Chapter 6: The Truth [Revisi]

160 12 0
                                    

Hana bengong, pikirannya masih mencerna ucapan nyonya Miller barusan.

"Apa oma saya memilik hutang yang sangat banyak pada nyonya? "

Nyonya Miller malah tersenyum simpul. "Justru saya yang berhutang banyak pada kamu, Hana. " ucapan nyonya Miller itu membuat Hana makin bingung.

"Saya akan menceritakannya perlahan, Silahkan duduk,"

Hana pun kembali duduk di sofa, dengan surat yang masih berada di tangannya. Yah, tanpa membacanya pun, nyonya Miller tahu isi suratnya. Dan sebenarnya ia pun tau isi amplop itu hanya surat kosong. Dengan datangnya Hana ke rumah itu pun, tujuannya sudah jelas.

"Bu Usi adalah Maid leader di rumah ini, sebelum hal itu terjadi. Kamu selalu di bawa kemari karena orang tuamu sibuk bekerja, kemudian di tambah orang tuamu meninggal karena kecelakaan tunggal, dan kamu pun jadi lebih sering di bawa kemari. Kamu jadi akrab dengan Joaquin, Harris juga Thalia. Dan sering membuat taman belakang jadi kapal pecah.

Sembilan tahun yang lalu, kakak ipar saya merencanakan sebuah penculikan dan targetnya adalah Joaquin karena dia adalah pewaris utama perusahaan. Dia pun menyewa orang. Tapi orang itu melakukan kesalahan fatal, salah target. Dan yang ia culik adalah kamu, Hana. Entah apa yang di lakukan orang itu padamu, tapi kamu menjadi trauma. Pihak kepolisian bergerak cepat, dan akhirnya kamu di temukan di depan sebuah mini market. Dengan wajah pucat, badan gemetar dan lebam di pipi,"
Nyonya Miller jeda sejenak, menyesap teh yang baru saja di sajikan oleh salah satu maid.

"Saya merasa bersalah. Untuk itu saya memberikan sebuah rumah dan modal usaha untuk bu Usi. Karena saya ingin beliau fokus padamu, pada penyembuhanmu.
Selain itu kami membuat sebuah perjanjian. Di saat setelah beliau wafat nanti, cucunya akan tinggal bersama saya. Dan akan menikah dengan Jo. Jadi mulai sekarang kamu tinggal di sini, dan panggil saya bunda. Ok? "

Nyonya Miller menyudahi ceritanya, Hana sangat terkejut dengan ucapan nyonya Miller terutama bagian menikah dengan Jo. Hana bingung ia harus bagaimana sekarang. Senang? Marah? atau apa?
Tak lama pak Bim datang dengan menyeret dua koper besar. Hana mengenali kedua koper itu, itu miliknya.

"A... Kakak! Aku baru saja ingin datang ke rumah kakak buat main. Eh.. Udah main datang aja. Jadi Lia gak perlu repot pergi. Bunda? bunda nggak nyusul ayah ke Amsterdam? "ujar Thalia yang tiba tiba saja muncul entah dari mana.

"Nggak jadi, Lia. Kan kita kedatangan anggota keluarga baru,"ujar nyo-eh, bunda maksudnya sambil melirik Hana. Thalia girang bukan main.

"Yee.. Asyik punya kakak cewek. Bosen di bejek bejek mulu sama kak Jo apalagi si nyebelin Harris. Akhirnya punya partner! Ayo aku tunjukin kamarnya,"ujar Thalia yang langsung menarik tangan Hana diikuti pak Bim. Bunda tersenyum puas karena lega.

Thalia menunjukkan kamar Hana dengan antusias. Hana hanya tersenyum, tak tahu harus memberi tanggapan seperti apa. Lima belas menit kemudian, room tour dadakan itu selesai juga. Thalia izin pamit sebentar, ia mendapat telfon dari temannya.

Hana berjalan ke arah tempat tidur berwarna baeblue berpola simple plaid itu. Hanya dengan melihatnya pun Hana tahu, tempat tidur itu mahal. Pandangan mata Hana stuck pada salah satu sudut kamar, dimana terdapat space yang menarik perhatiannya. Space itu lebih mirip space untuk belajar sekaligus bermain. Ruangan dengan dekorasi yang tidak terlalu girly, Hana sangat menyukainya pada pandangan pertama.

Hana terkejut, tiba-tiba saja ia ditarik paksa Thalia menuju dapur.

"Ice cream cake green tea! "pekik Thalia.

"Apa boleh? "tanya Hana. Thalia mengangguk dengan semangat. Hana menghela nafas, ia tak bisa menolak. Hana mengikat rambutnya, lalu melipat kedua lengan kemejanya.
Hana membuat adonan dengan cepat. Ia kagum karena semua bahan yang ia perlukan ada. Bahkan bahan yang jarang sekali ditemukan pun ada.

