Rogues 2 : Chapter 3

2.9K 235 3
                                    


CHAPTER TIGA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER TIGA

Dammit!

Aku menendang kerikil yang ada di sepanjang jalan dari Will's. Mona dan Fawn sudah membujukku untuk meminta maaf bahkan memohon kepada Robin soal pemecatanku. Tetapi aku tidak peduli. Sungguh, apakah dia tidak mengerti bagaimana ... bagaimana aku juga tidak ingin seperti ini? Xander yang terus mendekatiku dan jika ada masalah dengan Xander mengapa dia tidak mengurusnya dan tidak perlu melibatkan urusan pekerjaanku ke dalam masalah ini?

"Aku akan mencari udara sebentar," aku berucap pelan kepada dua sahabatku sebelum akhirnya pamit dan hanya berjalan beberapa blok dari Will's. Aku kacau, yah, Robin seolah tidak merasa berat memecatku apalagi di depan teman-temanku. Seolah, dia sudah terbiasa melakukan semua itu. Apakah pekerjaanku bahkan dedikasiku tidak berarti di matanya?

Ponselku bergetar, membuatku mengangkat panggilan yang ada kemudian menempelkannya ke telinga. "Hai, Mel? Kau sudah sampai di tempat kerjamu?"

"How? Bagaimana dengan Robin?"

"He fired me." Aku dapat mendengar suara terkejut Melanie di ujung sana. "No, don't worry about it. I thought this was best for me. Hish, siapa pula yang mau selamanya berkutat dengan deterjen dan mesin cuci?" Aku coba terkekeh namun terdengar hambar. "Jangan pedulikan itu."

Mel mendesah pelan. "Are you sure?" Aku pun mengiyakan. Mel hanya berceloteh soal pekerjaanya dan menawarkanku beberapa posisi. Namun aku hanya menyahut datar saja. Aku seperti ... kehilangan minatku. "Malam ini kita akan makan malam?"

"Oh, sorry. Aku sudah membuat janji dengan Xander. Mungkin lain kali." Yah, aku tidak mungkin menunjukkan bagaimana geramnya wajahku sekarang kepadanya. Mel sudah mendapatkan bebannya sendiri, dan kurasa dia sendiri perlu waktu untuknya. "Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu, aku akan makan siang."

Setelahnya, aku pun menggembuskan napas kemudian menaruh ponselku ke dalam saku celana. So, where are you going now, Reene?

*

"Dia ingin mati!" pekik Xander setelah aku menceritakan segalanya. Terlihat sekali pria itu sudah mengepalkan tangan dan hendak menyerang siapapun yang menghalangi jalannya namun aku menggeleng pelan. Beberapa jam yang lalu, Xander nampak linglung mencariku di Will's namun aku lebih dahulu mencegah mobilnya di belokan pertama, membuatnya terkejut dan bertanya sedemikian rupa hingga kami berakhir di cafe ini. "Bagaimana bisa dia bertindak seperti itu?"

Aku menahan tangannya. "Sudahlah, aku juga sudah bosan di sana. Lagipula apa bagusnya tempat itu? Aku tidak suka," sahutku ketus. Aku justru mendongak untuk menatap wajah pria ini. "Tenangkan dirimu. Aku baik-baik saja."

Xander merenggut. "Aku ingin menonjok wajahnya."

"Heh! Jangan berani! Atau ..."

"Atau apa?" Suaranya meninggi. "Kau ingin terus menerus diinjak seperti ini? Mengapa kau tidak ... menghajarnya? Astaga, pria itu benar-benar mengesalkan." Namun aku hanya lanjut menyantap makan di hadapanku. Hari sudah menjelang sore ketika kami di sini, dan aku jujur saja mengulum senyumanku. Karena apa? Xander yang marah seperti ini justru membuatku geli saja. Dia biasanya menunjukkan wajah konyolnya kepadaku, sekarang dia marah karena perlakuan yang aku terima? Mengapa dia perlu repot?

Xander berdecak pelan, kemudian kembali terduduk berhadapan denganku. "Apa yang lucu, Nona?"

"Tidak, ayo makanlah. Aku lebih suka melihatmu kelaparan," godaku namun Xander hanya terdiam. "Ah, ya, dengarkan aku. Aku memang tidak suka saat kau seenaknya muncul di tempat kerjaku, itu mencolok sekali dan menganggu. Tetapi, aku memaafkanmu kali ini. Setidaknya, aku sadar aku butuh keluar dari sana."

"Kau yakin kau baik-baik saja?"

