Hari ketiga.
Hari ini jadi hari terakhir aku belajar makhrajul huruf. Di time schedule yang tertulis seharusnya empat hari. Tapi melihat kemampuanku dalam menyerap materi masuk kategori mengagumkan, Nandar akhirnya memilih melakukan akselerasi.
"Bagian terakhir mudah saja. Penyebutannya tidak sesulit pertemuan sebelumnya."
Aku tersenyum. Bisakah kita langsung masuk bagian menghafal saja?
"Coba sebut, gho." Nandar mencontohkan.
"Gho." Aku mengikuti.
"Salah. Seperti ini yang benar." Lanjut Nandar.
"Gho."
"Bukan, tapi .... , "
"Gho, gho .... , "
Sudah tujuh belas kali aku mencoba menyebut huruf itu, tapi Nandar belum puas juga. Apanya yang mudah? Baru kutahu Nandar punya bakat berbohong. Akhirnya pada percobaan yang kedua puluh barulah Nandar mengangguk puas. Fix. Aku dikibuli.
"Selanjutnya, huruf fa. Yang ini mudah, coba fa."
"Fa."
"Sip."
Oh, ini toh yang dimaksud Nandar gampang. Aku jadi agak menyesal karena sudah berprasangka buruk.
Seratus dua puluh menit berlalu. Di akhir pelajaran, Nandar memberi beberapa pengarahan untukku.
"Tetap diulangi terus di rumah. Berkali-kali. Ini masalah pembiasan. In syaa Allah besok kita mulai masuk materi baru. Materi mad. Panjang-pendek. Terus masalah tanda baca. Meskipun sebenarnya, yang ini sudah kuajarkan di pertemuan awal. Terus tanwin, masalah qalqalah, nun sukun dan tata cara waqaf, berhenti di akhir ayat. Lalu .... , yang paling sulit, hukum ikhfa, izhar, idgham bigunnah, bilagunnah, iqlab, tasydid, terus munaqasyah."
Pusing kepalaku mendengar semua itu.
"Kau tidak akan mengajarkan semua itu satu kali, kan?" Tanyaku.
"Tentu saja tidak. Jika kuajarkan semua satu kali, apa gunanya time schedule? Lagipula kau tidak akan sanggup memahami semua dalam waktu dua jam saja. Albert Einstein pun tidak akan sanggup. Termasuk aku."
"Oke."
"Toyyib. Sampai ketemu besok."
Aku berdiri dan segera beranjak menuju pintu keluar. Tapi tiba-tiba Nandar memanggilku,
"No, tunggu!"
Aku segera menoleh, "Apa?"
Nandar menekan-nekan dagunya,
"Kau harus tahu, sebenarnya ada beberapa nasihat bijaksana dan kata-kata motivasi yang ingin kusampaikan padamu."
Aku mengangkat bahu, "Oh, apa itu?"
Nandar mengusap-ngusap dagunya,
"Tapi setelah dipikir-pikir, aku masih terlalu muda untuk hal-hal semacam itu. Jadi lupakan saja. Pulang sana."
Aku memutar bola mata. Dasar tukang kibul!
***
Sore harinya adikku Nina tiba di rumah. Begitu masuk, aku langsung bertanya,
"Bagaimana? Sudah bilang sama Pak Makruf? Beliau bilang apa? Terus mendatarnya? Sudah didaftarkan? Berapa orang yang sudah mendaftar? Kapan batasnya?"
Adikku berdecak, "Ya ampun, Kak. Nina belum lepas sepatu juga. Satu-satu bertanyanya. Nanti juga Nina pasti cerita." Ujarnya sambil melangkah menuju kamar.
"Yah .... , " Aku berlagak kecewa.
Tidak lama adikku keluar dari kamar. Aku yang duduk di meja makan langsung berdiri.
"Jadi?"
Wajah adikku cuek saja. Bukannya menjawab pertanyaanku, justru adikku menuju dapur. Dan saat tiba di dapur barulah dia bersuara,
"Nina sudah bilang ke Pak Makruf." Itu kalimat yang diucapkan adikku.
"Terus, respon beliau?"
"Kaget pastinya. Tapi Pak Makruf nggak marah, kok, Kak. Beliau hanya bilang, Oh, gitu ya. Itu saja."
Aku menghela nafas. Everything is fine.
"Nina juga sudah cek pendafaran lomba. Kakak sudah terdaftar. Nina yang urus."
"Klop."
"Tapi,"
"Tapi kenapa?"
"Besok Kakak tetap harus ke sekolah. Ada sedikit administrasi yang harus diurus."
Mulutku membulat, "Oh, terus, yang sudah mendaftar berapa orang?
"Dua orang termasuk Kakak."
"Siapa yang satunya?"
"Raihan, Kak."
Aku tercekat.
"Raihan? Raihan Ketua Rohis?"
"Iya, Kak."

KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Духовные[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...