Denmark

2.1K 355 61
                                    

Skenario hari ini sederhana saja. Pagi-pagi sekali aku menuju sekolah untuk bertemu Pak Makruf. Begitu bertemu, langsung kuutarakan keinginanku untuk mundur dari tim. Pak Makruf tampak kesal mendengarnya. Tapi semua sudah diantisipasi. Seketika itu Saram muncul. Pak Makruf terkejut, Suwarsih memekik tertahan (dasar penakut), mata Arman terbelalak.

“Saya memang mundur, Pak. Tapi saya juga sudah menyiapkan pengganti …. , “ ujarku dengan suara yang dilembut-lembutkan. Rasanya menyenangkan sekali melihat respon Suwarsih.

“Saram Husain, Pak. Dia bersedia.” Lanjutku. Saram tersenyum, mengangguk hormat pada Pak Makruf.

“Oh …. , Iya.” Pak Makruf tampak serba salah. Arman menutup wajahnya.

“Jadi Pak, saya resmi dikeluarkan dari tim ini …. , “ Ujarku sambil menahan diri untuk tidak tertawa. “Digantikan Saram Husain.”

“Oh …. , Iya.” Kembali Pak Makruf menjawab singkat.

“Kalau begitu, saya pamit undur diri, Pak.” Kali ini dengan suara yang sangat sopan. Menyenangkan sekali rasanya bisa bersikap politis.

“Oh …. , Iya.”

Aku melangkah menuju pintu keluar. Sebelum meninggalkan ruangan, sekilas kulirik Pak Makruf dan yang lainnya. Awkward. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya tim itu di lomba debat nanti. Satu guru muda, dua siswa kutu buku, dan seorang pemuda berjiwa brutal. What a nice combination. Mungkin akan ada banyak kejutan di sana. Tim Dinamit. Mereka sepertinya cocok dengan nama itu. Yah, semoga saja semua berjalan dengan lancar. Debat itu dan lomba menghafalku.

Samoga saja.

***

Agenda selanjutnya, menemui Nandar. Rasanya tidak mengenakkan memang, setelah beberapa hari mencoba menjauh darinya, sekarang aku harus kembali meminta tolong. Naifnya aku. Tapi setelah diberi beberapa motivasi (atau mungkin banyak) oleh Barto, akhirnya kuberanikan diri untuk bertatap muka dengan Nandar.

Sore ini aku ke masjid. Waktu shalat Ashar telah tiba. Aku mengambil posisi dekat mimbar. Nandar melihatku, tapi tidak berkomentar apa-apa. Mungkin dia sudah tahu maksudku. Selesai shalat, Nandar tidak beranjak pulang. Dia tetap duduk bersila sampai semua jama'ah meninggalkan Masjid. Tuh, kan. Dia sudah tahu.

Aku akhirnya mendekatinya. Dengan suara yang bernada agak bersalah, kuceritakan semua yang terjadi selama dua hari ini. Tentang Raihan, debat, Pak Makruf dan Saram. Semuanya. Nandar menyimak sambil lalu. Dia seperti tidak mau melihat wajahku.

“Jadi maksudku …. , kau mau kan, kembali mengajariku mengaji?” tanyaku dengan suara yang agak memelas.

“Menjadi mentorku dan guruku? Suksesor dan penggerak di balik layar kesuksesanku menghafal Alquran juz 30 itu? Kau mau kan? Sekarang aku siap, Nandar. Aku siap dengan semua jenis kurikulum yang kau tawarkan. Seaneh apapun itu. Aku akan patuh. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berhenti.”

Nandar tampak acuh tak acuh.

“Aku akan jadi murid yang beradab, Nandar. Aku janji. Aku— “

“Tidak semudah itu!!”

Nandar memandangiku dengan ekspresi wajah jengkel,

“Tidak tahu diuntung!! Sudah diajari baik-baik malah kabur! Tidak beradab! Melanggar kesepakatan secara sepihak! Hati-hati! Itu salah satu sifat orang munafik!!!”

Aku membuang muka.

“Kau kira aku tidak jengkel apa?? Aku sudah mengorbankan waktuku untuk mengajarimu!! Dan kau menganggap semua ini main-main!! Datang dan pergi sesuka hati!! Aku sudah capek-capek mem-print time schedule itu, tapi malah kau hilangkan! Kau memang manusia teledor, Nino!! Tidak punya tekad! Mental kerupuk!! Mudah terombang-ambing!!” Hardiknya lagi.

Aku menunduk. Well, Nandar marah padaku adalah hal yang wajar. Jadi duduk manis mendengarnya mengomel adalah satu-satunya opsi. Oke, kurasa masalah time schedule yang hilang itu tidak perlu dibesar-besarkan.

“Aku sudah mencoba melupakan kejadian itu, Nino. Berpura-pura kalau program belajar mengaji itu tidak pernah terjadi. Hanya hoax. Kau benar-benar berbakat membuat orang kena darah  tinggi, Nino.” Nandar menurunkan nada suaranya. “Dan sekarang kau datang lagi! Kau pikir aku ini siapa?”

“Ya …. , makanya sekarang aku mau minta maaf.”

“Kau kira semudah itu??”

“Aku minta maaf.”

“Aku maafkan. Tapi masalah belum selesai!!”

“Aku tahu. Makanya aku minta diajari lagi.”

“Aku tidak mau. Aku tidak mau peduli dengan masalahmu.”

“Tapi …. ,”

Nandar memotong. “Tidak ada tapi-tapi! Kau mau ikut lomba menghafal kek, mau menangkap capung,  mau bermain ping-pong, mau menanam rambutan, itu bukan urusanku!! Aku sudah selesai! Aku tidak mau dikibuli lagi! Aku capek mengurusi teman seperti kau! Tidak punya pendirian!! Bagaimana jika seandainya nanti ada masalah lagi? Terus kau mau mundur lagi?? Aku tidak mau!! Waktuku sangat berharga! Dan tidak akan kuhabiskan bersama orang yang labil seperti kau! Oh iya, sampai di mana materi kita?”

Mad.” Jawabku.

“Oke. Kita lanjutkan.”

[30] Hari Untuk CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang