Reno

297 32 0
                                    

Gue gatau harus cerita ini ke siapa, gue gatau gue harus marah dan nyalahin siapa. Sekarang, didekat gue, Ayana terduduk manis sambil makan mi pangsit dengan cantik seperti biasa. Dengan kesal gue mencoba memukul batin gue sendiri, apa cuma jaket yang bisa gue kasih ke dia secara terang - terangan? Kenapa hati gue gabisa?

Gue menatap Ayana dengan hikmat tanpa mau melewatkan satu detik pun karena pastinya kalo makanannya udah abis, dia bakal dibawa pergi sama Daniel.

Gue merasa kaya anak kecil, yang awalnya gue mau tidur - tiduran dirumah, setelah nguping pembicaraan mereka dikamar. Gue memutuskan untuk keluar dan mencari sebuah acara, lebih tepatnya gue sengaja bikin acara sendiri.

Gue takut mengakui kalo gue jatuh sama Ayana, berkali - kali gue jatuh buat dia, berkali - kali juga gue ga yakin sama diri gue sendiri. Karena hati gue mau milikin dia tapi otak gue teriak dengan kencangnya kalo kenyataannya Daniel juga naksir sama Ayana dan Ayana naksir sama Nata. Gue gaboleh egois.

Mungkin kalian semua bilang gue brengsek karena udah bawa Reyna buat jadi alasan ngikutin Ayana dan Daniel menikmati malam minggu mereka. Tapi jujur, seberat itu gue buat ga mikirin Ayana. Hampir setiap hari gue bilang ke diri gue, gue gabole jatuh buat Ayana! Mungkin hati gue lagi centil aja.

Dengan sengaja gue mengeluarkan sebatang rokok dan berniat menyalakannya. Yang bener aja, Ayana dengan cepat melarang gue buat ngelakuin itu. Cuma Ayana yang bikin gue merasa spesial kalo diperhatiin, apa dia ngerasa gitu juga setiap dia gue perhatiin?

Hall Amara, setahun yang lalu.

"Haduh padahal bukan gue yang kewong tapi kok gue yang deg - deg ser?!" Ucap Javaas sambil terus menggosokan kedua telapak tangannya ke celananya.

"Aelah bang, ini pengantinnya belum juga keluar! Jangan gitu dong bang!" Timpal Bian yang terus menerus berjinjit memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

"Elah, pantes ya pada jomblo! Dateng ke kawinan aja udah heboh gini. Gabawa gandengan lagi!" Ejek Reno yang tadinya bersandar didekat balok es yang sudah diukir rapi di tengah ruangan. "Norak!"

"Brengsek lo, On!"

"Eh eh ini para gentleman kenapa ribut? Gaada gandengan ya? Tunggu ya abis ini gandengan gue nongol! Ay!" Lalu Kaivan melambaikan tangannya ke arah pintu masuk. Kearah seseorang yang menggunakan dress warna peach panjang dan rambut yang digelung berantakan dan dihiasi bunga.

Ayana, berjalan dengan manis menghampiri mereka. Reno cuma bisa menelan ludah dan menahan keras hatinya yang berdetak cepat. Dengan cepat Javaas melayangkan tangannya ke kepala Kaivan. "Minta di service ya ini otak!"

Hari itu, pernikahan putra sulung tetangga kos - kosan. Mereka datang serempak karena undangan spesial yang diantar langsung oleh tuan rumah. Dan Ayana dan Reno yang ditunjuk sebagai penyambut tamu.

"Loh? Yang lain kemana bang?" Tanya Ayana begitu berhenti didekat Kaivan. Merapikan ujung dressnya yang berantakan.

"Nata sama Daniel masih di jalan. Yang lain, tuh! Udah ngantri makanan!" Jawab Bian sambil menunjuk ke arah Brian, Rama, Raka, Dewa, dan Rangga yang berbaris rapi dengan piring ditangan mereka.

"Ehem, yuk kedepan Ay! Udah dipanggil kita." Tanpa basa - basi Reno menarik tangan Ayana kearah pintu masuk dan melambaikan tangannya dengan licik kearah teman - temannya.

