"Dy, lo gak usah repot-repot sampe harus ngenterin gue ke kelas segala kali." kata Gisa ketika ia hampir sampai dikelasnya dan menghentikan langkahnya ketika sampai didepan pintu.
"sekali-kali Gis, mumpung gak ada Karis." jawabnya, Gisa hanya menggeleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu. Gandy tersenyum manis sekali yang membuat Gisa serasa akan terkena diabetes karena melihat senyuman Gandy yang manis banget itu. Memang ciri khas Gandy itu ya senyuman manisnya, bahkan cewek seperti Gisa yang sudah biasa mendapatkan senyuman itu juga terkadang suka terpesona kala Gandy mengeluarkan senjata andalannya itu.
Tanpa sadar Gisa memerhatikan setiap inci wajah Gandy, hidung yang mancung, mata yang teduh dengan bulu mata yang panjang berwarna hitam pekat, juga bibir tipisnya yang melengkung membentuk senyuman membuat Gisa menelah ludahnya susah payah. Ia segera mengerjapkan matanya dan sadar akan lamunannya. Dia tak boleh seperti ini, bisa-bisa dia jatuh cinta lagi.
"kenapa Gis, terpesonakah?" Gandy sedikit menggoda, namun Gisa bersikap seperti biasanya dan menganggap hal itu biasa. Gandy sahabatnya, dan itu sudah biasa, ketampanan Gandy sudah biasa dimatanya.
"geer banget sih lo, masih gantengan Karis juga." Gisa sedikit mengejek, tapi entah kenapa reaksi Gandy sedikit berbeda kali ini, ia melihat raut kesedihan didalamnya, apa perkataannya barusan menyakitinya?
"Dy, lo gak papa kan?" tanyanya sedikit khawatir, ia jadi tak enak pada Gandy karena sudah membandingkannya dengan Karis.
"ciee... Khawatir ya?" sedetik kemudian raut wajahnya berubah, ternyata ia sedang menjahili Gisa.
Gandy terus menatap Gisa yang sedang protes karena kelakuan yang ia buat, dan reaksi inilah yang selalu ia tunggu, dimana Gisa menjadi cewek bawel yang terus protes terhadapnya. Banyak yang gak tahu tentang Gisa, hanya dirinya. Cuma Gandy yang bisa bikin Gisa ngeluarin unek-unek nya, cuma Gandy yang bisa bikin cewek sekalem Gisa jadi bawel, cuma Gandy juga yang bisa membuat Gisa jatuh cinta untuk pertama kalinya. Mungkin alasan ketiga Karis juga tahu, tapi apakah dua alasan lainnya Karis juga tahu?
"udah protes nya?" ucap Gandy yang membuat Gisa jengkel dibuatnya.
"lo itu, ya... Masih aja nyebelin, ngeselin, lo juga--"
"sst..." Gandy menempelkan jari telunjuknya pada bibir Gisa yang membuat Gisa segere menepisnya kembali.
"apaan sih."
"jangan bawel disini, cuma gue yang tahu kalau lo punya sifat itu, usahain Karis juga jangan sampai tahu ya." ucapnya yang lebih menjurus sepeeti nasihat, membuat Gisa lagi-lagi ingin protes, namun Gandy segera memotongnya dengan memegang puncak kepala Gisa dan mengacak-acak rambutnya.
"udah, sana masuk." katanya, entah kenapa Gisa juga jadi penurut dan melangkah masuk ke kelasnya.
***
Setelah kelas selesai, Maudina menunggu Utam didepan kelasnya. Lima belas menit berlalu, tapi tak ada tanda-tanda kelas ini akan selesai. Sepertinya kesabaran Dina tengah diuji sekarang, ia harus membicarakan masalah tadi pada Utam, ia tahu, ia juga salah karena membentak Utam didepan umum. Tapi, ia juga tak yakin apakah Utam mau berbicara dengannya sekarang, mengingat sifat Utam yang ia juga tak tak mengerti.
Tak lama kemudian, Dosen yang mengajar dikelas tersebut keluar, dan satu persatu semua orang mulai keluar, salah satunya Utam. Ia kemudian menghampiri Utam, tapi ia menghindarinya, bahkan berpura-pura tak melihat Dina. Padahal sudah jelas, Dina mengunci kontak mata dengan Utam, namun hanya bertahan beberapa detuk saja dan ia segera pergi.
