Demi mendapatkan uangnya kembali, Reene rela melakukan apapun. Mulai dari mencari sosok Matt, si kekasih kakaknya yang terkenal brengsek, sampai mendatangi klab tersohor di kota bernama Rogues. Namun, siapa sangka karena tindakan nekatnya tersebut...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TIGA BULAN KEMUDIAN....
My life rotation doesn't feel right lately.
Melanie menaruh buket bunga lily putih besar tersebut di atas pusara. Aku ikut menaruh buket bungaku kemudian menatap dengan tatapan sendu. Melanie menoleh kepadaku dan merangkul bahuku. Goodbye, Dad.
Sementara Mom hanya menunggu di mobil—dia menolak untuk mendatangi tempat tersebut, aku dan Melanie sepertinya memang sudah terlahir dan tumbuh menjadi sosok yang lebih teguh dalam menghadapi permasalahan hidup dibanding Mom yang terus menangis beberapa hari terakhir. Dad akhirnya menghembuskan napas terakhir, di malam hari tersebut, tanpa diketahui oleh kami yang jatuh terlelap. Dirinya benar-benar pergi, tanpa bekas apa pun, dan aku entah mengapa masih ingin menonjok wajahnya meskipun dia sudah terbaring kaku.
Setidaknya, aku pernah ingat dia membelikanku hadiah kuda poni saat aku masih empat tahun. Aku juga ingat saat dia mendesakku untuk tersenyum ketika acara jamuan keluarga besar. Aku pun ingat bagaimana aku terus memakinya, dan dia balas memakiku lebih keras saat aku memutuskan untuk pergi.
Sekarang itu menjadi memori semata.
Aku berbalik, begitu pun Melanie yang berusaha menahan genangan air matanya. Sudah berlalu seminggu, namun Melanie tidak dapat menahan kesedihannya meskipun ia lebih sering menguatkanku dan Mom. Tempat yang kami sebut rumah benar-benar terasa hampa dan sepi. Tidak ada teriakan keras khas Dad atau bagaimana dia dengan gagahnya muncul di pintu untuk menahanku dan Melanie yang kembali.
Dad is gone.
Kami masuk ke dalam mobil. Aku dapat melihat Mom di kursi depan coba menyeka air matanya dengan syal hitam yang ia kenakan. Aku menoleh saat Melanie sudah menutup pintu mobil dan terduduk di sebelahku. "Aku akan kembali ke apartemenku. Ada pembeli yang akan menawar harganya di sana."
Melanie mengangguk
Aku menoleh kembali ke depan. Mom masih membisu seperti biasanya. "Aku akan kembali, tapi jangan terlalu berharap." Kemudian supir keluarga kami, Brad pun mulai melajukan kendaraan. Jauh dari pemakaman Dad yang sekarang terlihat mendung, menjauh dari sosok yang tidak pernah terasa hangat untukku.
*
Aku tidak merasa menyesal begitu jauh. Setidaknya di waktu-waktu terakhir, beberapa bulan dan minggu yang sudah berlalu, aku sudah berusaha kuat untuk mendampingi Dad meskipun dia tidak terlalu menyadari keberadaanku. Beberapa operasi, dan serangkaian terapi yang ia lakukan lebih membuatnya fokus pada penyembuhannya daripada kehadiranku. Aku tahu, dia pun tidak begitu merasa aku membawa banyak perubahan. Sekarang, aku merasa hampa. Seperti ada lubang menganga yang berusaha kuat kututupi namun tetap saja, aku seringan udara. Ketika aku keluar dari rumah tersebut—aku ingat beberapa minggu penuh keluhan dan juga momen bersama Melanie—aku merasa berat untuk pergi.