Man!

2K 313 41
                                        

Pagi ini aku ke sekolah dengan perasaaan berbunga-bunga. Setelah menjalankan tugas membersihkan teras masjid, aku minta izin pada Nandar untuk keluar sebentar. Ada urusan di sekolah, masalah administrasi lomba, ujarku. Tetapi Nandar tampak tidak terlalu setuju. Wajahnya agak sedikit mengkerut.

“Tidak bisakah kau diwakili?” tanyanya saat aku hendak berangkat.

“Tidak bisa. Harus langsung pesertanya yang hadir.” Jawabku berkilah. Aku tidak bermaksud bohong. Hanya saja Nandar tidak boleh tahu, kalau hari ini rencananya aku akan bertemu Firhani. 

Nandar mengangguk pelan. “Oke. Tapi usahakan cepat, ya. Menghafal tidak semudah yang kau kira. Jangan membuang-buang waktu, jangan sampai kau menyesal.”

“Oke.”

Aku segera beranjak.  Dengan segera aku tiba di sekolah. Barto tidak mau ikut, karena dia ingin belajar untuk persiapan lomba cepat tepat di masjid, sekaligus menemani Nandar. Kurasa Nandar harus sering melihat dunia luar.

Setibanya di sekolah, aku langsung menuju gedung Ubasis, ke ruang panitia. Dan, ugh! Firhani sudah ada di sana! Tersenyum manis menyambutku! Tidak sia-sia aku mati-matian menyetrika bajuku dengan rapi setelah shalat subuh tadi (biasanya Ibuku yang melakukannya). Ini akan jadi pertemuan yang bersejarah! Man, aku merasa jadi orang paling beruntung di muka bumi ini.
 
“Hai, Febriansyah Rachim.” Sapa Firhani.

“Iya, hai …. , “ jawabku dengan ekspresi wajah tenang padahal aku sedang sangat ‘segang.’

Firhani tertawa kecil, “Ya ampun. Sepertinya aku terlalu sering menyebut nama lengkapmu. Agak merepotkan, ya. Bagaimana kalau Febri saja?”

“Iya. Febri saja.” Jawabku cepat. I got a special name from her!

“Oke. Febri, silahkan selesaikan urusan administrasinya …. , “ujar Firhani sambil menyodorkan selembar kertas padaku. Aku langsung menulis. Iksan yang ada di sampingku menyeletuk,

“Jadi kau benar-benar ikut lomba ini, ya.”

“Iya.” Jawabku masih sambil menulis.

“Apa ada alasan khusus ikut lomba ini?” tanya Iksan lagi.

“Tidak ada.” Jawabku lagi. Dasar Iksan tidak peka. Tidak mungkin, kan, aku bilang kalau aku ikut lomba ini karena Firhani? Dia ada di depanku sekarang, Iksan!!

Aku mengangkat wajah, “Tidak ada. Hanya sebuah resolusi di masa-masa akhir SMA.” Ujarku lagi. Ekpresi wajahku kubuat sedatar mungkin.

“Oh.” Iksan menggumam.

Urusan administrasi selesai, aku langsung menyerahkan kertas itu pada Firhani. Firhani menerimanya sambil tersenyum manis. Aku gugup.

“Kamu sudah tahu soal Raihan, kan?” Mendadak Firhani bertanya.

“Emmm …. , iya. Soal dia kembali ikut lomba ini, kan?” Jawabku. Firhani mengangguk.

“Mungkin bagusnya kita bicarakan ini berdua saja.” Ujar Firhani. Eehhh??!!!

“Kita ke situ, yuk.” Lanjut Firhani sambil menunjuk dua kursi tidak jauh dari kami.

“Iya.” Jawabku cepat.

Aku dan Firhani menuju kursi itu. Begitu kami duduk,  Firhani mulai bercerita,

“Kamu harus tahu, Febri, awalnya Raihan nggak mau lagi ikut lomba ini. Dia punya masalah keluarga kayaknya.”

“Oh …. , “ gumamku. Terus apa hubungannya denganku?

“Tapi akhirnya dia mau kembali. Aku yang membujuknya.”

“Oh …. , ” gumamku lagi. Kok rasanya tidak enak, ya, saat tahu Firhani berusaha membujuk Raihan ikut lomba menghafal itu. Jangan-jangan …. ,

“Ini soal Pak Adam. Kamu tahu, kan, beliau akan pensiun tahun ini. Dan aku berharap bisa mempersembahkan sesuatu yang spesial sebelum beliau meninggalkan sekolah kita. Sesuatu yang membanggakan. Prestasi yang bagus dari kita, siswa-siswanya. Dan aku rasa, kompetisi ini bisa jadi hadiah perpisahan yang manis untuk Pak Adam.” Oh, begitu rupanya.

“Iya, ya.” Aku mencoba menimpali.

“Pak Adam bilang, dia sangat berharap sekolah kita bisa menang lomba hafalan Alquran itu. Beliau ingin membuktikan kalau siswa-siswa di sekolah ini tidak hanya unggul di bidang dunia, tapi hebat untuk urusan agama.” Lanjut Firhani.

“Bagus itu.” Aku menimpali lagi.

“Terus terang, saat tahu kalau yang mendaftar lomba ini hanya dua orang, Pak Adam merasa kecewa. Kok dari ratusan siswa di sekolah kita, hanya dua orang saja yang punya hafalan juz tiga puluh.” Firhani terlihat sedih. “Harusnya lebih dari itu. Tapi yah, mau bagaimana lagi.”

“Dan saat tahu kalau Raihan mengundurkan diri, aku agak shock juga. Dua orang jadi satu orang, peluang untuk menang semakin kecil. Makanya panitia mati-matian membujuknya ikut lomba itu.” 

“Emm …. , loh, bukannya memang perwakilan sekolah kita hanya satu orang saja?” Aku mencoba terlibat jauh dalam percakapan kami.

“Perwakilan satu orang, karena yang mendaftar hanya segitu saja.” Tanggap Firhani sambil tersenyum, “Konsep awalnya, memang ada seleksi, untuk kuota dua orang. Atau tiga orang, tergantung jumlah pendaftar. Asumsinya banyak yang mau ikut lomba menghafal itu. Tapi yah, ternyata tidak. Karena Raihan ikut lagi, jadi kembali ke konsep awal.”

“Oh …. , “

“Jadi, maksudku, Febri, aku hanya mau bilang .... , kami panitia berharap kamu bisa memenangkan lomba menghafal itu. Atau Raihan. Pokoknya salah seorang dari kalian, deh. Pak Adam pasti akan senang sekali. Kemenangan kalian akan jadi kado teristimewa untuk beliau. Jangan tersinggung, ya. Awalnya aku nggak terlalu berharap sama kamu. Aku lebih ke Raihan. Tapi ke depan siapa yang tahu. Bisa saja kamu yang menang. Tetap berjuang, ya. Sekolah mengandalkanmu. Pak Adam mengandalkanmu. Aku mengandalkanmu, Febri.” Firhani kembali tersenyum manis. Aku kembali gugup.

“Iya.” Jawabku singkat.

Firhani terlihat berpikir, “Emm …. , begitu pokoknya, deh. Oh, iya. Aku mau keluar sekarang. Ada urusan di ruang sebelah. Aku tinggal, ya. Kamu belum mau pulang, kan?”

“Emm …. , aku harus pulang. Harus menghafal. Persiapan lomba.” Jawabku.

Firhani tertawa kecil. “Oh …. , iya ya. Kamu kan harus persiapan penuh. Semangat. Aku pergi dulu, ya, Febri.” Ujarnya lalu melangkah meninggalkanku.

“Iya.”

Begitu Firhani keluar, aku langsung bangkit. Saat melihatku berdiri, Iksan yang tidak jauh di situ menyeletuk lagi,

“Ciee …. , yang habis ngobrol sama Firhani. Deg-degan, kan?”

Aku melongo. Mana mungkin Iksan tahu aku naksir Firhani?

“Kelihatan sekali, tahu.” Ujar Iksan lagi. Serius??!!

Aku langsung melangkah cepat-cepat melewati Iksan tanpa permisi. Aku malu sekali. Rahasia terbesarku terbongkar! Jangan-jangan Firhani sendiri sudah tahu? Ugh! Aku langsung menghambur keluar, setengah berlari menuju gerbang keluar. Rasanya canggung cekali.

“Nino!”

Saat aku hendak melewati pintu gerbang, seseorang memanggil namaku dari belakang. Aku langsung berhenti. Siapa, ya? Aku langsung menoleh.

Ternyata Saram!

Ada Apa?

Saram berjalan mendekatiku. Wajahnya terlihat menahan amarah. Seketika aku panik. Ada masalah apa? Kenapa tiba-tiba dia ingin bertemu denganku? Apa karena debat Bahasa Inggris itu? Jangan-jangan dia konflik dengan Pak Makruf? Rasanya aku ingin kabur sekarang.

Tapi terlambat. Saram sudah ada di depanku. Tinggi badannya sukses mengintimidisaku. Uh! Aku tidak bisa lari lagi! Dia mungkin akan mencekik leherku!

“Emm …. ,  kenapa, Saram?” tanyaku mencoba berbasa-basi. Saram tidak merespon. Dia terlihat semakin marah. Aku semakin panik. Ada apa ini?

Lalu sambil bercakak pinggang, Saram menatapku dengan tajam dan berkata,

Man, this is BS!”

[30] Hari Untuk CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang