CHAPTER 20
Si Matt ini ternyata lumayan dapat diandalkan. Karena nyatanya, pekerjaan ini cukup cocok untukku. Aku sadar, aku tidak punya banyak keahlian termasuk dalam bidang akademis. Apalagi, aku tidak berkuliah maupun menempuh pendidikan selain lulus dari SMA. Kupikir, menjadi asisten pria bernama Moris ini boleh juga dicoba. Dia agak mengerikan dari penampilannya, meskipun begitu, dia ceroboh dan agak ramah.
"Kau hanya perlu mengatur jadwalku, membalas email dan beberapa surat maupun pesan, dan menjaga anakku. Itu tidak terdengar sulit kan? Aku punya asisten yang lebih dewasa dan pengalaman darimu tapi dia akhir-akhir ini agak sibuk seusai menikah. Dia akan terus berkontak denganku, sedangkan kau kerjakan sisanya yang dapat kau urus."
"Tentu, Tuan."
Tuan Boris berbalik badan dan berhenti. "Ah ya, aku dengar dari Matt kau adalah ... kekasih Xander Alfonso, benarkah?"
Matt! Apa yang kau katakan—Aku sudah memasang senyuman singkat dan menggeleng. "Kami hanya dekat ... maksudku, dekat layaknya teman. Jika itu yang Anda khawatirkan, Anda tidak perlu pusing."
"Tidak, jangan salah sangka dahulu. Aku dan Xander pernah dekat, kalau kau sempat, kau boleh mengajaknya menemuiku. Aku akan senang duduk mengobrol dengannya. Biasanya, aku datang ke Rogues tapi karena istriku yang mengomel, aku jarang sekali ke sana. Apalagi putraku, Aiden yang tidak suka aku berlama-lama di sana juga."
"Ah, begitu. Tentu."
Tuan Boris pun mengangguk, dia pergi dari ruangan tersebut. Sementara aku berusaha meredakan lonjakan kebahagianku—rasanya sudah begitu lama aku tidak menghasilkan uang!—aku pun berusaha duduk dengan nyaman. Aku tahu, aku sadari bahwa Tuan Boris mungkin bagian dari klab pula. Meski, dia mengaku bahwa bisnisnya cukup legal—menguasai beberapa karaoke dan kafe—pasti ada sangkutpautnya dengan klab di daerah sini. Mungkin karena koneksinya dengan Xander, dia pun punya bagian di Rogues atau tempat lain. Siapa yang tahu? Ah, jangan lupakan Matt yang merupakan tangan kanannya, pasti mereka berhubungan dengan dunia malam.
*
*
Ini bukan bendera putih. Tahapan ini bukan waktu untukku menyerah di peperangan antara aku versus kakakku, Melanie. Aku pikir, ini hanya masa jeda agar aku dapat berpikiran jernih dan membangun kembali keping demi keping kehidupanku yang semula berceceran berantakan. Hidup yang berkecukupan, punya rumah layak, bekerja layaknya orang lain, dan hidup normal saja. Itu sudah cukup. Mungkin Mel memang membuatku kesal, dan mungkin aku masih berambisi untuk balasmenyerangnya. Hanya saja, aku tengah tidak punya cadangan tenaga. Aku butuh waktu untuk merawat diriku dan memikirkan jalan mana yang mau aku ambil ke depannya.
Aku agak rindu ibuku, tapi bukan berarti, aku akan datang dan bermanis-manis kepadanya. Bukan itu. Hanya saja, aku sekadar mengingatnya dan mengingat bagaimana dia pernah mengusap kepalaku dan tersenyum kecil. Aku pernah ingat bagaimana kami agak akrab dan menghabiskan waktu bersama. Memori itu yang datang sekarang, setelah badai yang mengamuk dalam hati.
"Aiden akan pulang secepatnya. Kau jemput dia sekarang, Reene."
"Tentu, Tuan." Aku bangkit dari kursiku, berhenti dari mengetikkan beberapa jadwal yang baru aku susun untuk seminggu ke depan untuk Tuan Boris. Secepatnya, aku meraih kunci mobil. Ini baru hari pertama. Kemarin sore, Xander berusaha menghubungiku. Aku angkat sekali dan bicara kepadanya santai bahwa aku sudah dapatkan pekerjaan dan mungkin sesekali saja berkunjung. Dia agak terkejut, tapi setelahnya, tidak banyak yang kami bicarakan.
"Kau marah, Reene? Kau marah karena aku ... tidak mewujudkan apa yang kau mau soal rencanamu itu?"
"Tidak, kurasa tidak begitu. Aku hanya ... aku butuh waktu, Xander. Mungkin ini tahap aku berusaha ingin dewasa saja, aku tidak mau menempel bagaikan benalu terus menerus. Kalau kau memang peduli dan sayang kepadaku, kau pasti mengizinkanku. Aku tidak berbuat yang macam-macam di sini."
"Kau bisa bicara denganku saat kau punya waktu?"
"Tentu, aku akan menelpon."
Nyatanya, sampai detik ini aku tidak menelponnya. Bahkan di jam kelewat siang dan di tengah panas yang makin ganas di luar sana. Aku sudah diberitahu soal sekolah Aiden jadi aku tidak khawatir aku mengemudi ke jalur yang salah. Jadi, di tengah menunggu lampu merah aku pun bertanya; bagaimana jika aku betah seperti ini? Bagaimana jika aku betah menjauh dari Xander, Rogues, dan kehidupan berandalanku yang bagaikan sok keren itu? Bagaimana jika akhirnya aku jadi orang yang biasa-biasa saja bahkan menikah dengan pria ganteng tapi cupu yang tidak sengaja berpapasan denganku di kafe saat menunggu Aiden? Pikiran itu yang justru simpang siur di kepala.
Aku pun mengendari mobil sepanjang jalan menuju sekolah. Tidak berapa lama, aku lihat anak lelaki dengan senyuman miring dan tatapan tajam. Namun dia berbicara dengan hangat. "Kau pasti yang bekerja dengan Ayah! Aku sudah diberitahu, dan kuharap kau tidak menunggu lama tadi. Aku ingin main baseball setelah les, jadi kau bisa antarkan juga?"
"Tentu saja. Sampai sore ini, aku bersamamu."
Aiden menurut dengan duduk di sampingku kemudian memasang sabuk pengamannya. Kami pun kembali berkendara, dengan Aiden yang kadang melirikku. "Apakah kau sudah menikah dan punya anak juga? Seperti Bibi Ann?"
"Uh? Aku? Belum."
"Oh, begitu."
"Mengapa bertanya?" tanyaku dan meliriknya singkat, sembari memandangi jalanan yang masih saja padat merayat. "Apakah aku terlihat setua itu?"
"Tidak, tapi aku pikir kau semuda Bibi Taylor tapi dia saja sudah punya anak dua tahun. Namanya Isabella dan berisik bagaikan mesin tronton.'
Aku sontak tertawa lepas. Tidak kusangka, dia bisa melucu begitu. "Belum, Aiden. Aku masih lajang." Kami mampir ke satu restauran cepat saji untuk duduk di sana mengobrol, sambil menunggu jam lesnya tiba. Aiden memasan hotdog serta ekstra kentang, aku pun begitu. Sambil duduk di hadapannya, kami bercakap bagaikan kawan lama.
"Ibuku sudah lama pergi. Dia berpisah dari Ayah, jadi sekarng, hanya aku, Ayah dan Donna."
"Uh? Ibu barumu?"
"Bukan! Dia anjing goldenretriver yang tumbuh besar," kekehnya. "Dia pasti menyukaimu juga." Aku ikut terkekeh kemudian mengigit ujung hotdogku. Aku tidak tahu bahwa Aiden memang sehangat itu. Kupikir, dia akan jadi anak pemberontak yang gemar menunjukkan sifat defensif kepadaku.
"Nanti malam, aku akan yakin Ayah akan memasak. Kau harus ikut, Nona."
"Aku? Mengapa?"
"Kau kan jadi temanku sekarang. Rumah kami sangat sepi, kau bekerja di kantor ayah juga kan? Di rumah jauh lebih sepi. Kadang, ayah tidak pulang dan aku ditinggal dengan Bibi Taylor atau Paman Luke masalahnya adalah pasti Isabella ikut dan aku susah untuk belajar," jelasnya panjang lebar sembari menyeruput susu strawberinya. "Mau ya?"
"Hmm, kupikir aku bisa datang."
Aiden mengangguk. "Baguslah, aku senang." Kami pun menghabiskan makanan kami. Setelah membereskan meja, aku terbiasa tidak meninggalkan bekas makanan. Kami pun keluar, Aiden mendekatiku dan mengenggam tanganku .Sejenak, aku agak membisu. Aku tidak pernah punya adek kecil, aku juga tidak pernah dekat dengan sepupuku yang masih anak-anak dan bersekolah. Sesaat Aiden bersamaku, aku merasa ada bagian kosong yang selama ini berusaha aku isi dengan banyak hal justru terisi dengan alami.
"Ayo! Berangkat!" pekiknya dan tersenyum.
Apakah Reene berubah jadi sentimental sekarang? Itu yang aku pikirkan terus menerus. Apakah aku memang tidak cocok untuk hidup dengan semauku dan justru memutuskan untuk ... menikah? Punya anak? Hidup layaknya ibu muda bahagia dan penuh semangat?
Aiden pun memandangiku dengan mata bulatnya yang berhiaskan warna biru laut nan hangat. Membawaku ke dalam memori saat aku berada di Miami, saat aku menghabiskan musim panas dalam balutan baju renang kekecilan nan jelek, pada wajah ibuku yang penuh tawa, pada kenangan antara aku dan Mel di usia delapan dan masa saat aku pikir, aku nyaman saja jadi anak-anak yang tumbuh dalam suka cita.
Menjadi orang dewasa itu sangat melelahkan. Mungkin, seharusnya malah agak menakutkan.
[]
Kalau kalian menikmati cerita ini, jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen! Ditunggu, terima kasih!!! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rogues (2017) ✔ (Akan Diterbitkan)
RomanceDemi mendapatkan uangnya kembali, Reene rela melakukan apapun. Mulai dari mencari sosok Matt, si kekasih kakaknya yang terkenal brengsek, sampai mendatangi klab tersohor di kota bernama Rogues. Namun, siapa sangka karena tindakan nekatnya tersebut...