Shadow-13

331 35 0
                                    

Darah mengalir di bawah telapak sepatunya. Cairan merah dan kental itu berubah menjijikkan ketika sudah berada di lantai. Bau amis memenuhi ruangan. Membuat para serigala menjadi gila. Sesekali Nathan harus menjijit agar sepatu kulit yang baru dia beli tidak terkena cairan kental itu. Sudah berulang kali dia mengatakan pada para kaumnya agar menjadi bangsa yang bermartabat, menikmati hasil buruannya dengan cara layaknya kaum bangsawan. Tapi tetap saja mereka adalah hewan buas yang tidak tahu tata krama.

Dia berhasil melangkahi setidaknya 4 mayat, sebelum bisa keluar dari kastilnya. Mengibaskan kedua sisi jasnya agar ada udara yang masuk, atau sekadar membuang bau anyir dari sekitarnya. Seperti biasanya, Nathan berencana pergi ke bangunan tua di sudut kota. Mengintai seorang gadis yang baru dia kenal beberapa hari lalu. Awalnya, dia berencana untuk menjadikan gadis itu sebagai mangsa. Namun beberapa hari lalu, dia mendapati sang gadis dengan mahluk lainnya. Mahluk yang serupa dengan dia. Membuatnya semakin penasaran dengan sang gadis hingga akhirnya dia terus mengintai.

Dari puncak tertinggi gedung tua itu, Nathan mengawasi apa yang dilakukan sang gadis. Tidak banyak hal yang dilakukannya. Hanya duduk, mendengarkan sang guru dan pulang. Dia bahkan tidak bergaul dengan anak lainnya. Meski sesekali anak laki-laki dari keturunan asli klan Wara menggodanya. Sebenarnya apa yang dilakukan Nathan cukup membosankan. Tapi hanya itu yang bisa dilakukan karena jika sang gadis sudah berada di wilayah Espion, dia tidak lagi bisa mengintai.

Leri merasa jika dia sedang diawasi, tapi sepanjang yang dia lihat, tidak ada yang sedang menatapnya. Sempat berpikir jika dirinya sedikit gila. Mungkin hanya pikirannya karena berada di tempat yang baru. Sebenarnya beberapa anak memang sering memandangnya, si anak baru yang tidak suka bersosialisasi. Si gadis baru yang pemalu atau lain sebagainya. Meski beberapa anak sudah terbiasa dengan sikap acuh Leri, anak lainnya masih suka menatapnya. Dia hanya berpikir harus bersikap seperti biasanya, tidak merasa perlu merubah sikapnya.

Sudah bulan Maret, tapi hujan masih saja turun. Leri menunggu di halte, bersama anak lainnya. Setiap hari awan memang selalu gelap, tapi tidak setiap hari turun hujan. Biasanya Leri bisa merasakan jika hujan akan turun. Seperti siang itu, udara terasa dingin dari biasanya, menjadi penanda jika hujan akan turun. Dia sendiri sudah terbiasa menunggu sang ibu untuk menjemput. Walau tidak menentu, kadang ibunya bisa datang lebih awal kadang lagi datang lebih terlambat. Dia akan menunggu di halte. Tapi hari itu berbeda, hari sedang hujan membuat banyak orang menunggu di halte.

Dia membencinya, tetap kebasahan meski sudah meneduh. Mereka berdesakan saling berebut tempat kering hingga membuat Leri kehujanan. Lengan bagian kirinya sudah basah karena air hujan. Segera ia kenakan tudung jaketnya di atas kepala dan berdiri di bawah hujan. Tidak meneduh seperti biasanya. Dia benci kehujanan tapi lebih benci berdesak-desakan. Beberapa anak memandang, berpikir betapa anehnya Leri. Bukan Leri namanya jika memperdulikannya.

Sebuah mobil pick up merah bata berhenti tepat di depannya. Awalnya Leri tidak terlalu menghiraukan. Namun setelah kaca mobil dibuka dan si pemilik menampakkan wajahnya. Leri segera terpaku menatap orang yang ada di dalam.

"Sedang apa kamu? Masuklah." Suruh Evans dari dalam mobil. Leri masih berdiri di tempatnya, memaksa Evans agar membukakan pintu. Baru gadis itu masuk ke dalam mobil.

Tubuhnya basah kuyup karena kehujanan. Wajahnya juga tampak pucat karena kedinginan.bibirnya biru, sementara giginya menggertak karena karena menggigil. Evans sigap dengan mengambil jaket di tasnya. Untungnya dia selalu membawa jaket meski tidak pernah merasa kedinginan.

"Lepas saja jaketmu dan pakai ini," suruh Evans, memberikan jaketnya.

Awalnya Leri hanya menatap pria itu, namun Evans menunggu dengan tidak sabar. Hingga akhirnya dia membantu melepas tas Leri. Namun tampaknya jaket yang diberikan Evans tidak cukup menghangatkan tubuh Leri. Gadis itu terlanjur basah kuyub.

"Mendekatlah, agar kau lebih hangat," ucap Evans.

"Kenapa?"

"Disini lebih kering."

Leri mendekat pada Evans, cukup dekat bahkan. Dia juga menyandarkan kepalanya dibahu Evans, cukup hangat seperti yang dikatakan Evans. Tidak cukup disana, Leri memeluk lengan Evans. Terlalu dekat, hingga Evans dapat mendengarkan degub jantung Leri dan juga sebaliknya. Dibanding membawa Leri ke toko ibunya, Evans memilih membawa Leri segera pulang. Tidak banyak yang mereka katakan di sepanjang jalan. Terlalu sibuk mengatur degub jantung masing-masing.

Banyak hal yang dipikirkan keduanya hingga tidak menyadari jika sudah tiba di depan rumah Leri. Dalam keadaan seperti itu, Evans berpikir seharusnya dia mengambil jalan memutar. Atau sedikit lebih lambat dalam berkendara agar bisa lebih lama bersama dengan Leri. Tapi sudah terlanjur, mesin mobilnya sudah mati. Mereka juga sudah berada di halaman rumah Leri.

"Aku turun dulu," izin Leri, melepas pelukannya. Sebelum dia berpaling sebuah tangan telah menahannya. Membuatnya menoleh.

Leri beranjak turun, dan berlari kecil masuk ke rumah. Di dalam mobil, Evans berdiam sesaat. Merasakan jantungnya yang bergedub dengan kencang. Lebih kencang dibanding jika berlari kiloan meter jauhnya. Di depannya, Leri sudah menghilang ke balik tembok rumah.

Kehujanan siang tadi, membuat Leri harus berada di kasur sepanjang hari. Suhu tubuhnya tinggi, ketika Mitha pulang karena mendapati sang anak sudah tidak ada di sekolah. Beberapa obat seperti parasetamol dan kompres sudah diberikan kepada Leri. Leri memang benci kehujanan, namun tidak biasanya dia langsung sakit setelah kehujanan. Mungkin berada lama di tengah hujan membuatnya jatuh sakit. Sepanjang malam, Mitha harus terus menjaga putrinya, gadis itu tidak mau makan sesuap pun. Sementara suhu tubuhnya masih tetap tinggi. Dia berencana membawa Leri ke puskesmas terdekat jika besok Leri tidak baikan.

Suhu tubuh gadis tetap tinggi keesokan harinya. Meski tidak setinggi kemarin malam. Dia bahkan melewatkan sekolah karena sakit. Mitha juga tidak membuka toko karena harus menjaga Leri. Pukul 3 sore, Evans berkunjung. Seharusnya hari itu, dia dan Leri berkunjung ke pondokan Geya seperti yang telah mereka janjikan. Suara ketukan memaksa Mitha untuk beranjak dari kasur tempat Leri terbaring.

"Apa Leri di rumah?" Tanya Evans ketika Mitha membukakan pintu.

"Iya dia di rumah."

"Kami berencana pergi ke pondokan Geya sore ini."

"Maafkan aku Evans, tapi sepertinya Leri tidak bisa, dia demam sejak semalam."

"Benarkah? Apa dia baik-baik saja sekarang?"

"Suhu tubuhnya masih tinggi tapi sudah lebih baik dari kemarin."

"Boleh aku melihatnya?"

Mitha membukakan pintu lebih lebar untuk Evans. Pria itu tampak khawatir. Mitha sendiri terlihat cukup lelah karena menjaga Leri semalaman. Suaranya pun terdengar tidak memiliki tenaga. Di sisi lain, Evans sudah berjalan menuju kamar Leri bersama Mitha. Di kamarnya, tepatnya di atas kasur, Leri sedang terbaring lemah. Terlihat lelap dalam tidur. Evans duduk pada kursi kayu yang digunakan Mitha sejak semalam. Gadis di depannya terlihat tidak dalam keadaan baik. Tidak banyak yang dapat dilakukannya, hanya duduk disamping Leri. Sementara Mitha tertidur karena sudah ada yang menjaga Leri. Pria itu menggenggam tangan Leri, membuatnya merasa lebih hangat.

ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang