Will's masih sepi, aku sengaja datang pukul tujuh pagi untuk shift pagi, padahal aku tahu aku tidak mendapat shift manapun. Setelah perpisahan berat kemarin—alasan terbesar aku tidak pernah mau mengunjungi Mom—aku pun menghabiskan malam sampai dini hari untuk menangis sesenggukan sedangkan Melanie mengunci dirinya di kamar lain, enggan berbicara kepadaku, karena aku memarahinya agar kami segera pulang dari sana.
Bangun dengan kepala berdenyut, aku pun bersiap dengan seragam lengkap lalu muncul di sini. Aku masih ingin pekerjaanku, dan uang yang berada di kantung itu paling-paling hanya untuk satu dua bulan saja, mengingat kami harus membayar beberapa pengeluaran lain termasuk sewa tempat dan kebutuhan makan.
Robin terkejut sewaktu hendak membuka pintu bangunan. "Reene? Apa yang kau lakukan?" Ia bertanya, dan aku sudah bangkit seraya tersenyum kepadanya. "Aku sudah beraitahu padamu, kemarin, soal liburan ingat?"
"Yah, tapi aku tidak bisa, maafkan aku."
"Reene ... ini memang usahaku, tapi ... kau haus mengikuti semua peraturannya."
"Aku tahu, jadi izinkan aku bekejar. Soal Tuan Carlo ... aku tidak peduli, aku akan coba menghadapinya, dan kumohon, jangan larang aku untuk datang. Aku dan Melanie butuh uang, dan satu-satunya yang bisa diandalkan hanya aku. Kumohon.."
Robin hanya menghembuskan napas, seraya mulai memutar kuncinya.
"Kumohon padamu." Setelah beberapa saat, aku bahkan merosot di lantai sampai Robin langsung menahanku untuk lebih rendah dari posisinya. "Robin, kau kenal kami, dan bagaimana..."
"Baiklah," ia berucap, memegang kedua bahuku seraya membantuku berdiri. "Bekerjalah untuk sekarang." Setelahnya, ia pun masuk terlebih dahulu ketika pintu sudah terbuka, dan aku berkali-kali meneriakkan ucapan terimakasih. "Ya, sama-sama."
Mona dan Fritz muncl dengan wajah sumringah lantas mendekapku. "Kau kembali!"
"Aku senang sekali!"
Aku mendekap mereka lebih erat. "Aku tidak mungkin pergi dari kalian," gumamku lantas menarik wajah, menatap mereka bergantian dan kembali mendekap mereka. Setelah prosesi itu semua, Mona menatapku.
"Tapi bagaimana masalahmu dengan Tuan Carlo?"
Fritz mengerang. "Ah, aku akan pastikan kalau dia kemari, aku akan menendang bokongnya." Ia bahkan sudah melipat lengan seragamnya hingga ke siku. "Aku akan menonjok dia sampai wajahnya babak belur."
Aku tersneyum, "Teman-teman, tenanglah. Aku akan mengatasinya, yang terpenting adalah aku bisa bekerja, dan kita bisa berkumpul bersama. Aku akan traktir kalian makan siang."
Mona dan Frits sontak memekik girang. "Yes!"
"Jangan mahal-mahal tapi," kataku, dan kami tergelak dengan tawa bersamaan. Aku menatap ke arah pintu, kalau memang hari ini takdirku adalah harus menghadapi Tuan Carlo—istrinya kan belum pulang dia pun tidak punya banyak kegiatan—aku seharusnya sudah siap.
"Kau baik-baik saja?" tanya Mona, membuyarkan lamunaku.
"Tentu," jawabku dengan senyuman. Aku pasti bisa.
*
"Pagi, sayang, aku pikir kau tidak bekerja di sini lagi," sebuah suara menyapaku yang hendak membersihkan beberapa mesin cuci, mengelapnya dengan handuk kering. Tuan Carlo hari ini mengenakan kemeja garis-garis dengan senyuman lebar. Dia mendekatiku, namun aku tetap berdiri dengan teguh. "Aku tidak tahu Robin bisa menerimamu lagi."
"Pertama, Robin tidak memecatku. Kedua," Aku coba melanjutkan pekerjaanku. "Aku memang harus bekerja hari ini, Tuan."
Tuan Carlo tertawa. "Wah, masih galak seperti biasanya. Tapi simpan dulu kegalakkanmu, aku punya banyak pekerjaan." Ia menaruh dua keranjang besar di sebelahku. "Tolong kau urus."
Aku mengangguk, mengambil keranjang tu dengan cepat.
"Wah, tidak ada balasan ketus lagi?"
Aku mengabaikannya, berjalan ke lorong lain di mana beberapa mesin cuci sudah aku bersihkan dan siap untuk dipakai. Kubuka penutupnya, memasukkanya satu persatu sementara Tuan Carlo mengikutiku, lalu seperti biasa berdiri di belakangku, aku begerak, coba menghindarinya namun aku meliriknya sinis. "Maaf, bisakah Anda mundur? Ruangan ini masih begitu luas, kalau tidak bisa, Anda mungkin seharusnya menunggu di tempat menunggu khusus pelanggan."
Ia malah tertawa. "Sayang, kenapa harus begitu? Aku kan mau bersamamu."
Tahan, Reene
"Dengar, saya peringatkan sekali lagi," aku meneguk ludahku dengan pahit. "Kalau Tuan tidak segera mundur, saya akan langsung berteriak pada siapapun! Ini namanya pelecehan!" Tuan Carlo malah mendekatiku, menarik rambutku. "Argh! Apa-apaan—"
"Kau pikir kau begitu sumpurna?" Ia menghempaskan kepalaku, membuatku mengerang kersa. "Teriak saja, kau seolah gadis paling cantik di muka bumi. Aku bisa saja benar-benar membuatmu dipecat."
"Tapi kau tidak bisa! Kau hanya pria kurang sentuhan, pria tua," Mataku menelisir penampilannya dari atas sampai bawah. "Aku bahkan ragu Mrs. Carlo benar-benar bekerja di sana, mungkin ... dan aku yakini, dia pasti mencari pria yang lebih baik darimu." Kulanjutkan aktivitasku yakni memasukkan pakaian-pakaian tadi ketika satu tangan Tuan Carlo sudah menarik lenganku, aku mengerang, meronta, tentu saja karena dia menarikku ke pojok ruangan.
"Beraninya kau—"
"LEPASKAN AKU! PRIA GILA! PSIKOPAT!"
"Hei, lepaskan dia!" Satu suara mengisi lorong, mengalahkan desing mesin di lorong sebelah di mana mungkin Martin atau Elena tengah melayani pelanggan mereka. Mataku melotot, sedangkan Tuan Carlo beralih mendekapku dari belakang. "LEPASKAN DIA! ATAU—"
"Siapa kau?" Dia mendekatkan wajahnya di lekukan leherku, mengunci tubuhku dari belakang dengan dua tangan besarnya. "Bertingkah sok jagoan, huh?"
Sosok itu menyeringai seraya melepaskan penutup hoodienya hingga wajahnya terlihat jelas. "Aku adalah kekasihnya," ucapnya.
Xander.
Untuk apa dia kemari?!
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogues (2017) ✔ (Akan Diterbitkan)
RomanceDemi mendapatkan uangnya kembali, Reene rela melakukan apapun. Mulai dari mencari sosok Matt, si kekasih kakaknya yang terkenal brengsek, sampai mendatangi klab tersohor di kota bernama Rogues. Namun, siapa sangka karena tindakan nekatnya tersebut...