Disebuah Cafe, tepat dimana Utam dan Dina bertemu. Ya, hari ini seperti yang telah dijanjikan Utam ingin menemui Dina dan membicarakan tentang masalah yang akhir-akhir ini membuat mereka jadi bersikap seolah-olah tak saling kenal.
Suasana hening, hanya alunan musik di Cafe tersebut saja yang dapat menghilangkan rasa canggung dikeduanya.
"hem..." Utam berdehem untuk mencairkan suasana. Rasa canggung benar-benar telah menyelimuti keduanya.
"jadi, lo mau apa?" tanya Dina akhirnya. Jujur saja, hal canggung seperti ini sangat ia benci. Saling menatap tanpa berbicara adalah hal yang paling ia hindari, terlebih orang yang dihadapannya ini Utam, mantan kekasihnya.
"hm... Soal chat semalaem lo--"
"lo ketemu gue cuma mau bahas itu?" Dina memotong ucapan Utam. Sebenarnya ia penasaran kenapa Utam tiba-tiba mengajaknya bertemu, dan buka chat semalam yang ingin ia bahas.
"nggak, gue mau tanya kelanjutan perjodohan lo sama Karis."
"emang kenapa?"
"gue denger, Karis sakit."
"gue tahu, Karis sakit karena Gisa, bukan karena perjodohan ini. Lagian, perjodohan ini akan segera dibatalkan." jelas Dina yang membuat Utam sedikit kaget.
"batal?"
"iya, sebenarnya keluarga gue dan mamanya Karis udah sepakat mau batalin perjodohan ini. Tapi kami sedang menunggu keputusan dari papanya Karis."
"kenapa?" tanya Utam.
"gue yakin, lo udah tahu gimana prinsip papanya Karis. Dan gue rasa itu gak perlu dijelasin lagi."
"image?"
"tepat. Dan malam ini akan ada peetemuan tentang pembatalan perjodohan ini dan gue rasa papanya Karis udah bikin keputusan."
"menurut lo, keputusan apa yang akan dibuatnya?"
"sudah pasti, perjodohan ini akan segera batal."
Antara senang dan sedih, entahlah kini Utam begitu menyesali perbuatannya. Andai ia mau bersabar sedikit saja, mungkin hubungannya akan sedikit lebih baik dari ini. Tapi, ya sudahlah, mau diapakan lagi, hubungannya dengan Dina juga sudah berakhir.
"oh iya, tam." ucap Dina. "gue harap lo jangan ikut campur dalam hubungan Gisa dan Karis. Mereka saling cinta dan inilah buah perjuangan mereka. Gisa yang selalu sabar, dan Karis yang terus berjuang, itulah arti sebuah pasangan."
Deg!
Perkataan Dina begitu menohok hatinya, entah kenapa ia seakan terpojokkan dengan kata itu. Apakah sekarang Dina tengah menyindirnya karena tak mau bersabar untuk mempertahankan hubungannya? Mungkin jawabannya ya.
"jadi maksud lo--"
"jangan salah paham dulu." Dina menyanggah ucapan Utam. Ia tahu pasti Utam akan membela dirinya dengan embel-embel demi kebaikan. Tapi yang jadi pertanyaannya, kebaikan siapa?
"inilah kenapa lo harus meneliti dulu tam, inilah sikap lo yang menyebalkan dan selalu membuat keputusan sendiri. Gue gak ada maksud buat nyindir lo atau apa. Tapi yang gue liat, Gisa sama Karis itu memang pasangan yang patut dicontoh. Karena dari mereka kita jadi tahu, kesabaran dan perjuangan takkan mengecewakan hasil."
Utam tertegun mendengarnya. Apa yang dikatakan Dina memang benar, ia terlalu egois dengan semuanya. Ia selalu berpikir kalau keputusannya yang paling tepat, tapi ia tak pernah berpikir bagaimana perasaan orang atas keputusannya.
"jadi gue harap, lo sadar dengan semua ini." ucap Dina seraya memegang kedua tangan Utam lembut. "biarkan Gisa dan Karis bersama, restui mereka. Karis sahabat lo, dan Gisa juga sepupu lo kan. Masa lo tega memisahkan mereka? Lo juga tahu gimana perjuangan mereka untuk dapat restu dari orangtua Karis kan?"
"tapi--"
"gue belum beres tam, dengerin dulu." Dina menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya. " dan soal masalah Erika, lo jangan lagi sangkut pautkan kalau kecelakaan itu berasal dari Karis. Itu udah takdirnya, dan lo harus terima itu. Dan satu lagi, lo juga jangan menyalahkan Karis atas kecelakaan yang Gisa alami, semua itu udah takdirnya juga dan Gisa harus mengalami itu."
"gue harap, lo hilangkan semua sikap buruk lo itu." Dina tersenyum dan bermaksud akan melepaskan genggaman tangannya, namun Utam terlebih dahulu menahannya bahkan ia mengeratkannya, tak ingin jika tangan mereka terlepas.
"biarkan seperti ini untuk beberapa saat. Gue kangen lo, dan gue... Gue... " Utam menggantung perkataannya, membuat Dina penasaran dan menunggu perkataan selanjutnya.
"gue nyesel udah putusin lo, Din." ya, inilah yang Dina tunggu. Ia ingin Utam mengatakan itu, ia ingin Utam menyesal dan menyadari kalau sikap buruknya ini malah menambah banyak masalah.
Dina tersenyum tulus sebelum berkata, "baguslah kalau lo nyesel, berarti lo tahu kalau tak selamanya keputusan yang lo buat itu takkan pernah lo sesali. Ada kalanya lo juga salah dalam memutuskan. Jadikan ini pelajaran, tak ada penyesalan diawal, dan jadikan ini pelajaran untuk hidupmu nanti."
"jadi, maukah kamu menemaniku untuk memperbaiki kesalahanku ini?"
"sorry tam, tapi gue--"
"jangan jawab sekarang, kamu bisa pikirin ini lagi."
"tapi--"
"udah, aku gak akan maksa kamu jawab sekarang kok."
"Utam!" Dina sedikit menaikan volume suaranya agar Utam berhenti menyela. "baru aja gue bilang, lo udah lakuin lagi kan." Utam mengerutkan dahinya tanda ia tak mengerti maksud Dina.
"apa?"
"jangan egois, jangan memutuskan sendiri, beri orang lain kesempatan buat berpendapat." Utam terdiam kembali. Memang iya, ia suka memutuskan sendiri, dan kepribadian itu sangat susah untuk ia hilangkan.
"maaf, kayaknya gak bisa." lirihnya.
"gue ada janji, gue harus pergi." ucap Dina setelah melihat benda yang melingkar dipergelangan tangan kanannya, jam menunjukkan pukul 6 sore. Ia lalu mengambil tasnya dan segera beranjak. Namun pergerakannya terhenti ketika Utam kembali bertanya.
"janji sama siapa?"
"Nathan." jawabnya.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengorbanan Cinta
Teen FictionSeq. Cinta Pandangan Pertama "Berjuang..." itulah yang sedang ku lakukan untuk mempertahankan hubungan kita. "Bertahan..." itulah yang aku lakukan demi hubungan ini tetap ada. "Terluka..." itulah yang selalu aku rasakan karena memilih tetap bers...