Langit

2.2K 371 86
                                        

Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa program belajar mengajiku telah selesai. Banyak hal yang aku dapatkan selama proses pembelajaran. Penyebutan huruf, teori-teori tajwid, tata cara waqaf ayat, mad tabi’i dan sebagainya. Aku sendiri merasa takjub dengan  kemajuanku sampai hari ini. Aku sudah bisa membaca surah Al Fatihah dengan kualitas yang jauh berbeda dibanding saat awal pertama kali Nandar menyuruhku membaca.

Aku sudah mampu membedakan mana huruf “ha” tipis dan mana huruf “ha” yang dibaca biasa-biasa saja. Bisa membedakan huruf “qaf” dengan huruf “kaf”. Bisa menyebutkan huruf-huruf izhar, bisa memembedakan mana idgham bigunnah dan mana bilagunnah. Bisa membedakan mana  ayat-ayat ghuroba dalam Alquran. Dan masih banyak lagi.

Ini semua berkat metode pengajaran Nandar yang begitu efektif. Sebenarnya aku tipe manusia yang tidak suka memuji orang lain. Tapi dalam kasus Nandar, aku tidak bisa berkata sumbang. Nandar melakukannya dengan sangat baik.  Nandar kelewat sistematis. Dia patuh pada time schedule yang disusunnya, disiplin dengan silabus yang kami jalankan, dan pandai membagi alokasi waktu di setiap sesi pelajaran.

Sebelum memulai proses pembelajaran, Nandar akan menyebutkan tujuan dan sasaran materi yang akan dipelajari, lalu menyebutkan poin-poin penting dan tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut. Nandar menjelaskannya singkat saja, dengan membuat tanda panah-tanda panah di papan tulis tanpa banyak membuat kata-kata. Untuk makhluk yang lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku komik dibanding novel terjemahan seperti aku, metode visual yang diterapkan Nandar ini benar-benar sangat memanjakan mata dan telinga.

Dan sekarang, tibalah saatnya aku masuk program utama. Program menghafal itu. Rasanya sedikit menegangkan. Pagi ini Nandar mondar-mandir di depanku sambil menyilangkan tangan ke belakang. Sesekali dia menghela nafas. Tingkahnya sudah seperti Pak Rais, guru fisika kami.

“Hmm …. , kita akan masuk program inti, program hifdzul quran …. ,” Ujarnya masih sambil mondar-mandir. Aku duduk menyimak.

“Sebenarnya aku ingin menerapkan metode menghafal seperti yang diterapkan di pesantren. Ada sabaq, sabqi, manzil, muraja’ah …. , “ Kali ini Nandar tampak menggigit bibir. “Tapi setelah kupikirkan secara saksama …. ,” gumamnya lagi. “Kita akan menggunakan metode yang sedikit berbeda. Metode yang istimewa.”

Sambil berkata seperti itu, Nandar berjalan menghampiri rak buku, lalu mengambil sebuah buku berwarna hijau tua yang sangat tebal. Mendadak aku merasa cemas. Apa itu?

“Ini dia,” Ujar Nandar sambil memberiku buku tebal itu. Aku langsung membaca judul yang tertera di sampul buku. Tertulis di sana : TAFSIR IBNU KATSIR. Apa ini?

“Itu buku tafsir Alquran,” Nandar mencoba menjelaskan. “Karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah. Di situ tercantum penjelasan ayat-ayat Alquran. Makna, kandungan, asbabun nuzul, hadits-hadits yang berkorelasi, dan lain sebagainya. Kau diharuskan membacanya.” Apa?

“Tapi ini tebal sekali, Nandar.” Ujarku.

“Semampu kau saja. Kau tahu kenapa aku menyuruhmu membaca buku itu?” tanya Nandar. Aku menggeleng.

“Begini. Sederhananya …. , aku ingin kau benar-benar memahami ayat-ayat Alquran yang kau hafal.” 

