermimpi itu sakit tidak peduli mimpi indah atau buruk tidak ada bedanya. karena sesuatu yang berupa harapan tidak akan pernah jauh dari kata luka.
"Sebaiknya kamu istirahat Gian, biar kakak suruh Adrian buat nemenin kamu di rumah." kata Bastian menatap adiknya dengan cemas. Cewek itu mendorong kakaknya, melepas pelukan darinya.
"tapi kak.." rengeknya memelas.
Gimana sama sekolahnya? ini, kan, hari pertama Gian sekolah lagi. Lagi pula sudah dua hari di tunda, harusnya dari hari selasa dia masuk sekolah.
"Bastian itu benar, Gian. hari ini, kamu di rumah. Sekolah bisa di tunda sampai besok."
"ih.. kakak! masa gian nggak sekolah. nanti kalo gian jadi bego gara-gara kakak gimana?" ia merenggut kesal.
Adrian masuk dengan tatapan begitu datar. semua mata menoleh padanya. kecuali Gianina yang menunduk dengan tubuh yang masih sedikit gemetaran.
"bermimpi lagi?" tanyanya lembut sambil berjalan menghampiri, mencari obat di laci yang selalu adiknya minum.
Gionino dan Bastian terkejut. mereka melupakan hal terpenting jika ini terulang pada adiknya.
Al memberi beberapa butir obat kepada Gianina. gadis itu menelan satu persatu obat tersebut. perlahan ia mulai tenang. gemetar di tubuhnya hilang, ketakutan dan kecemasannya tidak lagi mendominasi seperti tadi.
Al melirik kedua kakaknya. "bodoh." katanya dingin. bagaimana bisa mereka lupa dengan hal terpenting jika hal ini terjadi.
Al mengusap kepala adik bungsunya lembut. "istirahat."
Gian melihat kakaknya lalu mengangguk lesu. "iya.." balasnya tidak semangat. Mengingat ia harus berada di rumah seharian.
Aldrian meninggalkan adiknya untuk istirahat, di susul Bastian dan Gionino. mereka keluar dari kamar. tapi sebelum itu mereka berhenti untuk berkata dengan tegas. "kamu tetep di rumah Gianina."
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness of brothers
Ficção Adolescente** Gianina menatap beberapa butir obat di tangannya. Kepalanya berkedut nyeri. 'gian nggak boleh deket dengan cowok! Kamu masih kecil! ' 'kenapa?! Kalian bukan papa! ' 'jangan keras kepala! Kamu nggak boleh keluar rumah! ' 'semua barang kamu kakak...