*
"What's wrong with you?!" pekik Leonard di hadapan wajahku. Aku tetap menekan tubuhnya ke dinding seraya mengangkat bagian depan kemejanya tinggi. "Lepaskan aku, Xander!" Ia berusaha meronta namun aku hanya bernapas keras di hadapannya.
"Kau berani mendekatinya..."
"Yah! Dan apa salahnya dengan itu—" Ia mengerang keras karena aku sudah menarik dan mendorong tubuhnya hingga terdengar bunyi berderak dari tubuhnya. "—jangan salah paham lagi." Ia akhirnya merintih pelan. Bibirnya membengkak dengan darah di tepian sudutnya namun entah mengapa, aku tetap belum puas. "Kau terlalu berlebihan."
Aku mendengus kasar. "Beraninya kau!"
"Dia gadis yang baik, huh?" Leonard mengangkat senyuman kecil. "Ingat, jika kau memang menyukainya, setidaknya kau dengarkan dia. Aku hanya menceritakan yang sebenarnya, tidak lebih."
Untuk sejenak aku hanya menatap lekat Leonard, hingga pria itu terbatuk pelan dan menarik senyuman lebih lebar. Tidak peduli bengkak di pipinya, atau bibirnya yang masih saja mengeluarkan darah segar, dia tetap menatapku kemudian hendak meraih tanganku.
"Omong kosong."
Leonard tertawa kering. "Yah, terserah, tapi gadis itu benar-benar percaya denganku. Kau tahu, Xander? Kau punya masalah yang serius dan—" Aku menekan tubuhnya lagi, ia menahan napasnya. "Bianca bahkan sudah bahagia!"
"Dan aku tidak pernah bisa memaafkanmu!" Aku berteriak keras di hadapan wajahnya, kemudian dengan darah yang mendidih aku pun meremas kuat bagian depan pakaiannya. Ia hanya menatapku dalam diam.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku menghempaskannya. Aku membalikkan tubuh seraya mengusap daguku cepat.
"Sampai kapan kau akan menyiksaku?"
Aku hanya merenggut kasar kemudian keluar dari ruangan tersebut. Aku tidak pernah mengerti mengapa Dad sampai sudi mengangkat Leonard menjadi keluarga kami, tapi well, mengingat tidak pernah ada hal yang aku mengerti di rumah, jadi untuk apa merutukinya? Aku membanting pintu hingga membuat dinding apartemen Leonard bergetar lantas berjalan cepat menuju lift.
Hari ini aku benar-benar kacau. Setelah pergi dari klab, aku tidak tahu kemana aku pergi sampai kakiku membawaku ke tempat di mana si bodoh itu berada. Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya, astaga, untuk apa lagi? Tapi aku butuh seseorang yang setidaknya bisa menjadi tempat pelampiasanku.
Di saat wanita tidak bisa menjadi tempat pelampiasanku lagi ... ya semua gara-gara Reene.
"Aku ingin pulang, dan berhenti untuk membuat keadaanku makin buruk," Aku menyalahkannya, aku menyalahkan bagaimana dia berada di hadapanku namun dia menolakku keras-keras padahal aku ingin menebus segala ucapan lancangku, bahwa dia tidak seperti itu.
Wanita murahan? Ckck, dasar mulut biadab.
Di dalam lift, aku hanya bisa menatap kosong. Tanganku kebas, ketika aku menunduk aku hanya bisa mengepalkannya kuat-kuat.
"Persetan!" Aku mengerang keras kemudian menonjok kuat pintu besi tersebut. Napasku memburu sedangkan tanganku mulai membengkak, dan berdenyut kuat.
*
"So marry me?"
Aku mengacak rambutku gugup namun tidak melepaskan pandanganku dari Reene. Dia hanya terdiam, membeku ketika aku hanya mengulurkan kotak merah tersebut seolah apa yang ia lihat tidaklah nyata. Karena tidak ada tanggapan darinya, aku pun bangkit kemudian berdeham pelan. "You heard me."
"Really? Did you just propose me, Xander? Like that?" tanyanya dengan nada tergelak. Reene pun akhirnya memalingkan wajahnya, dan ketika aku hendak mendekat, dia sontak mundur perlahan. "Aku tidak pernah mengerti denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogues (2017) ✔ (Akan Diterbitkan)
RomanceDemi mendapatkan uangnya kembali, Reene rela melakukan apapun. Mulai dari mencari sosok Matt, si kekasih kakaknya yang terkenal brengsek, sampai mendatangi klab tersohor di kota bernama Rogues. Namun, siapa sangka karena tindakan nekatnya tersebut...