"Brengsek si Reno, mana si Ayana cantik banget hari ini!" Gumam Kaivan melihat punggung Reno dan Ayana yang berjalan menjauh.

Hari itu, hari dimana Reno mulai mengenal Ayana lebih dekat. Dan mulai mengagumi penampilannya yang cantik, sangat cantik. Tiba - tiba..

"Bang, bantuin dong!"

"Hm?" Ayana menunjuk kearah belakang lehernya.

"Ini kalungnya nyangkut!" Lanjutnya sambil membalikkan tubuhnya memunggungi Reno. Detak jantung Reno berdetak dengan cepat, Reno ingin keluar dari gedung ini dan berteriak dengan keras kalo bisa.

Reno mencoba mengatur detak jantungnya, lalu menghela nafasnya panjang. Tangannya mulai merapikan rambut Ayana yang digelung sedikit berantakan, mencoba mencari kalung yang dimaksud. Dilepasnya pelan kalung itu.

"Bang?"

"Apa?" Jawab Reno polos sambil memberikan kalung itu ke hadapan Ayana.

"Kok dilepas?"

"Katanya nyangkut?" Ayana tersenyum kecil mendengar jawab Reno lalu kembali membalikkan badannya.

"Pasangin lagi bang! Kan belum selesai acaranya." Rasanya Reno ingin memukul kepalanya sampai pecah karena sadar bahwa pertanyaannya barusan terdengar sangat bodoh. Dibukalah kaitan kalung itu dengan pelan, lalu mengalungkannya ke leher Ayana. Reno menikmati dengan benar pemandangan yang ada di depannya.

"Kayanya lama - lama gue bisa mati kalo kaya gini, Ay."

"Hm?" Tanya Ayana heran sambil membenarkan dressnya.

"Bahkan leher lo juga secantik itu."

Dengan pelan gue makan mi pangsit yang sudah mulai dingin didepan gue. Setelah mereka pergi, gue merasa udah gaada yang bisa gue lakuin lagi. Rasanya pengen cepet pulang dan menanyai banyak hal ke Daniel.

Reyna masih makan dengan lesu dihadapan gue, kayanya ini bakal jadi yang terakhir buat gue dan Reyna. Gue gabisa jadiin dia alasan buat nemenin gue setiap gue butuh hiburan. Dan gue juga takut kalo dia sampe ada rasa ke gue, rasa yang pastinya ga bisa gue balas dengan rasa yang setimpal.

Setelah selesai makan, gue memilih buat ngikutin apa yang Reyna mau, dia mau dianter pulang. Meski dalam hati gue tau dia pastinya ngambek karena tingkah gue di warung tadi. Tapi karena gue gamau bikin dia bosen dan marah lebih parah, jadi gue putuskan buat nganter dia ke rumahnya tanpa mampir kemana - mana.

"Makasih bang, aku masuk duluan ya." Pamit Reyna sambil menyerahkan helmnya.

"Rey." Akhirnya gue memberanikan diri buat narik tangannya yang mulai menjauh.

"Hm?"

"Makasih ya."

"Santai aja bang." Dan gue masih tertunduk. Gue takut ngomong ini ke Reyna, gue gamau ngecewain dia.

"Maaf kalo nanti kedepannya gue gabisa jalan sama lo kaya gini lagi."

"Hm? Kenapa?" Pertanyaannya bikin gue semakin susah pergi, gue benci ngegantungin pertanyaan dia, tapi disisi lain gue pengen cepet pergi dari sini.

"Makasih ya buat hadiahnya selama ini. Makasih juga udah bantuin Tavisha. Pokoknya makasih banyak buat semua." Cuma itu yang bisa gue ucapkan malam itu. Dan Reyna cuma memaksakan senyum kecil terlukis di mulutnya.

"Hati - hati di jalan bang." Dengan pasrah gue langsung pamit tanpa basa - basi. Pulang dengan pikiran yang masih berantakan, berharap cerita Daniel nanti bisa merapikan pikirannya. Gue berharap Daniel dan Ayana tidak sedang bergembira ria diluar sana.

Dear name | 101Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang