Janji

127 16 2
                                    

He's there, smiling for ear to ear. Meraih tanganku dan menciumnya cepat. Membuat kepala dan dadaku sesak akan pertanyaan. Apa yang terjadi barusan? Jiwa ku yang naif ini masih bertanya – tanya. Daniel masih sibuk dengan makanan didepannya, seakan tidak mempedulikan responku akan perbuatannya barusan. Tangan ku masih menggantung seakan menunggu seseorang untuk menurunkannnya.

"Udah diturunin sana tangan lo!" bahasanya berubah, tapi tatapannya belum berpindah.

"Lo ngapain gue barusan, Dan?" tanyaku dengan berani, berharap tidak terdengar kaku ataupun aneh.

"Nyium tangan." Jawabnya dengan enteng lalu meraih tanganku lagi sebelum melirik dan berkata, "Mau dicium lagi?" dengan cepat kusingkirkan tanganku dan kembali makan mi yang sudah mulai dingin. Daniel cuman terkekeh selagi aku memalingkan pandanganku agar tak fokus ke arahnya. Sejak kapan dia jadi se gombal ini? apa gombal namanya? Atau, romantis? Kayanya bukan.

Malam ini, di warung mi tempat malam minggu pertama kami berlangsung. Aku dan Dani duduk berhadapan di kursi di pojok didekat jalan. Kali ini aku yang membawanya kesini, setelah berkali – kali memantapkan diri akhirnya aku berani untuk mengirim chat tanpa perlu menyesalinya diakhir nanti.

"Dan" panggilku pelan.

"hm" balasnya seperti biasa.

"Nanti kalo aku pulang dari Jerman, kamu mau aku kasih apa?" Daniel terlihat berhenti menyedot es teh manis di gelasnya. Lalu melirikku tajam.

"Kamu, jadi berangkat?"

"Menurut kamu?" tanyaku balik. Jujur, aneh rasanya membicarakan hal ini ke Daniel yang jelas – jelas merengek gak karuan saat dengar beritanya pertama kali.

"Kamu kalo berangkat, langsung kuliah disana?" Aku mengangguk meskipun masih ragu akan kata – katanya.

"Emang kenapa? Kan udah telat juga kalo aku mau kuliah disini sekarang." Kataku memastikan.

"Berangkat kapan kamu?" Daniel mulai membanjiriku dengan pertanyaan.

"Masih lama, tahun depan. Pertengahan tahun?" jawabku sambil mengira – ngira batas waktu yang tersisa. Mata Daniel terlihat bergetar. Tangannya terus menyentuh pipi dan bibirnya. Pandangannya teredar ke berbagai arah dalam waktu yang cepat. "Dan, gausah terlalu dipikir gitu dong."

"Tapi aku sayang sama kamu." Sebuah kalimat akhirnya terluncur dari mulutnya. Lidahku mendadak beku, rasanya bagaikan tergigit disela – sela kita asik ngobrol. Kepalaku masih mencoba mencerna kata – katanya, lalu perlahan menerjemahkannya dan mencari pasangannya di perasaanku juga. "Aku gamau jauh dari kamu." Lanjutnya sambil menatap kearahku dengan tangan yang masih menempel di sisi samping wajahnya.

Ku coba menghela nafas panjang, ku tegakkan posisi duduknya. Lalu kutatap juga kedua matanya yang menatapku tajam. Mencoba membuka mulutku untuk menjawab pernyataannya. Rasanya canggung untuk mengakui semua, this is a new thing for me.

"Aku juga gamau jauh dari kamu." Akhirnya kata – kata itu terucap dari mulutku. Wajahnya menatapku aneh, memancarkan antara ekspresi senang dan bingung.

"Aku ga akan cegah kamu pergi. Aku tau ini pilihan kamu. Dan aku gamau jadi penghalang mimpi kamu yang udah kamu dambakan dari dulu." Ucap Daniel dengan tatapannya yang sudah berubah menjadi sesuatu yang menenangkan. Aku membisikan kata – kata terima kasih disela hembusan nafasku.

"Makasih udah ngertiin aku." Kataku sambil memasang senyum ke arahnya.

Malam itu, setelah makan mi. Dani mengendarai motornya ke arah daerah yang ku kenali. Perjalanan kita berakhir di taman didekat gedung serbaguna kampusnya. Ditemani lampu – lampu yang masih menyala terang. Kita ngobrol di bawah pohon yang menghadap ke pintu masuk gedung.

"Ngapain kesini, Dan?" tanyaku begitu Daniel melepas helmnya dan duduk dibangku panjang. Tangannya lalu terangkat menunjuk ke arah gedung didepan. Lalu tersenyum.

"Tahun depan, aku bakal lulus dan foto sama kamu didepan situ. Sebelum kamu berangkat, aku mau kasih kamu kelulusan buat hadiah ke kamu." Terangnya dengan mata yang berbinar – binar. Hati ini berdegup kencang ketika mendengarnya dengan mantap mengutarakan janjinya buat aku, seorang Ayana. Dengan cepat aku mengangkat jari kelingkingku.

"Janji?" tanyaku. Tak lama kemudian disambut dengan kaitan kelingking Daniel pada kelingkingku. Matanya ikut tersenyum saat menoleh ke arahku. Rasanya sinar bulan sudah tidak se terang dahulu.

"Ay" panggilnya pelan. "mau kan nungguin aku lulus?"

"Pasti. Aku bakal dukung apapun keputusan kamu." Jawabku yakin. Sambil mempererat kaitan kelingkingku.

"Aku mau minta satu hal lagi?" pandangan Daniel menatap tajam kearahku, seakan ingin mengatakan sesuatu yang serius. Aku coba membenarkan posisi dudukku.

"Apa?" Daniel menghela nafasnya pelan. Kedua tangannya meraih kedua tanganku, lalu menggenggam keduanya erat. Matanya menatap dalam - dalam kearah ku.

"Kamu mau nggak jadi punya aku?"

Dear name | 101Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang