Aku sudah melafalkan doa lebih dari dua puluh kali. Meskipun begitu, kegugupan dalam diriku tidak kunjung mencair. Apalagi aku diapit oleh kedua pria besar yang sama-sama berwajah mengerikan. Aku hanya bisa berdoa semoga malam ini aku bisa pulang, seperti yang Robin harapkan.
"Jangan banyak bertanya," tukas satu orang di sebalah kananku ketika kain itu sudah terlepas dari mulutku, mulutku rasanya begitu kaku tadi.
"Kau..."
Pria yang satunya menoleh padaku. "Kau tidak mau mati kan? Tetap kunci mulutmu." Lalu aku hanya bisa menahan geramanku dalam-dalam. "Kau menyulitkan pekerjaan kami saja. Bayangkan, aku sudah terbiasa menangkap mafia kelas atas, bahkan selebriti yang yang terjerat kasus serius. Lalu aku membawa seorang gadis labil sepertimu? Cih!"
Aku melotot. "Hei! Jaga ucapanmu!"
"Ini tidak dapat dipercaya. Kau pasti gadis yang berbeda kan?" Si pria kedua tadi mendelik padaku. "Tapi apa yang aku punya?" Matanya menelisir dari atas tubuhku sampai ke bawah, membuatku ingin menamparnya namun kondisiku terikat, dan tatapan pria satu lagi terasa panas di leherku. "Tetap jaga mulutmu tetap diam, oke?"
Setelah perdebatan sengit aku, akhirnya aku hanya menarik diriku, menenggalamkan diri dengan menyadar di jok mobil. Dadaku berdegub kencang, aku ingin beteriak namun mereka malah menggeram kasar padaku, membuatku hanya bisa menunduk
Bagaimana ini?
Akhirnya, mobil pun berhenti, mereka menarikku keluar dengan paksa. Pikiranku sudah keruh ketika menatap gedung bertingkat itu. Aku mengerang, meronta, bahkan menangis dengan keras, ketika mereka semakin menarikku masuk. Aku belum mau ... menjadi jalang atau semacamnya. Aku belum mau menjadi wanita terhina! Astaga!
"Lepaskan aku!"Aaku berteriak lebih keras, menendang mereka, menarik mereka, namun dari belakang tubuhku mereka membekap mulutku. Keringatku bercucuran deras sedangkan mereka terus membopongku sampai ke dalam lift. Tubuhku melemas, dengan tangan terasa perih dan helaan napasku yang tertahan. Mataku mulai berkunang tatkala mereka semakin mendesakku hingga ke pojok dari lift. Oksigen sepertinya menghilang begitu saja. Tepat ketika lift terbuka, mataku mengabur, dan aku nyaris terhuyung kalau saja mereka tidak cepat mengarahkanku. Segalanya menjadi muram, dengan tubuhku yang semakin lemah bagai kapas.
Sadarlah, sadar! Sadar, Reene!
Suara batinku menamparku berkali-kali, namun helaan napasku menjadi lebih pelan dengan tangan besar ini masih menutupi mulutku. Ketika aku merasakan kulitku terbuai dengan angin, aku ambruk, benar-benar ambruk.
*
"Dasar, bodoh! Kalian itu tidak benar! Bagaimana bisa kalian seperti ini? Aku bilang hanya membawanya, jangan bertindak seakan dia akan mati!" Seseoeang berkata dengan gusar di sekitarku ketika mataku mulai berkendut, lantas aku merasa aku berbaring di tempat di sebuah tempat terbuka dengan angin membelai wajahku. Aku membuka mata mendapati satu figur wajah yang langsung menunduk padaku. "Reene? Baby?"
Aku mengerang pelan, lantas terbangun dengan sulit. Pergelangan tanganku masih terasa sakit tapi tidak separah sebelumnya. Aku terduduk melihat ke sekitar yang penuh dengan balon, dan hiasan bunga yang terikat kuat pada tiang-tiang. Langit pun terbentang berwarna gelap bagaikan tidak berujung. Rasanya tadi aku nyaris mati, di mana aku? Kulihat dua pria yang berotot itu tengah menundukan wajah, sedangkan dua pria lain hanya terdiam, aku sontak beringsut mendekati Xander. "Apa yang—"
"Tenanglah," Pria itu menyingkirkan rambutku yang menutupi wajah. "Ini hanya salah paham." Ia pun mengarahkan wajahku tepat ke dekat wajahnya lantas memandangku dengan bola mata jernih. "Sudah lama kita tidak bertemu."
Aku menatapnya dengan lekat. Kenapa dia di sini? "Apa yang kau lakukan?"
Xander tersenyum, seraya meremas tanganku. "Maafkan untuk semuanya, aku tahu kita mungkin tidak bisa bersama, tapi ... aku tidak bisa, Reene. Sebuah bayangmu sudah terpaut dalam diriku, dan semua tentang kita membawaku kembali kemari." Ia mengusap pipiku. "Maafkan aku."
"Aku mau pulang.."
"Tunggu dahulu, bukan ini acaranya," Aku mengeryit dalam. Ketika ia memapah tubuhku bahkan hendak membopongku, aku menolak, ternyata kami berada di tepian bagian atap dari gedung ini yang seperti taman. Lalu ia menuntunku menuju salah satu tempat berbentuk hati yang besar. Astaga, apa-apaan ini?
Aku masih berusaha berdiri tegap sesaat Xander memanggil pria berotot tadi untuk ke dalam, lalu pria itu muncul dalam beberapa menit, menyerahkan sebuah kotak merah beludru. Sejurus kemudian Xander telah menerimanya seraya menghela napas lantas berlutut di hadapanku, bertumpu dengan satu kaki. Ia mengangkat wajahnya dan menghadiahiku tatapannya dalam.
Oh my.. don't say...
"Reene."
Aku menutup mulutku, dengan mata melebar. "Apa yang—"
"Menikahlah denganku."
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogues (2017) ✔ (Akan Diterbitkan)
RomanceDemi mendapatkan uangnya kembali, Reene rela melakukan apapun. Mulai dari mencari sosok Matt, si kekasih kakaknya yang terkenal brengsek, sampai mendatangi klab tersohor di kota bernama Rogues. Namun, siapa sangka karena tindakan nekatnya tersebut...