Namaku Febriansyah Rachim, biasa dipanggil Nino. Kehidupanku biasa-biasa saja. Aku terbiasa bangun jam 6 pagi. Terbiasa sarapan omelet buatan Ibuku, terbiasa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Aku biasa jadi siswa kelima yang tiba di sekolah lebih awal. Aku terbiasa untuk membelanjakan uang jajanku tidak lebih dari sepuluh ribu, terbiasa untuk tidak membolos sekolah.
Aku tipikal remaja biasa dengan aktifitas yang sangat normal. Pulang sekolah, makan, lalu tidur. Sorenya aku berlari-lari menuju lapangan untuk bermain sepak bola. Aku selalu tidur di bawah jam sebelas malam. Hidupku sangat terpola.
Memang ada hal-hal yang kadang tidak sesuai rutinitas, tapi begitulah hidup. Riak-riak kecil, konflik-konflik ringan dalam keluarga dan sistem komunitas para remaja adalah hal yang lumrah. Dan aku tahu betul bagaimana cara bersikap untuk menghadapi itu semua. Selalu oportunis. Kuharap kalian paham maksudku.
Sekarang aku kelas tiga SMA, dan itu berarti, tidak lama lagi, aku akan meninggalkan tempat yang disebut-sebut sebagai salah satu tempat terindah di muka bumi ini.
Kurasa mereka yang berkata seperti itu terlalu melebih-lebihkan. SMA bagiku biasa-biasa saja. Mungkin ungkapan itu cocok untuk mereka yang bergelut dalam dunia OSIS dan semacamnya. Atau mereka yang menjadikan sekolah sebagai tempat syuting telenovela.
Serius. Bagaimana mungkin tempat memproduksi berandalan-berandalan muda dianggap sebagai surga. Mereka pasti jarang berkunjung ke bagian belakang kelas. Kurasa inilah yang disebut dengan kesenjangan.
Teman-temanku di kelas mulai sibuk membicarakan perpisahan. Sibuk membahas resolusi untuk beberapa tahun ke depan. Saling bertanya rencana bla bla bla dan sebagainya. Aku memilih untuk tidak terlibat banyak dengan percakapan semacam itu.
"Kamu mau kuliah di mana, Fer?"
"Aku sih nembak UI."
"Kalau aku ITB, Ay."
"IPB."
Jangan lupa IGD, batinku.
"Mending ITS."
"Yakin lulus?"
Itu.
"Yah .... , namanya juga resolusi."
Lalu mereka tertawa keras-keras.
Resolusi. Kata itu kemudian mengusik telingaku. Aku duduk termenung. Résolusi, putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal. Itu yang pernah kubaca di KBBI. Semua sibuk dengan resolusi. Lalu bagaimana denganku?
Apa resolusiku?
Apa yang telah kucapai?
Apa yang kuinginkan saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendadak muncul di kepalaku.
Seketika aku merasa kosong. Karena aku sadar, tidak ada pencapaian yang bisa kubanggakan selama ini. Paling saat aku mendapat juara dua waktu kelas sepuluh dulu. Tapi hal itu tidak bisa menutup fakta bahwa selama tiga tahun ini, kehidupan SMA-ku berjalan dengan biasa, sangat biasa. Perlahan-lahan aku merasa kasihan pada diriku sendiri.
Hidupku terlalu lurus, tidak ada cerita menarik di dalamnya. How pity i am. Seketika aku merasa naif. Rasanya hidup terlalu sia-sia jika masa SMA terlewatkan begitu saja.
Ah, kenapa aku baru tersadar? Kenapa aku tidak berani pada diriku sendiri? Mencoba hal-hal yang berbeda? Menjadi orang yang tidak biasa? Bolos sekolah misalnya. Atau terlambat datang contohnya. Atau tidak mengerjakan tugas. Atau tidak membawa dasi dan topi. Atau memelihara kuku dan rambut. Atau sekali-sekali menerobos pagar belakang, demi merasakan keseruan dikejar-kejar Pak Angkata si guru killer itu. Bukankah semua itu menarik?
Tiba-tiba seberkas ide muncul di kepalaku.
Kenapa aku tidak mencoba hal itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Spiritualité[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...