Shalat tarawih malam pertama berjalan dengan lancar. Aku sukses sebagai protokol, Barto menjalankan tugasnya sebagai muadzin dengan baik, jama’ah tumpah ruah. Haji Fahmi—Ketua RT kami sekaligus ayah Nandar—membawakan ceramah singkat saja. Adapun Nandar, sesuai janjinya, dia membaca surah-surah juz 30 saat memimpin shalat. Aku benar-benar suka hidup seperti ini.Selesai shalat tarawih, kami melanjutkan pelajaran. Sebelum mulai, Nandar menyuguhiku beberapa kue sisa iftar maghrib tadi, beserta minuman kemasan yang bertumpuk-tumpuk. Untuk makanan berat, akan segera dieksekusi setelah pelajaran selesai. Kurasa aku sudah harus mulai membiasakan diri dengan kata“kenyang sekali”.
Lebih dari itu, aku ingin tahu bagaimana penilaian Nandar atas kinerjaku sebagai protokol malam ini. Jadi aku segera bertanya,
“Nandar.”
“Apa?”
“Bagaimana menurutmu saat aku di mimbar tadi? Bagus, kan? Terlihat tidak gugup, kan?”
Nandar tampak acuh tak acuh. Mulutnya masih dipenuhi bolu gulung.
“Mau jawaban jujur atau yang membesarkan hati?” Nandar akhirnya bersuara. Perasaanku tidak enak.
“Jujurlah, dan aku akan berbesar hati.” Ujarku kemudian.
“Bagus, sih.” Ujar Nandar datar. Aku tersenyum. “Kau melakukannya dengan cukup baik. Untuk ukuran orang sepertimu, tidak terbata-bata menyebut nama penceramah saja sudah jadi satu kesyukuran.” Aku mengkerut.
“Yah, namanya juga pertama kali. Ke depan pasti bisa lebih baik, aku yakin.” Kenapa Nandar tiba-tiba jadi positif dan santun seperti ini?
“Oh iya. Bagaimana? Tadi kau menyimak bacaanku dengan baik, kan? Bagaimana menurutmu?” tanya Nandar.
Aku mengangkat bahu, “Yah, terdengar bagus. Ternyata juz 30 tidak serumit yang kubayangkan.”
Nandar menggeleng sambil tertawa, “Yang kubaca tadi bukan juz 30, tapi surah Al Baqarah. Ketahuan sekali kau tidak tahu apa-apa tentang juz 30.” Sial, aku kena tipu.
“Kau benar-benar tidak punya harapan, ya.” Lanjutnya lagi sambil meraih kue lapis di piring. “Oh iya. Aku punya tips untukmu, tentang mendengarkan bacaan Alquran itu. Tips jitu. Ini tentang adab, sih, sebenarnya. Saat Alquran dibacakan, yang harus kau lakukan adalah …. ,” sambil menggumam Nandar menoleh ke belakang, “Coba ambil satu Alquran di rak. Yang ada terjemahannya.”
“Oke.” Aku segera berdiri dan menuju rak. Aku mengambil satu Alquran berukuran kecil.
“Terus?” Tanyaku setelah duduk kembali.
“Buka Surah Al A’raf, baca ayat dua ratus empat.” Aku menggangguk, “Baca terjemahannya saja, kan bacaanmu masih buruk.” Iya, iya.
Akhirnya kutemukan ayat yang disebutkan Nandar. Aku mulai membaca, “Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” Kuangkat wajahku. Nandar menatapku sambil tersenyum.
“Paham?”
“Tidak terlalu, sih …. . Emmm …. , mungkin maksudnya …. , kalau orang membaca Alquran, kita harus mendengarkan dan diam, begitu?” tanyaku hati-hati. Masalah adab.
Nandar sumringah, “Tepat. Saat Alquran dibacakan, di luar ataupun dalam shalat, maka penuhi dua instrumen itu, dengar dengan baik, dan diam menyimak. Pasang telinga, hadirkan hati, renungi ayat-ayat itu, tinggalkan seluruh perkara yang bisa melalaikan. Itulah hak Alquran atas diri-diri kita, dan itulah kewajiban kita terhadap Alquran. Dan kau tahu ...., Nino?"
![](https://img.wattpad.com/cover/138854974-288-k100618.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Espiritual[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...