Berangkat

1.8K 374 25
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lomba menghafal Alquran juz 30 akan dihelat hari ini, resmi. Meskipun sebelumnya aku pernah bilang lomba itu tidak menjadi begitu “sensasional” lagi, tapi entah kenapa perutku tiba-tiba terasa mulas. Oke, mungkin aku agak sedikit gugup.

Pagi-pagi sekali aku sudah mandi, berpakaian rapi dan bersiap-siap menuju sekolah. Nandar baru saja selesai melaksanakan Shalat Isyraq. Melihatku sedang mengikat tali sepatu dia langsung berkomentar,

“Tidakkah kau berpikir ini masih terlalu pagi? Gerbang sekolah bahkan belum terbuka, Nino.” Nandar menoleh ke dalam masjid, “Barto saja masih meringkuk santai.” Ujarnya lagi.

“Bukannya datang lebih awal lebih bagus?” Sahutku. “Untuk penguasaan suasana dan persiapan mental sebelum naik panggung. Agar tidak kena intimidasi akibat terlambat dan sebagainya. Kukira kau yang memberiku tips itu.”

Nandar tertawa, “Ya. Tapi bukan berarti kau sudah harus ada di sana dua jam sebelum lomba berlangsung, Nino. Lagipula tips yang kuberi itu untuk masalah khutbah Jum’at, bukannya lomba.”

“Aku mau ke rumah dulu, Nandar. Minta izin.” Ujarku.

“Oh.” Mulut Nandar membulat, “Bagus itu. Kau butuh doa dari orang-orang terdekatmu.”

Aku mengangguk, “Oke. Barto bagaimana? Bukankah dia juga ikut lomba? Santai begitu.”

Nandar mengangkat bahu, “Masing-masing punya cara tersendiri untuk menghadapi lomba itu. Siapa yang tahu. Mungkin dia menggunakan metode ‘rileks-kan badan dan pikiran sebelum pertempuran’ atau semacamnya. Barto sudah siap, kau harus tahu.”

“Oh.” Kali ini mulutku yang membulat, “Ada juga, ya, metode seperti itu. Ah, aku berangkat Nandar, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Aku langsung melangkah menuju rumahku, yang, ehm, berjarak sekitar tiga puluh meter dari masjid. Tidak cukup tiga menit aku sudah tiba. Suasana pagi ini cerah. Semoga pertanda baik. Begitu masuk ruang tamu, Nina adikku muncul.

“Wuih, Kak, tumben pagi-pagi begini sudah rapi. Kakak kelihatan ganteng, lho.” Ujar adikku.

“Mau lomba hari ini, Nin. Makanya pagi-pagi sudah mandi.” Jawabku sambil lalu.

“Oh, iya ya. Hari ini lombanya. Berarti Nina ke sekolah, deh. Nonton Kakak. Pasti seru.” Adikku bertepuk tangan sendiri.

Aku tersenyum samar, “Terserah, deh. Ibu, Ayah di mana?”

Nina menunjuk dapur. Aku segera bergerak, menemui Ibu dan Ayahku untuk meminta sedikit doa dan restu. (Hei! Ini bukan cerita pernikahan!) Oke, mungkin akan banyak. Lalu aku menceritakan semua tentang lomba itu pada Ibuku. Beliau menyimak dengan antusias.

“Semoga sukses, Nino anakku.” Kata Ibuku sambil mengelus-elus kepalaku.

Sementara Ayahku, seperti biasa, tampak acuh tak acuh. Tapi kemudian beliau melirikku sejenak. Dari sorot matanya aku bisa menangkap satu kalimat yang bermakna, “Habisi mereka, Jagoan!”

Aku tersenyum. Beres, Yah.

Dan sekarang, waktu menunjukkan pukul tujuh lebih empat puluh lima menit. Saatnya berangkat ke sekolah.

[30] Hari Untuk CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang