Hari-hari selanjutnya kembali berjalan normal. Aku sudah mulai melupakan resolusi konyolku itu. Aku tidak mau bernasib sama dengan Adrian. Lagipula tidak lama lagi kami akan menghadapi UN, jadi rasanya agak adil jika aku tidak menyebut-nyebut nama Firhani lagi.
Sebenarnya aku berharap semua akan terus berjalan normal sampai kami lulus nanti, tapi toh hidup tak semudah yang dibayangkan. Saat bayang-bayang Firhani mulai memudar di kepalaku (memudar di sini bukan bermakna hilang sepenuhnya, karena aku masih menyukai Firhani), tiba-tiba saja satu momen kecil itu hadir dan merubah segalanya. Satu momen yang sukses membuatku move off lagi.
Dan momen itu terjadi kemarin pagi.
Hari itu sebenarnya biasa-biasa saja. Yang agak berbeda di pagi itu hanyalah keputusanku untuk berkunjung ke kantin pada jam istirahat pertama. Ibuku yang biasa membuat omelet untuk sarapan sedang keluar kota, sehingga baru pukul 8 badanku mulai terasa lemas. Maka satu-satunya tempat untuk menyelamatkan diri hanyalah kantin, meskipun aku tidak terlalu suka ke sana.
Ya, jika sebagian besar siswa menganggap kantin adalah tempat paling 'bersahabat' di sekolah, maka aku tidak sependapat dengan hal itu. Alasan khususnya, karena aku pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan di kantin.
Aku ingat betul hari itu. Aku dan Barto sedang menikmati bakso porsi murah sambil berdiskusi seberapa besar pengaruh tas bermerk terhadap tingkat ketampanan seorang pria. Barto mengatakan bahwa tidak perlu tas mahal untuk terlihat keren. Cukup mengenakan satu tali dari tas biasa, hal itu sudah bisa memberi banyak perubahan berarti untuk penampilan seseorang.
Waktu itu aku ingin membantah Barto bahwa teori yang dikemukakannya itu sangat konyol, tapi kemudian dua siswa cewek masuk ke dalam kantin dan menuju ke tempat duduk kami.
Kedua cewek itu sepertinya ingin duduk di dekat kami, karena hanya di situ tempat yang kosong. Tapi kemudian salah seorang dari mereka mengucapkan satu kalimat yang tidak akan kulupakan seumur hidupku,
"Duh. Malas aku makan dekat cowok-cowok muka standar."
Lalu kedua cewek itu berpaling, kemudian keluar meninggalkan kantin. Mereka tidak jadi makan. Aku dan Barto saling berpandangan. Yang dimaksud tadi siapa, ya? Begitu mungkin yang ada di benak kami masing-masing.
Well, satu pengalaman itu tentu tidak mungkin membuatku kapok untuk berkunjung ke kantin. Masih banyak kisah lain yang lebih menyedihkan. Tapi jika kuceritakan semuanya, maka chapter ini akan menjadi begitu padat. Dan percayalah, aku tipe penulis yang selalu ingin memanjakan para pembaca.
Meski agak berat, akhirnya aku ke kantin juga. Mudah-mudahan cewek rese itu tidak ada di sana. Aku masuk dan segera memesan nasi goreng. Untungnya jatah uang jajanku hari ini mengalami sedikit peningkatan, jadi aku bisa menikmati sajian yang lebih 'mewah' dari biasanya.
Aku mulai makan. Belum lama berselang, dari arah belakang terdengar suara dua cewek sedang bercengkrama. Tunggu. Aku seperti tidak asing dengan suara yang satu itu. Pelan-pelan aku menoleh ke belakang.
Oh my God! Itu Firhani!
Cepat-cepat kupalingkan mukaku kembali ke depan. Mataku fokus menatap piring nasi goreng tapi pikiranku berkecamuk tidak karuan. Firhani sedekat itu denganku! Kami hanya berjarak sekitar dua meter!
Tiba-tiba saja tanganku terasa dingin. Maka jangan tanyakan bagiamana perasaanku saat ini. Senang dan tegang. Aku sedang 'segang' sekarang.
"Jadi konsepnya sudah fix, ya Fir?" Cewek teman Firhani terdengar bertanya.
"Iya." Kali ini Firhani yang bersuara. Aku siap menyimak setiap kalimatnya.
"Jadi di acara perpisahan nanti, akan ada lomba cepat tepat khusus untuk anak kelas XII. Hitung-hitung ini persembahan terakhir sebelum kita meninggalkan sekolah."

KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Espiritual[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...