Malam ini satu chat dari nomor baru masuk di handphone-ku.
0812xxx : Assalamu'alaikum.
Siapa, ya? Aku langsung mengetik.
Wa'alaikumussalam. : Me
0812xxx : Ini Febriansyah Rachim, kan?
Deg. Jangan-jangan .... , cepat-cepat aku mengetik.
Iya : Me
0812xxx : Ini nomorku, Firhani.
Oh my god!! Firhani mengirimiku pesan!! Dia tahu nomorku!!
Cepat-cepat aku memasukkan nomor Firhani ke dalam kontakku.
Oh, iya. : Me
Firhani : Nggak menganggu, kan?
Nggak. : Me
Firhani : Mmm …. , begini. Ada yang mau aku sampaikan, mewakili panitia lomba hafalan.
Oh iya. : Me
Firhani : Sebenarnya aku agak nggak enak nih.
Bagus, percakapan semakin panjang. Aku tersenyum lebar.
Tidak apa-apa. : MeFirhani : Emm …. , ini tentang kontribusi peserta.
Oh iya. : Me
Firhani : Setelah dihitung-hitung, ternyata panitia lomba menganggap kontribusi peserta masih sangat sedikit. Jadi diputuskan penambahan nominal uang pendaftaran. Soalnya yang ikut lomba hafalan itu sedikit sekali, sih. Dana dari Kemenag terbatas untuk hadiah saja. Jadi …. , kamunya harus ketemu pantia besok untuk membayar. Aku harap kamu mengerti. : )
Oh iya. : Me
Firhani : OK. Makasih, ya.
Sama-sama. : Me
Firhani : In shaa Allah besok aku ke sekolah. Mungkin kita bisa ketemuan. Ada yang mau aku omongin.
Eeeh??!! Firhani ingin bertemu denganku besok!! Kemajuan besar!!
Oh iya. : Me
Firhani : Oke.
Iya. : Me
Percakapan berakhir. Aku masih menatap layar handphone sambil tersenyum lebar. Aku baru saja saling chat dengan Firhani! Lebih dari tiga pesan! Keputusanku ikut lomba menghafal Alquran ini benar-benar tepat. Aku belum bertanding saja, aku dan Firhani sudah sedekat ini. (aku tahu, ini terlalu berlebihan, kan? Dekat dari mana, coba?) Bagaimana kalau aku menang nanti? Ah, membayangkan itu semua aku jadi ingin memeluk seseorang.
“Aku sudah sering melihat senyum seperti itu.” Nandar tiba-tiba muncul dari belakang dan bersuara.
Aku tidak merespon.
“Dari teman-temanku di pesantren. Sebuah senyuman yang suram. Sangat suram. Senyum kepura-puraan. Saranku, berhentilah membalas chat dari lawan jenis, Anak Muda.” Lanjut Nandar.
Aku berdecih. Dasar tukang ikut campur urusan orang lain. Tahu apa Nandar soal Firhani? Ini peluang terbesarku untuk mengenalnya lebih jauh. Dan hanya orang tolol yang mau menyia-nyiakan kesempatan ‘platinum’ ini.
"Berhenti bertindak yang aneh-aneh."
Nandar mengambil bantal guling lalu berbaring. Dalam posisi seperti itu, dia masih saja mengoceh,
“Tidurlah, besok kau mulai mengahafal. Jangan sampai kau membuatku menyesal melaksanakan program ini.”
“Iya, iya.” Jawabku sekenanya.
"Pokoknya fokus." Ujarnya lagi.
“Iya. sudah, berhenti. Aku juga mau tidur.” Lanjutku sambil menutup wajah dengan selimut. Barto yang ada di sampingku sudah terlelap sejak tadi.
Malam ini aku tidur sambil tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Spiritual[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...