"Tam!" panggil Dina, namun yang bikin jengkel, justru Utam malah menyumpal telinganya dengan earphones dan berjalan santai seolah tak mau diganggu. Dina mempercepat langkahnya untuk menarik tangan Utam agar mau berhenti berjalan.
"UTAM!" teriaknya ketika ia berhasil menarik tangan Utam yang membuatnya jadi berbalik ke arah Dina. Utam melihat pergelangan tangannya yang dipegang erat, sedetik kemudian ia beralih menatap Dina, sinis. Utam berusaha melepaskan cengkraman Dina, tapi justru ia malah mengeratkannya.
"ayo kita bicara!" Dina menarik Utam, dan dengan pasrahnya ia mengikuti keinginan kekasihnya itu.
Dina membawa Utam ke sebuah taman yang ada dikampus itu, taman yang jarang sekali dikunjungi, selalu sepi karena taman ini lebih mirip disebut hutan karena banyaknya pepohonan, tapi justru tempat ini cocok buat mereka yang lagi galau.
"bisa lepas dulu earphonenya?" Dina masih sabar menghadapi Utam dengan sifat jengkelnya. Ia tahu, disini dia yang salah, tapi ia juga takkan bersikap seperti itu kalau Utam sendiri tak mulai duluan.
"Tam!" geramnya, karena Utam tak kunjung melepaskannya. Dengan terpaksa Dina melepas paksa earphone yang terpasang dikedua telinganya.
"bisa gak sih kamu hargain aku? Aku disini, biasanya kamu gak sibuk sendiri kayak gini?"
"oh, pengen dihargain?" balasnya. Sebenernya agak menjanggal perkataan Utam barusan. Entah kenapa nada yang diucapkan Utam seperti sedang menyindirnya. Ia seolah berkata, 'pengen dihargain? Lo apa kabar tadi gak ngehargain gue!'
"oke, aku ngerti. Maaf kalau tadi aku udah ngebentak kamu. Tapi, kamu juga gak harus--"
"kamu tetap gak ngerti, dan kamu gak akan mengerti aku." Utam memotong pembicaraan Dina.
"aku mencoba mengerti, Utam."
"apa yang kamu ngerti? Apa?" kini nada bicaranya naik satu oktaf, ia lebih mendekat ke arah Dina, dengan refleks dia pun mundur karena ia tahu kini Utam tengah marah besar. "kalau kamu mengerti, kamu gak akan ngebentak aku didepan teman-teman aku. Seolah apa yang aku lakukan itu, salah besar!"
"makanya, aku mau--"
"jangan dipotong kalau orang lagi ngomong, kamu harus dengerin aku dulu."
"tadi aku ngomong, kamu po--"
"karena aku udah tahu kamu bakalan ngomong apa."
"kamu tuh selalu menyimpulkan sendiri, padahal aku punya pendapat sendiri. Tapi kamu gak pernah mau denger."
"karena aku udah tahu."
"apa yang kamu tahu? Hah? Apa kamu tahu kalau sikap kamu hari ini bikin aku risih? Apa kamu juga tahu kalau kamu sekarang udah berubah! Kamu jadi over protektif gini sama aku. Kamu ini kenapa sih?"
"aku ngelakuin semua ini karena aku sayang sama kamu. Aku gak mau kehilangan kamu lagi. Dan aku juga gak suka kalau kamu deket sama cowok lain, aku gak suka ketika kamu natap cowok selain aku, aku juga gak suka kalau kamu lebih akrab sama cowok selain aku. Intinya aku takut kehilangan kamu lagi." ungkapnya, Dina benar-benar tidak menyangka kalau Utam akan mengungkapkannya sejauh ini. Segitu takutkah sampai ia harus melakukan hal ini?
Ketika hubungan mereka mulai membaik kembali, tiba-tiba seseorang menelpon Dina dan itu membuat Utam salah paham kembali.
Nathan's calling...
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengorbanan Cinta
Teen FictionSeq. Cinta Pandangan Pertama "Berjuang..." itulah yang sedang ku lakukan untuk mempertahankan hubungan kita. "Bertahan..." itulah yang aku lakukan demi hubungan ini tetap ada. "Terluka..." itulah yang selalu aku rasakan karena memilih tetap bers...