"Wih... Ice cream cake! Hoi, bagi ya. Are you ready?! " seorang anak laki laki tiba tiba datang.

"Yeeerr enak aja. It's mine! "Thalia lansung mengamankan ice cream cake nya.

"Ceile, pelit amat. Eh, kau kan masih dalam masa hukuman, cebong. So, this cake is mine,  " ujar anak laki laki itu.

"Harris! Kan itu sudah berakhir tiga hari lalu. Jangan seenaknya nambah hukuman! "sembur Thalia.

"jika kau menang, tambah saja hukumanku empat hari lebih lama! Nah hayo~" ujar Harris sambil tersenyum simpul. Skak mat! Harris langsung mengambil paksa cake itu, lalu membawanya entah kemana sambil bersiul. Thalia nampak sedih, ia lupa.

"Nanti kita buat lagi yang baru. Bagaimana? Kita buat banana split saja. Setuju? "Thalia mengangguk antusias.

Hari beranjak siang, Hana sudah tertidur di kamarnya. Ia masih tak menyangka hidupnya akan berubah 180° beberapa jam yang lalu. Walaupun nyonya, eh-ralat. Bunda, maksudnya. Sudah memberitahunya tentang alasan ia pindah ke rumah ini, tapi ia merasa penasaran akan sesuatu.

"Hei, big bro. Do you want ice cream cake? Aku tidak bisa menghabiskannya sendirian. Lagian si cebong nggak lawan balik hari ini, nggak seru," ujar Harris pada Jo yang baru saja pulang dari rumah Kai.

"Lah tumben? Lagian jangan keseringan jailin dia, Ris. We dont know what happened later.. "ujar Jo sambil mengacak ngacak rambut Harris.

"Mana cake nya? Eh, perasaan bunda nggak beli cake kemaren? apa jangan jangan.. "

"Hadeuh.... Kau ketinggalan berita, big bro. Our old friends are here. Dan dia yang buat Cake nya, "jelas Harris. Jo langsung bisa mengerti maksud Harris. Ia tersenyum simpul, lalu mendesak adiknya itu untuk menunjukkan cakenya.

Harris memutar bola matanya malas, lagi lagi ia mendapat omelan yang lebih mirip pidato dari Jo. Jangan ini lah, jangan itulah. Jo menekankan untuk jangan terlalu menjahili Thalia, saudara kembarnya.

"Ish, kakak kesambar petir macam apa jadi mendadak bijak begini? "

"Jangan sampai masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Sudahlah.. Males ngomong sama adek yang nggak ngarep abangnya berubah jadi baek.. " Harris berdecak kesal sambil menatap Jo yang berjalan keluar ruang makan.

Waktu makan malam pun tiba. Meja makan berisik seperti biasa. Hanya Hana yang merasa awkward. Ia tahu Jo sudah menatapnya dari tadi, tapi ia tidak berani menatap balik fokus dengan makan malamnya.

"Minggu depan kita adain garden party, gimana? " usul bunda.

"Ok, no prob bun. Tapi buat apa? Kan ultah kak Jo masih lama, Ah... I know what it is. That's good idea, " ujar Talia sambil memasukkan sepotong melon ke dalam mulutnya. Hana masih terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.

"Mulai besok kamu berangkat bareng Jo. Soalnya pak Bim tidak bisa mengantar lagi, karena bunda sedang banyak urusan. "

"Baik, bun, "ujar Hana pelan.

Thalia tiba tiba berteriak, Harris ngacir ke kamarnya lantas langsung mengunci pintu. Thalia segera menyusul ke atas. Jo geleng-geleng kepala, bertengkar sudah jadi kebiasaan si kembar.

Hana belum juga tertidur, Matanya seolah kaku, tidak mau terpejam juga. Hana menghela nafas panjang. Ia harus bersiap akan hal terburuk. Apa lagi ia sudah kenal dengan para most wanted. Ia harus bersiap menghadapi kawan seangkatan dan juga adek kelasnya yang bisa disebut predator.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan sungai yang membelah kota. Seorang remaja keluar dari mobil itu, menyalakan ipadnya lalu tersenyum.

" Kerja bagus, kalian bisa pulang lebih awal hari ini. Ah, ini bonus!"

Dua pria berbadan tegap itu mengangguk, lantas menerima lolipop yang di berikan si remaja tadi. Setelah menerimanya, kedua orang itu pun pamit. Angin malam bertiup, si remaja tadi kembali menatap ipadnya.

"Woa, ini sangat menarik. Sepertinya ini saat yang tepat untuk membalas budi,"












My Most Wanted [Revisi-Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang