"Bagaimana acara perkumpulan semalam?" Mitha meletakkan sebuah telor ceplok ke piring Lerina sambil bertanya. Pagi hari menjadi agenda Mitha membuatkan sarapan untuk Lerina.
"Berjalan lancar, mereka memintaku untuk memperkenalkan diri, aku memperkenalkan diri, ada juga bertanya mengapa kita pindah, aku menjawab kalau aku membuat masalah maka kita pindah, aku sempat berbincang dan makan bersama mereka. Secara teknis, aku tidak membuat masalah jika itu maksud dari pertanyaan mama," jawab Lerina secara rinci. Gadis itu sama sekali tidak memperdulikan perasaan ibunya.
Mitha terdiam, memang hal itu yang ingin dia ketahui, bahwa putrinya tidak membuat masalah ketika dia tidak bisa mengawasi. Tapi Lerina menjawab dengan sedikit mengesalkan meski setiap hari putrinya memang bersikap mengesalkan.
Mitha ikut duduk bersama Lerina, menikmati sarapan dengan tenang. Mitha ingin bertanya lebih rinci sebenarnya namun dibatalkan. Tidak mau mendengar putrinya menjawab dengan ketus. Harinya akan semakin buruk jika itu terjadi.
Setelah selesai sarapan, Lerina bersiap untuk ikut bersama ibunya. Pergi bersama ke toko baru mereka yang baru saja dibuka. Mitha kelihatannya banyak membutuhkan bantuan dari Leri. Dia sendiri belum sanggup untuk menyewa penjaga toko. Untuk sementara, dia hanya memikirkan cara agar tokonya memberinya keuntungan yang akan digunakan sebagai ganti modal usaha. Mitha pun mendapatkan modal usaha dari pinjaman, dia juga harus memikirkan cara membayar pinjaman di samping membiayai kehidupannya bersama Leri. Sekaligus sekolah Leri.
Sejak satu tahun belakang, Mitha sudah menolak semua kompensasi dari mantan suaminya. Alasannya, Leri semakin sulit diatur ketika dia tahu masih hidup dari uang ayahnya. Toko milik Mitha berada di pusat desa, atau kecamatan. Suasananya pun lebih ramai dibanding dengan keadaan desa. Bangunan seperti tempat makan, apotek hingga toko berjajar rapi di sepanjang jalan.
Keadaan tempat tinggal Leri yang baru memang tidak seramai tempat tinggal mereka sebelumnya. Suasananya pun lebih tenang dan senyap. Hanyabada suara katak dan serigala di malam hari. Lalu lintas di jalan pun tidak terlalu ramai. Mungkin hanya satu atau dua mobil pengangkut hasil kebun seperti buah dan sayuran.
Mereka terhenti di depan sebuah toko berwarna merah bata. Tertutup oleh pintu besi. Bangunan toko di sekitarnya juga banyak yang buka. Mungkin hanya beberapa. Tempat makan atau kedai warung kopi yang sudah buka.
Angin bertiup ke arah mereka. Membawa lembaran koran bekas yang digelatakan secara sembarangan bersama dengan udara dingin khas Espion. Leri masih mendekap dengan erat tubuhnya meski sudah menggunakan jaket tebal berwarna hitam. Sang ibu sendiri sedang sibuk membuka pintu toko yang terkunci dengan kuat.
Setelah beberapa menit, Mitha akhirnya berhasil membuka pintu. Dia juga kedinginan dengan menggigil sesekali. Sang putri masuk terlebih dahulu ketika pintu sudah terbuka. Melepaskan jaket yang membuat tubuhnya semakin berat. Lampu toko pun dinyalakan, menambah sumber penerangan bagi mereka.
"Kau bisa membantu ibu dengan menata barang di rak, sementara ibu akan mengecek barang di gudang." Mitha memberikan instruksi. Sepertinya tidak ada waktu bagi mereka untuk bersantai-santai. Buktinya mereka segera bekerja meski baru saja tiba.
"Barang yang mana?"
"Barang yang ada di keranjang."
Dengan kekuatan penuh, Mitha mengangkat dua kotak kardus yang tidak diketahui isinya oleh Leri. Leri dengan segera mengerjakan tugas yang diberikan sang ibu. Menyusun barang dari keranjang ke rak sesuai dengan jenisnya.
Toko baru buka pada pukul 9. Sementara sejak dibuka, toko masih sepi. Di luar juga tidak banyak orang yang lewat. Mungkin hanya dua atau tiga orang. Seperti sebuah kota mati. Mungkin karena udara masih cukup dingin. Walau seharusnya tidak menjadi masalah, bukankah penduduk sekitar sudah terbiasa dengan udara dingin di daerahnya? Atau mungkin saja, jika jumlah penduduk di wilayah itu memang benar-benar sedikit.
Di Espion sendiri, warganya bahkan bisa dihitung dengan jari. Tidak mencapai 100 kepala keluarga menurut Leri. Ada untungnya juga toko masih sepi sejak pagi. Gadis itu jadi bisa lebih cepat mengerjakan tugasnya kemudian bersantai di belakang meja kasir.
Tapi itu tidak berlangsung lama, terdengar suara gemerincing dari pintu yang dibuka. Sengaja dipasang agar jika ada yang datang mereka bisa menyadarinya.
"Selamat datang," ujar Lerina tanpa memberikan keramahan di dalamnya. Leri kemudian menatap pelanggan pertama di tokonya. Seorang pria berbadan tinggi setelan jas masuk ke dalam toko. Pria itu memilih barang di bagian perlengkapan alat tulis. Tidak hentinya, Leri menatap sang pelanggan. Dia cukup tampan. Jenggot tipis didagunya membuat pria itu lebih tampan.
Dia mungkin lebih tua 5 tahun dari Leri. Sosok yang berkharisma sekaligus berwibawa. Leri sudah berdiri di balik meja kasir, menunggu sang pelanggan selesai dengan belanjaannya. Pria itu kemudian kembali tidak lama setelahnya. Membawa sebuah gunting, kertas dan pisau cukur.
Sambil sesekali mencuri pandang, Leri menghitung belanjaan sang pelanggan. Melihat pisau cukur termasuk pada barang belanjaan, gadis itu sempat berpikir suatu hal. Sangat sayang jika jenggot tipis dari pria dihadapannya harus dicukur.
"Semuanya jadi 20 ribu," ucap Lerina setelah menghitung harga dari barang yang diambil.
"Kau warga baru di Espion?" Tanya sang pria.
"Iya."
Pria itu tersenyum, sama ramahnya dengan warga sekitar. Dibanding membalas senyuman sang pelanggan, Leri lebih memilih untuk diam. Tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tersenyum akan membuatnya merasa geli."Aku Nathan."
"Lerina." Lerina memasukan barang yang dibeli Nathan ke kantung plastik. "Kau penduduk Espion juga juga?" Tanya Lerina.
"Tidak, aku warga desa sebelah."
"Oh."
"Ini," Nathan menyerahkan sejumlah uang yang harus dibayarkan pada Leri. "Apa kau nyaman tinggal di Espion?"
Leri mendongakkan wajahnya, cukup aneh mendengar pertanyaan itu dari orang asing. Meski Leri sudah cukup sering mendengarnya, namun kebanyakan yang bertanya adalah warga Espion sendiri, bukan warga dari luar desa.
"Entahlah, aku masih sangat baru, terlalu dini mengatakan nyaman atau tidak."
Lagi-lagi Nathan tersenyum, namun kali ini bukan senyuman ramah seperti sebelumnya. "Iya kau benar."
"Terima kasih," ucap Lerina.
"Sama-sama, semoga kita bisa bertemu lagi lain kali." Tidak lupa Nathan kembali tersenyum. Jenis senyumam yang bisa memikat siapapun. Termasuk Leri.
Nathan memiliki wajah yang cukup tampan, belum lagi dia tinggi, berkulit terang, berbadan tegap serta memiliki tatapan mata yang tajam, mampu memikat siapapun yang melihatnya.
Untuk sesaat, Lerina terdiam, terpesona akan ketampanan pria yang baru saja dia temui. Pria ramah yang juga tampan.
"Ada apa?" Tanya Mitha yang datang secara tiba-tiba. Lerina tidak menghiraukan pertanyaan ibunya. Dia kembali sibuk mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan sebelum pria tampan itu datang.
Mitha tidak hilang akal, dia melihat ke arah luar melalui kaca jendela, namun tidak menemukan apa-apa. Jelas-jelas tepat ketika dia keluar dari gudang, dia nenyaksikan putrinya terdiam seakan sedang terkejut. Mitha akhirnya menyerah karena sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.
Di tempatnya, Lerina sama sekali tidak menjawab pertanyaan sang ibu, meski dia tahu jika ibunya sedang penasaran dengan apa yang baru saja terjadi pada gadis itu.
Tidak mungkin dia bercerita jika dia baru saja bertemu dengan seorang pria tampan. Pria yang mampu membuat putrinya seketika terkesima.
Rasa penasaran Mitha tidak berlangsung lama. Dia segera kembali ke dalam gudang, mengangkat satu kotak kardus yang terlihat jauh lebih berat dari sebelumnya. Leri tidak berniat membantu sang ibu. Menurutnya sang ibu tidak memerlukan bantuannya. Terbukti sang ibu tidak meminta bantuan. Selain itu, dia juga memiliki tugas lainnya yang belum terselesaikan.
Leri telah tumbuh menjadi gadis yang sulit untuk ditebak. Kadang dia bersikap layaknya anak pada umumnya meski seringkali membuat sang ibu kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow
Hombres LoboSekumpulan mahluk mistis yang dianggap tidak ada ternyata memantau kehidupan manusia dari jauh. Sebagian dari mereka menjadi pelindung manusia, sebagian lainnya memburu manusia layaknya mangsa. Seorang gadis bernama Lerina menjadi saksi perburuan s...