Catatan Author :
Sebenarnya cerita ini ditargetkan selesai pada chapter dua puluh lima atau lebih sedikit. Tapi, ehm, terkadang segala sesuatu menjadi tak terkendali. Jadi untuk para pembaca, kuharap kalian bisa memakluminya.Nino :
Hei! Bisakah Anda berhenti mencantumkan catatan-catatan itu ? Orang-orang mungkin mulai merasa jenuh dengan cerita ini. Dan aku sedang berusaha membuat keadaan jadi lebih baik di sini.Author :
Oh, baiklah. (Kabur)Nino :
Hai, readers, lupakan orang aneh tadi. Dia memang suka sekali menyusup masuk dalam kisahku yang berjudul “Cinta Ayat-ayat” ini. Entah—Author :
(Kembali lagi) Pssst, Nino!Nino :
(Jengkel) Apa?Author :
Kau salah, Nino! Judulnya bukan itu! Yang benar “30 Hari Untuk Cahaya!”Nino :
Eh? Begitu ya?Author :
Ya! Atau haruskah kuganti judulnya?Nino :
Misalnya?Author :
“Diari Si Bocah Tengik”, atau “21 Junk Street,” Bagaimana?Nino :
-_-Author :
Tidak suka, ya. Baiklah. Bye. (Kabur)Jika kalian berbaik hati meluangkan waktu untuk membaca dialog di atas, maka congratulations. Kalian layak mendapat apresiasi, karena telah menghabiskan menit-menit berharga untuk kumpulan kalimat yang sia-sia. Tapi mau bagaimana lagi. Itu adalah salah satu trik untuk membuat chapter ini menjadi terlihat panjang. Dan seperti yang pernah kukatakan, bersikap politis terkadang bisa membuat hidup jadi lebih—ah, sudahlah.
Intinya, selamat membaca : )
***
Akhirnya Bulan Ramadhan tiba. Suasana berubah semarak, segala sesuatu menjadi lebih baik. Semua hal tentang Ramadhan memang selalu terasa menyenangkan. Orang-orang jadi rajin ke masjid, jalan-jalan ramai, anak-anak bersuka cita, makanan dan kue-kue menjadi begitu “murah.” Beruntungnya hidup. Beberapa orang tua mencoba untuk rajin bersedekah. Dan tentang iklan-iklan di TV, kalian tentu sudah paham maksudku.
Aku sendiri merasa berbeda. Bulan Ramadhan ini menjadi bulan yang istimewa, karena kini aku sedang menjalani masa promosi jabatan sebagai protokol Shalat Jum’at dan Tarawih setelah sekian lama bertugas di bawah mimbar—jadi jama’ah saja. Adapun Barto, dia tampak sedang menikmati debut perdananya sebagai seorang muadzin. Nandar benar-benar berhasil mengekploitasi kami berdua. Peran para tetua pelan tapi pasti mulai tergantikan.
“Sudah saatnya anak muda mengambil peran.” Ujarnya padaku kemarin malam. Barto ikut menyimak.
“Aku sudah bicara dengan Ayahku. Kalian resmi diangkat jadi remas di sini.” Lanjutnya lagi. Barto mengangguk antusias.
“Kalian akan jadi asistenku, sebagai operator sound system, tukang sapu teras, penyedia air bersih untuk wudhu, dan manajer logistik dan keuangan selama satu bulan penuh.” Kedengarannya berat sekali. Barto tersenyum lebar.
“Untuk insentif, kalian musti khawatir. Tidak ada sama sekali. Jadi perbaiki niat, perkuat mental.” Wajah Barto mendadak cemberut.
Nandar tertawa, “Aku bercanda.”
Santri kok bohong, batinku.
Sambil terkekeh Nandar bertanya, “Kalian tahu, kan, Warung Ayam Bakar Mas Dani?”
Aku mengangguk. Siapa sih yang tidak kenal warung Mas Dani? Terkenal karena rasa ayam bakarnya yang ‘cetar membahana’. Dilumuri bumbu rahasia yang resepnya hanya diketahui Mas Dani seorang di muka bumi ini. Gurih-gurihnya yang tak bisa terlupakan itu, lho. Sambalnya juga. Aduh, membahas ini aku jadi lapar.
Nandar mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Pihak masjid sudah menjalin kesepakatan dengan warung itu. Setiap waktu sahur tiba, pihak warung akan membawa paket lengkap menu ayam bakar spesial di sini, untuk konsumsi remaja masjid. Ada lima porsi setiap harinya. Sementara aku tidur sendirian di sini, tidak ditemani siapa-siapa. Sampai sini kalian paham, kan?” Oh, ikut menginap di masjid, toh. Ramadhan tahun ini benar-benar akan istimewa.
"Kalian harus sering tidur di masjid."
“Ya, ya!!” Nandar menjawab antusias. Aku tidak bersuara, tapi kepalaku mengangguk sendiri. Dasar mental lemah.
“Oke. Tapi ingat, kalian punya banyak program kerja selama mengabdi di sini.” Ujar Nandar. “Tidak boleh berleha-leha, harus kerja keras. Malu jadi benalu, totalitas dalam loyalitas. Camkan itu.” Bukan main motto Nandar.
“Ya, ya!!” Barto kembali menjawab dengan penuh semangat, aku mengangkat tangan.
“Kalau request menu boleh, kan? Sekali-sekali mie goreng, begitu.”
Nandar mendelik, “Ha, dasar kecanduan mie! Tidak ada syukur-syukurnya! Sudah ada ayam, Nino!”
Aku mengangkat bahu, “Yah, siapa tahu …. , ”
“Beradab!”
Aku menutup mulut. Sambil terkikik Barto berujar,
“Sebenarnya …. , aku juga mau pesan mie goreng, Nandar. Bosan kalau itu-itu terus.”
“Kalian ini pandai sekali membuat konspirasi. Hati-hati, jangan sampai kufur nikmat.” Ujar Nandar cemberut.
Aku dan Barto tertawa.
“Kalian sudah pernah dengar kisah seorang pria dari Somalia yang menelepon Syaikh untuk meminta fatwa?” Nandar bertanya tiba-tiba.
Aku dan Barto menggeleng.
Nandar mendesah, “Kalian ini …. , pernah ada seorang Syaikh, atau mufti, di Saudi yang ditelepon seorang pria. Pria itu bertanya pada Syaikh, “Wahai Syaikh, kami di Somalia, tidak punya makanan untuk sahur dan berbuka. Apakah puasa kami tetap sah?” Dengarkan ini, Nino, Barto …. , Syaikh waktu itu menangis. Kita di sini kelebihan makanan, bebas memilih. Sementara saudara-saudara kita di Somalia sana tidak punya apa-apa. Bayangkan itu! Tidak ada roti! Tidak ada air! Tidak ada apapun untuk ditelan, dikunyah, dimakan. Makanya, banyak-banyaklah bersyukur …. ,” Suara Nandar bergetar. Aku dan Barto menunduk.
“Apapun yang tersedia, nikmati saja. Jangan banyak meminta.”
Aku dan Barto mengangguk pelan. Uh. Selama kami berteman, baru kulihat Nandar dengan ekspresi wajah seperti itu, murung yang tidak bisa dijelaskan. Matanya berkaca-kaca. Entah kenapa aku tidak suka suasana ini.
“Oke. Kita lanjutkan materi kita. Sekarang masuk materi cara mewaqafkan huruf. Barto, tolong ambilkan aku penghapus.” Nandar mencoba menetarilisir suasana dan memberi perintah. Barto segera bergerak.
“Dan Nino, tidak lama lagi, materi tajwid kita akan selesai. Setelah sedikit munaqasyah, kita akan masuk ke program utama, program menghafal. Kau siap?”
“Siap …. ,” Jawabku agak canggung. Mendengar kata “menghafal” itu, entah kenapa aku merasa merinding.
Apakah aku benar-benar siap?

KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Spiritual[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...