Aku menyunggingkan senyumanku, memancingnya untuk cepat mencubit kedua pipiku. "Hei! Sakit!" protesku namun Xander hanya terkekeh. Dia pulih kembali. "Bagaimana bisa kau mencubit wanita di publik seperti ini?" Jujur saja, aku mendadak merasa horror karena perhatian sebagian pengunjung tertuju kepada kami tapi Xander balas mendekatkan wajahnya kepadaku.

"Aku suka denganmu."

"Oh, diamlah," tukasku geli. Kami pun kembali menyantap kentang goreng kami, sesaat aku memperhatikannya lurus-lurus.

"Ah dan malam ini.." Xander membasahi bawah bibirnya dan menatapku lekat. "Kau tidak lupa kan?" Astaga! Baru saja aku hendak bernapas lega dan menikmati hidupku yang bebas sebagai Reene-Gadis-Tanpa-Pekerjaan aku mendadak tersentak kembali ke bumi. "Ayolah... kau akan mulai tinggal denganku. Ah, aku sudah menyiapkan kamar kita." Aku sontak menjitaknya, membuatnya mengerang.

"Bagaimana bisa kau membahas itu? Aku tengah .. syok tahu."

"Oh ya?" Xander cepat meraih pergelangan tanganku dan menyentakkanku agar berdekatan dengan wajahnya. "Kau bilang baik-baik saja beberapa menit yang lalu. Dan malam ini sempurna." Sungguh, aku bisa saja menyumpahi daya ingatnya yang terlampau baik itu tapi aku hanya dapat menahan geramanku dan tersenyum kaku. "Ini akan jadi malam yang tak dapat kulupakan."

Aku meringis. "Semoga saja."

*

Rasanya seperti kembali ke rumah. Beberapa bulan ini, aku selalu membayangkan mansion Xander dalam mimpiku, entah bagaimana bisa. Tapi aku rindu bagaimana kamar-kamar berjejer di lantai dua atau bagaimana ruang tengah yang begitu luas ini memanjakan diriku. Sejak kecil, aku terbiasa tinggal di rumah yang megah sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari sana. Meninggalkan segala kemewahan dan menanggalkan bagaimana status putri kesayangan dari diriku. Kemudian mulai beradaptasi dengan kehidupan sederhana bersama Melanie dan hanya mengadalkan pekerjaanku di Will's.

Seakan masa-masa itu baru terjadi kemarin.

Xander cepat merangkul bahuku. "Aku akan menyiapkan taman belakang untuk pesta kita," Namun aku cepat menarik diriku kemudian menaiki undakan tangga menuju kamar yang sudah kukenal betul. Ketika aku membukanya, aku tercengang. Ruangan ini sudah berganti menjadi bernuansa merah dan hitam, mencekam. "Aku melakukan berbagai perbaikan."

"Kau pikir aku akan betah?"

"Kau akan tahu." Ia kembali merangkulku masuk kemudian kami terduduk di tepian ranjangnya. "Reene, aku merindukanmu. Di sini, di seluruh tempat ini, di sebelahku." Ia memandangiku dari samping dengan sorot mata dalamnya. Aku tidak dapat berkata-kata, sungguh. Xander bukan tipe pria yang dapat membuatku luluh begitu saja, tetapi waktu yang terus berlalu, dan hubungan yang tidak kumengerti ini entah mengapa membuatku menyadari satu hal;

Aku mulai terbiasa akan dirinya. Dengan segala ocehannya, tingkahnya, sehingga aku pun tersenyum. "Well, aku punya satu permintaan penting kepadamu," kataku cepat.

Pria itu mengeryitkan alis tebalnya. "Oh, ya? Apakah itu, Nona?" Ia agak menggodaku, membuatku justru meledak dalam tawa. Apakah dia selalu memikirkan hal yang macam-macam jika bersamaku. "Aku pastikan pertunjukan aku menari tanpa busana itu akan tetap terselenggara, tidak perlu khawatir."

Aku terkekeh. "Wah, kau sangat baik dalam menyambut tamu barumu ini."

"Terlampau baik, kurasa."

"Aku ingin pekerjaan," jawabku kemudian. Xander hanya termangu beberapa saat, membuatku tergelitik untuk melanjutkan. "Aku akan bekerja di Rogues, aku mau bekerja denganmu. Kuharap ini akan seimbang karena kita akan mulai tinggal bersama sekarang. Please."

Jika ini tidak berhasil, entah apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Namun, aku sudah sejauh ini. Pemikiran bahwa aku akan kembali ke tempat itu, bersama Xander, mengenang kembali masa-masa di mana kami bertemu dan berada di sana, sudah menghantuiku selama beberapa waktu.

"I need to."

[]

Rogues (2017) ✔ (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang