"Raihan delapan puluh tiga poin, atas nama Febriasnyah Rachim."
Aku hanya berdiri terpaku. Tidak bersuara, tidak bergerak. Spechless. Padahal hampir semua orang menoleh ke arahku. Oke, aku ingin sekali terlihat normal saat menanggapi pengumuman itu, tapi tubuhku benar-benar tidak bisa diajak berkompromi.
Aku masih 'agak sangat sedikit' tidak percaya.
Hah??? Bagaimana bisa???
Aku di posisi pertama???
Impossible!!
Di tengah riuh manusia, Nandar yang ada di sampingku angkat suara, "Aku punya satu teori yang masuk akal untuk masalah ini."
Aku menoleh. Maksudnya?
"Juri punya mekanisme penilaian tersendiri. Dan kita tidak tahu seperti apa itu."
"Hafalan Raihan memang sempurna, tapi tidak sebagus yang kita kira. Menurutku, Raihan menghafal Alquran dengan cara meniru qari, menggunakan metode listening, lalu men-copy paste semua murottal Mishari Rashid yang didengarnya secara mentah-mentah." Lanjut Nandar.
"Efektif, tapi agak beresiko. Raihan akan kesulitan menghafal saat harus merubah nada. Dia baik, tapi kurang benar. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya. Bacaannya merdu, tapi tajwidnya masih belum sempurna. Dia hanya fokus pada keindahan, dan mengabaikan kaidah makrajul huruf. Dan soal kaidah tajwid .... , kau lebih baik dari Raihan, kalau mau jujur." Lanjutnya lagi.
Oh, terima kasih atas pujiannya, Nandar.
"Dan sepertinya, aspek tajwid jadi indikator penilaian yang paling utama di lomba ini. Kau beruntung, Nino." Nandar mencoba menjelaskan apa yang terjadi.
Aku mengangguk pelan. Well, mungkin nadaku tak seindah Raihan, tapi untuk penyebutan huruf-huruf, aku sedikit lebih unggul. Begitu pasti maksud Nandar. Belajar mengajiku selama ini ternyata tidak sia-sia. Aku tersenyum.
Nandar ikut tersenyum sambil menepuk pundakku, "Yah, ternyata kau hebat juga. Aku akan jujur padamu sekarang, Nino. Bukan bemaksud mendahului takdir. Tapi untuk lomba ini, kau punya peluang untuk jadi juara." Rasanya melegakan sekali mendengar kalimat itu.
Tapi aneh. Aku seperti tidak terlalu bahagia. Aku senang, tapi tidak sampai pada tahap "ingin melakukan selebrasi seperti pemain cadangan yang mencetak gol krusial di menit-menit perpanjangan waktu". Rasa senangku lebih ke arah 'lega', karena tekanan di atas panggung tidak berhasil mengacaukan hafalanku. Itu saja.
"Dan, siapkan fisik dan mentalmu untuk tahap selanjutnya." Ujar Nandar.
"Aku tahu, jadi––"
Ucapanku terpotong suara mic yang kembali menggema. MC kembali muncul di atas panggung.
"Nah, sekarang .... , kita akan melangkah babak selanjutnya, tahap wisuda akhir. Untuk lima peserta yang telah disebutkan namanya di awal, silahkan menuju meja panitia di sebelah sana, untuk mengambil nomor urut." Demikian MC memberi penyampaian. Nomor urut lagi?
Aku segera menuju meja yang dimaksud MC. Raihan dan lainnya juga ikut bergerak. Sesampainya di meja tersebut, panitia memberiku secarik kertas, dan langsung menyuruhku membuka dan membaca isinya.
"Nomor lima." Ujarku saat membuka kertas. Memang itu yang tertera di sana.
Setelah pengambilan nomor urut selesai, aku kembali menemui Nandar. Yah, aku di urutan terakhir, jadi bisa sedikit berleha-leha di bawah pohon ketapang. Begitu skenarionya.
"Tidakkah kau berpikir untuk muraja'ah?" tanya Nandar saat melihatku duduk jongkok tanpa melakukan apa-apa.
"Sudah bukan waktunya lagi. Menghafal sekarang justru membuat grogi. Menurutku .... , " Aku menjawab pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Spiritual[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...