Besoknya aku langsung ke sekolah. Barto yang sedang menganggur tidak tertarik untuk ikut. Rantai 'kemalasan' telah menguasai dirinya. Jadi aku benar-benar sendirian hari ini.
Well, ke sekolah dengan status sebagai anak kelas XII, maka orang-orang sedikit banyak akan memperhatikanmu. Tapi hal itu tidak berlaku untukku, karena, yah, aku tipikal siswa yang biasa-biasa saja. Lagipula aku punya bakat khusus menyembunyikan hawa keberadaan diri. Jadi aku bisa bebas berkeliaran di depan batang hidung siapapun. Oke, aku tidak menyinggung apapun soal jadi pencopet.
Aku baru saja melewati gerbang sekolah dan segera menuju gedung bagian Ubasis, tapi tiba-tiba Pak Makruf muncul dari arah kantor. Mata beliau langsung tertuju padaku, dan tentu saja aku tidak bisa berpura-pura mengacuhkannya. Aku buru-buru mendekati Pak Makruf. Kupasang ekspresi wajah canggung. Beliau berdiri sambil bercakak pinggang.
"Nino? Ke sekolah ada urusan apa?"
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, "Em .... , anu, Pak. Itu ..... , ada urusan sedikit."
Pak Makruf bertanya lagi, "Urusan apa?"
"Emm .... , itu .... , mendaftar lomba .... ,"
"Lomba apa?"
Hei, bukankah Nina bilang Pak Makruf sudah tahu aku akan ikut lomba hafalan Alquran?
"Emm ..... , itu, Pak. Lomba menghafal Alquran, juz 30." Jawabku.
Pak Makruf manggut-manggut.
"Oh .... ,"
"Nina adikmu sudah bilang kemarin. Tadinya Bapak kira kamu bercanda."
Aku mencelos. Bercanda sama guru? That's not funny, Man.
"Jadi kamu serius?"
Tidak, Pak. Ini bohong. Karena kebetulan sedang bulan April.
"Iya, Pak."
Pak Makruf kembali manggut-manggut.
"Oke .... , padahal tadinya Bapak berpikir kamu bisa ikut lomba debat Bahasa Inggris. Tapi tidak disangka, ya. Kamu malah ambil lomba menghafal itu."
"Iya, Pak." Hei, apa maksud beliau tidak disangka?
"Sebenarnya Bapak sangat berharap kamu bisa gabung tim debat. Team needs you. Kamu hampir setengah kekuatan dari tim itu sendiri, Nino."
Ayolah, Pak. Jangan merayuku untuk mengkhianati resolusi besarku.
"Kamu tidak mau mempertimbangkan kembali?"
"Kamu akan sangat berperan dalam tim, Nino."
"Kamu akan jadi pahlawan."
Dengan hati-hati aku bersuara, "Maaf, Pak. Saya tidak bisa .... , saya memang ingin sekali ikut lomba menghafal itu .... ,"
Pak Makruf tidak merespon. Lalu seberkas ide muncul di kepalaku.
"Kenapa tidak minta Barto saja, Pak? Saya kira dia bisa bergabung di tim debat. Bahasa Inggrisnya kan mantap. Bahkan lebih hebat dari saya, kok, Pak." Oke, kalimat terakhir ini hanya majas hiperbola. Faktanya aku superior.
Pak Makruf mendesah,
"Itulah masalahnya, Nino. Barto juga tidak bisa. Karena dia ikut lomba Cepat Tepat."
Hei!
Pak Makruf menyilangkan tangan di dada,
"Entah, ya. Apa yang ada di pikiran kalian. Kamu ikut lomba menghafal Alquran, Barto ikut Cepat Tepat. Padahal Bapak sudah mempersiapkan semuanya dari awal. Memberi kalian jam pelajaran tambahan waktu kelas sepuluh. Karena Bapak memproyeksikan kalian untuk saat-saat seperti ini. Bapak menantikan momen-momen ini, momen di mana kalian membuktikan diri."

KAMU SEDANG MEMBACA
[30] Hari Untuk Cahaya
Spiritual[Selesai] "Nandar." "Apa?" "Aku mau jadi penghafal Alquran." "Itu akan sangat sulit." "Aku tahu. Makanya juz 30 saja." "Kenapa tiba-tiba?" "Ceritanya panjang." "Jangan cerita." "Berapa peluangku?" "Estimasi?" "Tiga puluh hari." Ini kisah anak SMA in...