Satu minggu berlalu, dan Jimin benar-benar memenuhi keinginan Seulgi. Mereka tak saling berinteraksi, hanya sekali dua kali dan itu seperti dulu hanya urusan pekerjaan, sebelum kejadian malam di club itu.
Jimin menghargai keputusan Seulgi dan ia menyesali perlakuannya yang tak berpikir dua kali kala itu. Jimin sungguh menyesal.
Hembusan nafas berat keluar dari hidung Jimin, pria itu baru saja menyelesaikan dokumen yang masuk dan perlu ia periksa. Keadaan di kantor sudah sepi, mungkin hanya dua tiga orang yang sedang menyelesaikan desain produk yang akan di luncurkan bulan depan.
Jimin keluar begitu saja dan segera pergi menuju tujuannya akhir-akhir ini. Restoran cepat saji kemudian memarkirkan mobil di depan rumah Seulgi, memandangi jedela yang ia yakini kamar Seulgi. Menanti lampu di kamar itu mati hingga akhirnya ia bisa kembali pulang ke apartemennya.
Namun beda pada malam ini, kamar itu lampunya sudah mati padahal masih pukul delapan kurang beberapa menit. Jimin masih menunggu dan tak berniat untuk pulang, entahlah mengapa yang jelas ia benar-benar tulus meminta maaf dan menyesalinya.
Jimin jadi teringat kejadian akhir pekan lalu, ia mendapati Seulgi pulang sangat larut dengan pria yang waktu itu ia dapati di restoran dan mengantar Seulgi ke kantor. Sakit rasanya melihat hal itu, melihat wanitanya bisa tertawa dengan pria lain sedangkan jika dengannya wanitanya itu malah menangis.
Jimin masih setia berdiam di dalam mobil, bahkan rasa lelahnya terkalahkan hanya untuk mendapat maaf dari Seulgi. Jimin setia berhari-hari menunggu Seulgi walaupun wanita itu sama sekali tak tau bahwa Jimin selalu menunggu di depan rumahnya hingga larut.
Makanan yang Jimin beli di restoran cepat saji sudah habis di lahapnya, namun tanda-tanda kedatangan Seulgi juga belum ada, atau mungkin wanita itu sudah tidur? Jimin masih setia menunggu, hingga tanpa sadar ia mulai memejamkan mata dan terlelap di dalam mobil mewahnya.
Suara ketukan kaca jendela mengusik ketenangannya, tidur nyenyak yang beberapa minggu ini ia dambakan di gagalkan dengan sebuah suara kecil dari balik kaca jendela mobilnya.
Perlahan Jimin membuka matanya, menguap dan membiasakan diri dengan keadaan yang terang. Terang bukan karena cahaya lampu, namun matahari sudah berada diatas menyinari bumi.
Seorang wanita paruh baya dengan jaket tebalnya masih setia di luar mobilnya dan terus mengetuk kaca jendela mobilnya. Buru-buru Jimin membuka pintu dan menunduk hormat memberi salam.
"Ku lihat akhir-akhir ini mobilmu selalu terparkir di depan rumahku." sapa sang wanita paruh baya itu pada Jimin.
Bukan langsung menjawab Jimin menoleh kekanan dan ke kiri, dan ia baru sadar bahwa rumah yang di maksud wanita itu adalah rumah keluarga Kang Seulgi. Di lihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul sembilan lewat. Itu tandanya ia harus ke kantor, dan semalam ia melewatkan waktu untuk melihat Seulgi datang dan tidur.
Jimin menggerutu dalam hati.
"Hei, aku bertnya padamu!"
Jimin yang kembali sadar segera menunduk dan membungkuk memohon maaf. "Maaf jika membuat tak nyaman. Sekali lagi saya minta maaf." ucap Jimin penuh kesopanan.
"Apa kau temannya anakku?" tanyanya lagi.
"Ya?!"
***
Jimin kini tengah duduk di ruang makan bersama dengan beberapa hidangan untuk sarapan. Setelah mengobrol ringan di depan rumah, akhirnya ibu Seulgi mempersilahkan Jimin untuk masuk ke rumah dan sarapan. "Maaf lo ya, hanya tinggal itu untuk sarapan."
Jimin terseyum kemudian ia mengeleng tak masalah.
"Makanlah!" ucap ibu Seulgi kemudian duduk di hadapan Jimin. Memandangi Jimin yang memulai sarapannya.
"Dari beberapa hari yang lalu aku selalu melihat mobilmu terparkir di depan rumah. Ku kira kau orang jahat." kekeh ibu Seulgi menceritakan kekhawatirannya.
"Tapi kenapa kau tak masuk saja dan malah menunggu di luar? Dan selalu tengah malam pulang. Baru kali ini aku melihatmu sampai pagi."
Jimin yang mendengar itu mengaruk tengkuknya malu sambil menguyak makanannya. "Maaf!" ucapnya setelah semua makanan di mulutnya berhasil ia telan. "Maaf jika mengganggu!" lanjutnya menyesal.
Ibu Seulgi tekekeh, "bukan terganggu, kau tak melakukan apa-apa. Terganggu darimananya?" ucap sang ibu. "Mungkin awal-awalnya hanya takut saja kalau pemilik mobil itu akan berbuat jahat." lanjutnya kemudian.
Jimin terseyum kikuk kemudian menyelesaikan sarapannya.
"Terima kasih atas makanannya!" ucap Jimin berniat membereskan bekas makannnya.
"Tak usah, biar ibu saja!" cegah ibu Seulgi saat Jimin mulai berdiri dari duduknya, "duduklah, aku ingin bertanya." lanjutnya membuat Jimin yang sudah sempat berdiri kembali duduk di kursinya.
"Sebenarnya kalau kau memang teman Seulgi, kenapa ibu tak pernah tau? Dan kenapa kau tak masuk saja ke rumah dan malah seperti mata-mata di depan sana?"
Jimin menunduk sejenak sebelum menjelaskan.
"Sebelumnya saya mohon maaf jika membuat tidak nyaman. Banyak alasan yang membuat saya memilih menunggu di luar dan tidak masuk." jelas Jimin mengambil jeda.
"Sebenarnya saya hanya ingin meminta maaf pada Seulgi___" dan Jimin mulai menjelaskan kenapa ia berada di depan rumah keluarga Kang selama berhari-hari.
"Kau kekasih Seulgi?" tanya sang ibu to the poin.
"Eh?!"
"Kalau kau bukan kekasih anakku, kenapa juga kau menunggunya di depan rumah hingga menanti lampu kamarnya mati?"
Jimin mengaruk tengkuknya, kemudian terseyum malu-malu. Dan dengan spontan Jimin mengangguk kecil.
"Lalu kalau begitu kenapa Seulgi bisa marah besar padamu? Apa kau menyakitinya?" introgasi sang calon ibu mertua.
Jimin langsung mengeleng, mana mungkin Jimin mengatakan yang sebenarnya terjadi? Mengatakan bahwa Seulgi marah karena ia mencium anak gadisnya dengan paksa, itu sama saja cari mati.
"Kenapa?" tanya sang ibu menanti jawaban.
Jimin mulai menjawab dengan malu-malu, "itu karena saya cemburu, jadi saya sempat sedikit marah pada Seulgi dan tak sengaja menyakitinya." jelas Jimin was-was.
"Menyakiti?"
Jimin sedikit menyesal mengutarakan hal itu, dan mau tak mau sepertinya ia harus jujur pada calon ibu mertuanya itu. Mengambil nafas dalam, Jimin kembali becerita dengan malu-malu tentang adegan dimana ia membawa Seulgi ke tangga darurat dan menciumnya paksa. Bukannya marah, ibu Seulgi malah terbahak membuat Jimin bingung.
"Aduh, itu wajar. Kalian masih muda dan penuh gairah, Seulgi memang benar-benar! Aduh anak itu!" ucap Ibu Seulgi kemudian kembali terkekeh.
"Perlu kau tau ya, kau itu pacar pertamannya Seulgi. Jadi maklumi saja jika anak ibu seperti itu, dan ibu percayakan Seulgi padamu! Ibu rasa kau ini pria yang baik, jadi ibu percaya padamu!" ucapan ibu Seulgi sukses membuat Jimin terseyum lebar.
"Nanti biar ibu yang membujuk Seulgi untuk mau berbicara lagi padamu!"
Dengan segera Jimin menolak, "tak perlu bu, biar saya saja yang menjelaskan. Saya tidak mau jika Seulgi semakin marah dan menjauhi saya." terang Jimin.
Ibu Seulgi mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Lalu kalau kalian satu kantor, perkerjaannmu di bagian apa?" lagi-lagi Jimin di introgasi.
Jimin terseyum seraya menunduk, "saya kepala bagiannya bu!" ucap Jimin sedikit malu dan tak enak.
"Ah, karena itu kalian pacaran diam-diam?" lagi-lagi ucapan ibu Seulgi membuat Jimin kaget dan hanya bisa menunduk dan mengiyakan ketidak benarannya.
"Tenang saja, ibu akan diam. Semoga kau berhasil membuat Seulgi tak lagi marah!" ucap Ibu Seulgi sambil menepuk tangan Jimin lembut.
SOME
KAMU SEDANG MEMBACA
[S10] SOME [COMPLETE]
FanfictionSOME, hubungan yang tidak terikat namun saling mengikat. Kang Seulgi, wanita berusia 28 tahun yang belum pernah menikmati manisnya hubungan percintaan yang sesungguhnya harus berurusan dengan Park Jimin, kepala divisi pemasaran di perusahaanya beker...