“Oh …. ,”

“Aku tidak ingin kau hanya sekedar menghafal saja, tapi harus tahu makna ayat, tafsirnya, bahkan sebab-sebab ayat tersebut turun. Percayalah, ini akan sangat membantu. Dengan cara memahami urutan-urutan asbabun nuzul, kisah-kisah, dan penjelasannya. Metode telling story. Dengan metode ini, kau diharapkan bisa memahami ayat Alquran dengan sebaik-baiknya pemahaman.”

“Oh …. , siap.”

“Selesai menghafal satu surah, kau harus membaca tafsir surah tersebut dari buku, bila perlu kau hafalkan. Begitu alurnya. Nah …. , “ Nandar bergumam lagi. “Sekarang …. , aku akan memberimu beberapa tips jitu untuk bisa menghafal Alquran dengan cepat. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Aku mengangguk antusias.

Nandar mengangkat tangan lalu mengancungkan jari telunjuknya, “Pertama. Jangan banyak makan, jangan banyak tertawa. Itu semua bisa mengeraskan hati.” Aku tertegun. Benarkah?

“Kedua …. ,” Lanjut Nandar lagi. ”Sebisa mungkin jauhkan telingamu dari mendengarkan musik. Rutinkan menyimak bacaan Alquran. Karena musik dan Alquran dua hal yang berbeda. Apalagi musik-musik  vulgar, sangat jauh. Antara langit dan sumur bor. Tidak connect. Hati-hati,  bisa-bisa pikiranmu jadi hang karenanya.” Aku bergidik. Seberat itukah?

“Kemudian …. , hindari kontak visual dengan wanita, lawan jenis. Meskipun …. , ini mungkin berat. Remaja seperti kita ini kadang tidak bisa mengontrol diri. Cobalah untuk menundukkan pandangan. Kalau tidak, bisa ludes hafalanmu. Imam Syafi’I rahimahullah, pernah hilang hafalannya karena melihat betis seorang wanita yang tersingkap angin di jalan, secara kebetulan. Itu hanya betis. Tidak tahu kalau yang di atas itu.” Aku mengangguk.

“Meskipun sebenarnya …. , “ Nandar masih terus bersuara, “Terkadang hal ini menjadi sangat dilematis. Untuk kita di zaman ini. Di saat kita berusaha menundukkan pandangan demi menghindari kontak mata dengan cewek-cewek, eh ternyata mereka pakainya celana pendek.  Jadi kena juga, deh.” Aku menangguk lagi. Masuk akal.

“Intinya sebenarnya …. , jauhi maksiat. Karena Alquran itu cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan.”

“Siap.”

Nandar berdiri lagi. Lalu mondar-mandir lagi.

“Nah …. , sekarang aku akan memberimu tips menghafal Alquran yang paling jitu.”

“Tips yang paling efektif.” Oh. Apa itu?

“Tips yang pernah diterapkan ulama sekaliber Imam Syafi’i. Sebelum terkenal sebagai ulama yang kuat hafalannya, beliau rahimahullah sempat kesulitan dalam menghafalkan pelajaran, lalu akhirnya beliau berhasil setelah melakukan metode ini.” Oh, hebat sekali. Apa sih?

“Tipsnya yaitu …. , “

Apa sih? Aku semakin penasaran.

“Yaitu …. ,”

Ayolah! Jangan membuatku geregetan.

“Yaitu …. , ”

Arrgghh!!!

Nandar kemudian mendekatiku, lalu menghela nafas sejenak. Sambil berbisik akhirnya dia berbicara,

“Tipsnya yaitu …. , “

Uh. Benar-benar. Aku mencoba menahan rasa kesal, "Tipsnya apa, Nandar?"

"Ini dia .... , "

Dengan tatapan serius Nandar memegang pundakku, lalu berujar,

“Mulailah menghafal, Anak Muda.”

[30] Hari Untuk CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang