24

2.8K 369 62
                                    

Setelah sarapan bersama, Jaebum kembali sibuk dengan pekerjaanya. Padahal Jaebum berjanji akan menghabiskan waktu seharian bersama Jinyoung. Janji hanyalah janji, Jinyoung seakan terbiasa. Setiap ucapan manis yang Jaebum lontarkan bagai janji semu yang hanya terucap di bibir.

Jinyoung sudah bilang kan, Jaebum hanya akan datang untuk memuaskan nafsu birahinya saja.

"Pemilik hati my ass!!" Maki Jinyoung. Ia merasa kesal dan kesepian.

Jinyoung berjalan ke taman belakang, berharap dapat bertemu Paman Kim dan mengobrol. Hubungannya dengan Paman Kim lebih seperti tim and jerry tetapi setidaknya Paman Kim membuatnya tidak terlalu kesepian.

"Ugh?— Jinyoung melihat sekitar tetapi tidak melihat sosok Paman Kim sama sekali. "Kemana perginya kakek tua itu?"
Jinyoung sudah berada di tengah taman bunga milik Paman Kim, dan is memang sama sekali tidak melihat yang pemilik taman.

Jinyoung menggulung kedua lengan panjang bajunya keatas. Kemudian ia mengambil bangku kayu kecil yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Lebih baik aku memotong ranting kering daripada mati bosan." Jinyoung mengambil gunting pemangkas tanaman milik Paman Kim, ia duduk di dekat pokok-pokok bunga.

"Aku sudah mencintainya dan merawatnya dengan baik tapi tetap saja aku terluka. Sama seperti, aku sudah menyukai kalian tetapi kalian tetap melukai tanganku dengan duri." Ujar Jinyoung lirih. Ia berbicara dengan bunga mawar sambil memangkas ranting dan daun yang menggering. Jinyoung teringat ucapan Paman Kim tentang mawar dan juga Jaebum, mereka sama, indah di pandang tapi sakit ketika di sentuh.

"Tidak melihatmu beberapa hari ternyata kau sudah menjadi gila seperti Paman Kim yang suka bicara dengan tanaman-tanaman."

Jinyoung berdecak, memutar mata malas menanggapi cibiran Mark yang dengan tidak sopannya berjongkok di samping kirinya.

"Apa kau begitu kesepian sampai bicara dengan benda mati?" Tanya Mark lagi dengan nada mengejek.

"Tanaman ini benda hidup, bodoh! Namanya saja tanaman, mereka tumbuh dan berkembang, bernafas dan berperasaan!"

"Ya ampun! Paman Kim telah meracunimu dengan informasi absurd Park Jinyoung."

"Bilang saja kau tidak pernah makan bangku sekolahan Mark Tuan!"

"Hei, bangku sekolah untuk diduduki bukan untuk di makan! Hahahaha..."

"Yah!! Itu istilah. Kau menyebalkan sekali!"

Mark tertawa terpingkal-pingkal melihat Jinyoung yang marah-marah dan terus beradu mulut dengannya.

"Berhenti tertawa, kau jelek kalau tertawa Mark!"

"Issh! Aku tampan begini! Kau lebih jelek ketika mencebikkan bibir begitu...ckckck." Mark menggeleng sambil berdecak, mengejek Jinyoung memang menjadi kegiatan Mark selama ini. Tapi bedanya sekarang mereka berteman baik, tidak seperti dulu. Teman untuk saling mengejek, bercanda, tertawa dan saling menghibur.

"Gigi drakulamu menakutkan, jangan tertawa terlalu lebar!" Cibir Jinyoung.

Mark kini duduk di tanah, tanpa perduli dengan celananya yang akan kotor. Mark menemani Jinyoung membereskan ranting-rating yang telah terpotong. "Tetapi rahang tajam Jaebum lebih menggerikan kan?" Mark meniru rahang Jaebum yang menggeras pada Jinyoung. Alhasil Jinyoung tertawa lebar lalu mengikuti Mark untuk meniru rahang Jaebum ketima marah. Lalu mereka berdua saling mentertawakan, melempar guyon dan bercanda.

Setelah selesai dengan bunga dan tanaman Paman Kim. Jinyoung dan Mark masih duduk saling berdampingan, menatap ke depan dengan pikiran menerawang.

"Kemana saja beberapa hari ini Mark?"

"Aku menemui Ibuku."

Jinyoung menolehkan kepalanya kesamping, menatap wajah Mark yang tampak sangat sedih. Mark pernah bercerita sedikit tentang Ibunya yang di rawat di rumah sakit. Tapi Mark tidak pernah menceritakan secara detail.

"Aku harap suatu hari nanti bisa mengunjungi Ibumu, Mark."

"Aku juga berharap begitu Jinyoungie." Mark ikut menoleh dan tersenyum lembut. Kemudia ia menghela nafas kecil dan kembali menatap lurus ke depan.

"Jinyoungie, jika kau disuruh memilih antara Ibumu dan orang yang kau cintai, siapa yang akan kau pilih?" Tanya Mark serius, nada suaranya terdengar sedih.

"Ibu. Aku akan memilih ibuku, tapi sayang sekali aku tidak akan pernah berada di posisi untuk memilih seperti itu." Jawab Jinyoung sendu. Sejak kecil ia sudah kehilangan kedua orang tuanya, Jinyoung sama sekali tidak memiliki banyak kenangan tentang kedua orang tuanya.

"Maafkan aku Jinyoungie."

"It's okay." Jinyoung tersenyum hangat lalu ia merangkul bahu Mark dan menepuknya beberapa kali, kemudian Jinyoung melanjutkan ucapannya. "Memilih itu sulit tetapi jika menginginkan semuanya itu serakah. Ikuti kata hati lebih baik Mark. Aku tidak tahu apa masalahmu dan aku tidak akan memaksamu untuk cerita. Tetapi aku ingin kau tahu, aku akan selalu mendukungmu sebagai teman yang baik. Apapun yang menurut hatimu benar maka lakukan saja."

"Gomawo Jinyoungie, kau juga. Aku harap kau bahagia...ummm, walau aku tahu tinggal disini membuatmu tidak begitu bahagia."

Raut wajah Jinyoung berubah sedih, ia menunduk, menyembunyikan pelupuk matanya yang mulai basah. Hati Jinyoung bergejolak gelisah, ia memang tidak bahagia. Menyadari dirinya jatuh cinta pada Jaebum membuatnya merasa semakin bodoh.

"Talk to me Jie, maybe i can help you." Ucapan Mark terdengar tulus.

"Aku ingin pergi dari sini Mark. Aku ingin bebas....aku tertekan...serasa seperti terpenjara..." suara Jinyoung tercekat oleh tangisnya yang pecah.

"Apa dengan pergi kau akan bahagia? Bukankah kau mencintai Jaebum? Kau yakin Jinyoungie?"

Jinyoung mengangkat kepalanya, melihat Mark dengan air mata yang sudah berlinang di pipi. "Tapi...dia mengurungku...dia memperlakukanku seperti tahanan yang ia asingkan dari dunia luar...hiksss...Jaebum hanya memanfaatkanku untuk pemuas nafsu, dia sama sekali tidak mencintaiku Mark..."

"Jaebum mencintaimu, dia selalu melindungi dan memberikanmu yang terbaik."

"Mark, uang tidak bisa membeli kebahagian! Terlebih uang yang dia dapatkan adalah uang haram! Hikkss... uang yang ia hasilkan dari membunuh dan...hikss—"

"Jinyoungie kau sudah tahu??!" Tanya Mark kaget. Ia tidak menyangka Jinyoung tahu tentang pekerjaan Jaebum.

"Jadi benar? Hikkss...Mark, kau juga tahu kalau Jaebum seorang mafia dan juga pembunuh berdarah dingin yang melakukan bisnis illegal?!"

Mark mengangguk paksa, ia tidak bisa mengelak lagi. Lagipula Jinyoung memang sudah tahu, dan itu bukan dari dirinya.

"Mark...hikkss...apa kau menganggapku teman?"

"Tentu saja Jie!" Jawab Mark pasti.

"Kalau begitu bawa aku pergi dari sini. Tolong aku Mark, aku mohon." Suara Jinyoung memelas, kedua tangannya memegang tangan Mark. Jinyoung berusaha membujuk Mark untuk membantunya. Jinyoung sudah lelah dengan segala sikap Jaebum yang terus semena-mena dengan dirinya.

"Jinyoung, itu sulit."

"Mark pleaseee...bantu aku." Ucap Jinyoung dengan tatapan memohon dan mata berair. Mark berpikir ragu, membawa Jinyoung keluar dari rumah Jaebum akan sangat sulit. Kamera cctv dan para bodyguard yang berjaga di setiap sudut ruangan membuat ruang gerak mereka sempit.

"Jie kalau ketahuan maka nyawa kita berdua akan berakhir." Ujar Mark takut.

"Aku akan membantu kalian. Aku akan membawamu keluar dari rumah ini Jinyoung hyung."

Tbc

Love, Trouble (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang