"kamu bisa pulang sore ini." ucapnya sembari melilitkan stetoskop ke lehernya kemudian mengambil pulpen disaku kanannya dan menulis sesuatu dikertas yang menempel pada papan alas.
"beneran Dok?" tanya Gisa antusias ketika Dokter yang menanganinya mengatakan kalau ia benar-benar bisa pulang sore ini.
"iya, kamu udah baik-baik aja sekarang. Tapi inget, kalau gak kuat jangan terlalu memaksakan lagi ya." nasihat Nathan kemudian pergi meninggalkan ruangan tersebut yang diikuti Gandy.
"Nat." panggil Gandy setelah keluar dari ruangan tersebut. Nathan berbalik dan menoleh ke tempat Gandy berada.
"kenapa?" tanyanya.
"thanks, udah rawat Gisa." ungkapnya tulus, Nathan tersenyum melihat tingkah sahabatnya ini. Orang seperti Gandy bisa ngomong kayak gitu juga ternyata.
"itu emang tugas gue, Gan." jawabnya.
"iya, tapi gue seneng ingatan Gisa udah pulih kembali, meski belum sepenuhnya." tuturnya, jujur, ia bisa sebahagia ini melihat perkembangan Gisa yang semakin membaik. Segini saja sudah cukup membuatnya bahagia, apalagi jika ia bisa terus disamping Gisa dan selalu menjaganya, tapi ia sadar diri, Gisa sudah ada Karis.
"serius karena ini doang buat lo seneng?" tanya Nathan menatap Gandy ragu, sahabatnya ini selalu bilang 'gue seneng karena Gisa blabla...', padahal ia tahu Gandy mengatakan itu untuk menyangkal fakta kalau dirinya masih menyukai Gisa.
"iya, gue rasa ini cukup membuat gue bahagia."
"cukup? Lo gak mau memuaskan kebahagiaan lo itu?" Gandy mengernyit bingung ketika Nathan mengatakan itu. Memuaskan kebahagiaan? Maksudnya apa?
"lo gak ada niatan buat ambil hak lo lagi?"
***
Suasana hening sepanjang perjalanan, Utam maupun Dina tak ada yang membuka suara. Suasana seperti ini sangat dibenci Dina, ia paling tidak bisa berdiam, kini bibirnya sudah gatal ingin berbicara. Namun mengingat kejadian dirumah sakit tadi, ia jadi bingung harus memulai dengan apa? Ia tak mau membahas hal yang tadi, tapi tidak mungkin juga ia mengabaikannya seolah itu tak pernah terjadi.
Mobil Utam memasuki halaman rumah keluarga Anggi dan berhenti tepat didepan pintu utama. Ia membuka selt belt nya, kemudian membuka pintu, Dina pun melakukan hal yang sama. Utam kemudian mengetuk pintu untuk menyapa orangtuanya Dina karena telah membawa anaknya pulang terlambat. Tentu saja ini bukan pertama kalinya ia ke sini, setelah perjodohan itu dibatalkan Utam langsung datang ke rumah Dina dengan alibi ingin menjemputnya untuk berangkat ke kampus bersama sekalian kenalan sama calon mertua biar Dina gak dijodoh-jodohkan lagi sama yang lain. Ia juga bilang kalau ia adalah anak dari Doni Lesmana, Manajer Fadillah's corp. Tentu saja Devan, papanya Dina sangat mengenal Doni karena papanya Utam ini adalah kepercayaan Fadlan dan mereka juga sering melakukan meeting bersama.
Tadinya ia pikir Devan akan seseram kelihatannya, tapi ternyata tidak seburuk itu. Justru papanya Dina ini adalah orang yang sangat sopan, Utam juga tak menyangka kalau kesan pertamanya dengan papanya Dina akan sebaik itu.
"malem Pa, Ma." sapa Utam ketika pintu dibuka dan menampilkan sosok Devan dan Dian yang merupakan orangtua Dina. "maaf pa, Utam nganterinnya terlambat, soalnya tadi harus nganterin Gisa dulu ke rumah, tadi juga Mama nyuruh makan dulu, jadi agak lama." jelasnya, Doni mengangguk mengerti.
"iya, gak papa, asal anak papa baik-baik aja."
"iya, baik kok. Kamu baik kan, sayang?" Dina hanya tersenyum menanggapinya. Ia pikir Utam akan memperlihatkan masalahnya, ternyata ia menyembunyikannya seolah tak ada hal serius yang terjadi pada mereka.
"haduh... Ya udah, Pa, masuk aja yuk." ajak Dian tak mau mengganggu kemesraan Dina dan Utam.
Sepeninggalnya Devan dan Dian, suasana kembali hening dan rasa canggung mulai menyelimuti keduanya. Utam juga berubah lagi pada wujud aslinya.
"ya udah, aku pamit ya." katanya membuka suara untuk mencairkan suasana yang awkward.
"iya. Soal tadi, aku--"
"aku udah gak mau bahas itu lagi, tapi aku mau kamu jangan dekat-dekat dengan dia lagi." ucapnya dengan nada memerintah, seolah ia bicara serius dan tak main-main, kalau ia memang tak suka dengan Nathan.
"tapi aku sama dia cuma--"
"cowok sama cewek temenan, gak mungkin salah satunya gak ada yang menyimpan rasa."
"maksud kamu aku sama Nathan ada apa-apa, gitu?"
"aku gak bilang gitu, kenapa kamu menyimpulkan kayak gitu? Atau kamu sama dia emang ada apa-apa ya?"
"kamu nuduh aku selingkuh?"
"aku gak bilang gitu, kenapa kamu terus menyimpulkan hal yang gak aku pikirin!" Dina terdiam, benar juga kata Utam. kenapa ia begitu sensitif sekali soal Nathan?
"kamu mulai suka sama dia?" tebak Utam. Setelah mendengar jawaban barusan, ia jadi curiga kalau Dina mulai menyimpan rasa pada Nathan. Mengingat kedekatan mereka waktu dulu, ketika Utam memutuskan untuk menjomblo sementara waktu. Namun nyatanya, baru berjalan beberapa hari, Utam sudah mulai rindu pada Dina.
"nggak, aku gak ada rasa apa-apa sama dia." elaknya dengan sedikit meninggikan suaranya, kesal karena Utam tiba-tiba menuduhnya.
"ya udah kalau gak ada rasa, kenapa kamu harus marah." kata Utam santai, Dina diam lagi, ia kalah berdebat kali ini. Ucapan Utam kali ini selalu benar, ia juga tak bisa berkata apa-apa lagi.
"ya udah, aku pulang ya." katanya, lalu tersenyum dan mengusap pelan pipi mulus kekasihnya itu.
"oh iya, hapus nomor dia!" setelah mengucapkan itu, Utam kemudian pergi meninggalkan rumah Dina.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengorbanan Cinta
Teen FictionSeq. Cinta Pandangan Pertama "Berjuang..." itulah yang sedang ku lakukan untuk mempertahankan hubungan kita. "Bertahan..." itulah yang aku lakukan demi hubungan ini tetap ada. "Terluka..." itulah yang selalu aku rasakan karena memilih tetap bers...