Sakit

105 6 0
                                    

"Rey, bangun Rey." Gue merasakan guncangan yang amat sangat menganggu, bisa ga sih gue memulai hari dengan suasana yang tenang?

Suara lantang Arta mampu membuat mata gue terbuka dengan cepat. Menyaksikan tampangnya yang membuat gue ingin bunuh diri. Tampang usilnya yang mungkin setelah ini akan menanyai gue, "Jadi tidur lo, Rey?"

"Awas lo sampe ga penting." Ancam gue seraya bangkit dari posisi tidur. Lalu perlahan merapikan rambut gue yang pastinya acak – acakan.

"Nih, dari gue." Gue meliriknya seakan tak percaya. Gimana ceritanya, seorang Arta yang cuek bebek tiba – tiba ngasi obat ke gue?

"Cie, kesambet apa lu?" ledek gue seraya meraih kresek hitam yang tergantung di jari telunjuknya. Dia melangkah mendekati pintu, sebelum keluar, dia menoleh ke arah gue singkat.

"Makan tuh cinta ampe sekarat." Gatau kenapa nada bicaranya terdengar penuh emosi. Tapi begitu pintu ditutup, gue balik bodo amat.

...

Gue menghembuskan nafas panjang begitu menutup pintu kamarnya. Andai aja hari ini mama gaada dirumah, bisa gue habisin jam sarapan buat ngomelin Reyna. Iya, Reyna yang semalem nangis ditengah tidurnya sambil ngerengek manggil nama orang dengan randomnya.

Ya sebagai manusia normal dan lelaki tulen, gue bisa nebak sih apa yang bikin kakak gue yang melankolis abis itu pulang ke rumah dengan baju yang basah, make up luntur yang memperlihatkan kantung matanya yang udah seitem ketek guru olahraga gue, dan nafas yang sesenggukan. Pastinya masalah cinta. Mana bisa kakak gue hidup tenang tanpa ada yang namanya fase putus cinta? Bukan Reyna deh namanya kalo ga punya sesuatu buat digalauin dirumah..

"Ta, kakak kamu udah bangun?" tanya ayah begitu gue melangkah ke arah dapur. Gue meliriknya singkat lalu menggelengkan kepala.

"Belom yah, katanya masih pusing. Hari ini gaada kelas juga katanya." Jawab gue, mengada – ngada.

"Udah kamu cek suhu badannya, Ta?" tanya mama ikut – ikutan.

"Masih bisa protes dibangunin dia ma, berarti masih sehat."

Setelah itu, gue kembali ke kamar buat ganti baju. Helo? Hari ini ada re run match bola semalem, dan untungnya bang Reno dengan baiknya nawarin gue nonton bareng di rumahnya. Setau gue, bang Reno nge kos di tempat Ayana sih, jadi gue bisa santai dikit gitu kalo mau join...

Gue mengayuh sepeda gue penuh tenaga melewati pagar rumah. Aneh rasanya, gue harap Reyna ga kenapa – kenapa saat gue gaada.

Reno yang sudah selesai mandi mulai melakukan persiapan di ruang tengah. Dengan jersey yang sudah wangi dan dua mangkuk popcorn besar di atas meja, tempat nonton andalan Reno sudah siap di huni.

"Bentar gue mau ritual dulu, bro." Brian melirik sinis ke arah Reno yang sudah duduk bersila diatas sofa. "Ya Tuhan, menangin ya, amin." Ucap Reno selagi memejamkan mata.

"Shit, udah gila lo bang." Cibir Brian lalu menaiki tangga.

"Bang On!!!" muncul lah sosok bulat menggelinding dari kamarnya, gak deng. Kiplan berlari kencang ke arah sofa, lalu melemparkan tubuhnya seaakan dia sedang diving diatas kolam renang.

"Buset, Kip! Inget badan, inget." Keluh Reno yang sudah tertindih tak berdaya di bawah badan Kiplan.

"Bodo amat, sebagai teman push rank yang baik. Kita harus nonton re run bareng bang! Eh ini popcorn doang? Kerupuk gue kok gaada?"

"Lah lo ga inget? Udah pindah cuy kerupuk lo!"

"Hah pindah kemana? Perasaan kemaren masih gue makan." Reno terkekeh pelan, lalu kedua tangannya mencubit pipi Kiplan dengan keras.

Dear name | 101Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang