Akhirnya rangkaian UN yang menguras emosi dan air mata itu selesai juga. Dan sekarang aku bisa fokus pada rencana besarku. Langkah paling awal yang kulakukan adalah menemui Nandar. Bulan-bulan seperti ini biasanya dia pulang ke rumahnya yang ada di komplek untuk berlibur.
Aku tahu, aku tokoh utama dalam cerita ini. Berarti cerita ini berkutat tentang aku, karakterku, dan masalahku. Tapi tentu kalian juga tahu, tokoh utama tidak selalu sendiri, dia terkadang punya teman figuran yang bertugas membantu mengembangkan jalan cerita agar lebih seru. Dan terkadang, tokoh pembantu ini butuh deskripsi yang lebih detail untuk keperluan perluasan alur dan dimensi setiap chapter agar cerita yang dihasilkan semakin kuat dan menggigit (kita sedang membicarakan apa, sih?).
Maksudku, kuharap kalian tidak keberatan jika aku sedikit bercerita tentang karakter Nandar di sini. Oke, mungkin akan banyak.
Ini dia.
Nama lengkapnya, Arif Munandar. Sama halnya dengan Barto, Nandar adalah teman masa kecilku. Kami sekolah di TK dan SD yang sama. Hampir setiap hari kami bertemu dan bermain bersama. Kami sulit terpisahkan. Saking akrabnya, orang-orang waktu itu menjuluki kami Trio BNN, singkatan dari nama Barto, Nandar dan Nino. Oh, salah. Yang tepat Barto, Nino dan Nandar.
Awalnya kami sangat bangga dengan singkatan itu, sampai akhirnya kami menemukan brosur tentang bahaya narkoba yang diterbitkan Badan Narkotika Nasional. Sejak saat itu Trio BNN kami bubar.
Kami lantas mencari alfernatif lain untuk nama perkumpulan kami. Nama yang belum pernah digunakan instansi mana pun di muka bumi ini. Tapi ternyata hal itu jauh lebih sulit dari yang kami bayangkan.
Belakangan, kami mulai berpikir untuk meninjau kembali kemungkinan penggunaan singkatan BNN itu, karena beberapa tim sepakbola ternyata melakukan hal yang sama dengan kami. Kalian tentu tahu Trio BBC-nya Real Madrid dan MSN-nya Barcelona.
Bayangkan aku sebagai central forward, Barto sayap kiri, dan Nandar second striker. Itu akan sangat keren menurutku.
Di saat kami bersiap mematenkan nama itu, di saat itulah kami harus menerima kenyataan bahwa Nandar akan berpisah dengan kami. Tamat SMP dia dikirim ayahnya ke Bogor untuk mondok di sana, di daerah Cibinong. Aku batal jadi penyerang utama, Trio BNN bubar untuk kedua kalinya.
Nandar pulang setahun sekali ke rumah orangtuanya. Biasanya menjelang bulan Ramadhan. Dengar-dengar, sebenarnya pihak pesantren tidak mengizinkan santrinya untuk berlibur, tapi untuk kasus Nandar, dia diistimewakan. Ini karena permintaan pribadi ayah Nandar sendiri agar Nandar dipulangkan untuk sementara waktu. Alasannya, agar dia bisa membantu menjalankan program-program islami yang diadakan di komplek kami. Seperti mengajar mengaji, mengisi majelis taklim ibu-ibu, membawakan ceramah tarawih dan menjadi imam shalat. Kurasa Nandar jadi orang paling sibuk saat Bulan Puasa tiba.
Kendati sudah jadi santri, sifat bawaan Nandar tidak berubah. Dia tetap Nandar yang kukenal sejak kecil. Tetap humoris, santai, dan blak-blakan. Oke, kategori yang terakhir itu kadang membuatku tidak nyaman. Dan kalau mau jujur, selera humor Nandar sebenarnya tidak terlalu baik. Biar kuberi satu contoh.
Misalnya saja, hanya karena nama lengkap dan nama panggilan seseorang tidak sama, hal itu sudah bisa membuat Nandar tertawa sejadi-jadinya. Baginya itu hal yang sangat lucu dan konyol. Dan sialnya, aku pernah jadi korban Nandar untuk masalah ini.
"Nama lengkap, Febriansyah Rachim. Nama panggilan, Nino. Pfff .... , " Nandar mencoba menahan tawa dengan cara memegangi perutnya.
"Dari mana nyambungnya coba?"
Aku tidak berkomentar apa-apa. Beberapa hari kemudian, Nandar datang padaku dan berkata, "No, ada lagi nama yang lebih absurd dari punyamu. Kamu mau tahu?"
"Apa itu?"
"Nama lengkap Adrian Casanova, nama panggilan .... , "
"Moge!!" Teriaknya sambil tertawa.
Aku melongo. Serius. Lucunya di mana sih?
Meskipun begitu, Nandar tetap kuanggap sebagai teman yang paling baik. Seperti Barto, dia tipe setia kawan. Bahkan saking baiknya, Nandar terkadang memberi bantuan bahkan sebelum aku memintanya. Dia seperti bisa membaca pikiranku. Maka aku optimis, Nandar bisa membantuku mewujudkan mimpi menghafal Alquran juz 30.
***
Akhirnya Nandar pulang. Setelah menimbang waktu berkunjung yang tepat, aku langsung menuju rumahnya. Pagi itu susana cerah. Baru saja tiba di depan rumahnya, kulihat Nandar duduk santai di teras sambil menikmati secangkir teh dengan earphone terpasang di telinga. Aku segera melambaikan tangan. Nandar tersadar akan kehadiranku dan langsung tersenyum.
Sambil melepas earphone dari telinga Nandar bersuara,
"Kalau bertamu ke rumah orang itu salam dulu. Jangan langsung main tangan."
Lihat? Blak-blakan seperti biasa.
"Bagaimana mau salam, orangnya pakai penyumpal telinga." Aku merespon.
"Tapi kan sekarang sudah dilepas. Salam dong."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Masuk, Nak."
"Tidak lucu, Nandar."
Nandar tersenyum geli. Aku langsung masuk dan duduk di sampingnya.
"Mau teh?" Tanyanya.
"Boleh. Eh, tapi kalau bisa susu saja."
"Oke." Nandar beranjak masuk ke dalam rumah. Tidak lama dia keluar lagi.
"Susunya sementara dibuat." Ujarnya sembari kembali duduk.
Kupandangi Nandar sejenak. Sejak jadi santri, Nandar suka sekali memakai sarung. Ke mana-mana dengan sarung. Di masjid maupun di luar masjid. Bahkan pernah dia bertamu ke rumahku dalam keadaan bersarung. Selain itu, Nandar kini lebih suka memakai baju koko atau kemeja. Tidak pernah kulihat dia memakai kaos oblong.
"Nandar, kamu itu terlihat seperti orang habis sunatan, tapi tidak sembuh-sembuh." Aku mencoba berbasa-basi.
"Lebih enak pakai sarung, kali." Jawab Nandar santai. "Pakai dan lepasnya tidak ribet."
Aku tersenyum. Tapi setelah itu wajahku berubah datar. Aku tidak mau berlama-lama. Aku ingin langsung to the point. Maka kusiapkan semua bentuk kalimat untuk menjelaskan rencanaku pada Nandar. Aku menarik nafas sejenak.
"Nandar."
"Apa?"
Kalian tentu sudah tahu kelanjutan dialog ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Spiritual[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...